Yuk, Kembali Baca Buku Cetak!

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
25 September 2023 14:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membaca buku. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membaca buku. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baca buku cetak semakin jauh dalam kehidupan generasi muda kita. Mereka saat ini berasyik masyuk dengan dunia digital. Kehidupan mereka dalam dunia digital sendiri tak mensyaratkan kedalaman pembacaan. Dunia digital yang dinamis mengajarkan mereka agar memberi respons instan, termasuk membaca sekilas.
ADVERTISEMENT
Salah satu tugas dosen paling sulit di kampus adalah meminta mahasiswanya membaca buku dan jurnal ilmiah. Tak ada ubahnya membaca buku cetak ataupun e-book bahkan e-jurnal.
Keduanya cenderung tidak tuntas dibaca. Bahkan tak jarang mahasiswa mencari jalan agar tugas berbasis buku cetak, e-book, dan e-jurnal diselesaikan menggunakan aplikasi AI (kecerdasan buatan).
Ironi dunia perguruan tinggi yang mengedukasi manusia masa depan, justru didikte produk digital yang anti-kemanusiaan. Manusia-manusia masa depan luaran perguruan tinggi pada akhirnya tergantung pada kemajuan teknologi semata tanpa exercise pada ide dan gagasan selama menuntut ilmu di kampus.
Lulusan seperti ini hanya melahirkan para pseudo intelektual (kecendekiawanan semu). Kehadiran mereka dalam masyarakat kita justru memberatkan beban negara dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Meski terkesan “kuno”, baca buku atau jurnal cetak bagi kalangan intelektual kita tetap sebuah kebutuhan primer. Pembacaan buku atau jurnal cetak memberi banyak keuntungan bagi pengembangan intelektualitas seorang mahasiswa.
Saat ini merujuk Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI yang menerbitkan ISBN (Internasional Standar Book Number), identitas sebuah buku, selama 5 tahun terdapat kecenderungan penurunan jumlah buku cetak terbit.
Bila 2018 lalu Perpusnas mengeluarkan hampir 90 ribu ISBN, jumlah ini mencapai puncak pada 2021 dengan 147 ribu lebih nomor. Namun pada tahun berjalan 2023 ini, Perpusnas baru menerbitkan 70 ribu nomor.

Asyiknya Baca Buku Cetak

Ilustrasi anak baca buku Foto: Shutter Stock
Penurunan cukup signifikan ISBN yang rerata adalah buku cetak itu menguatirkan kita. Bagaimanapun membaca buku cetak selain mengasyikkan, memberi healing psikologis berupa me time. Membaca buku atau jurnal cetak juga menjadi basis pembentukan tradisi ilmiah kita, bahkan dunia sejak lama.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian dan temuan menunjukkan urgennya membaca buku cetak dalam dunia digital kini. Para peneliti menemukan bahwa membaca karya tulis berbahan kertas membuat orang mudah mengingat detail informasi. Buku cetak salah satunya, cenderung membuat pembacanya mudah ingat dengan ragam informasi yang ada pada teks.
Selain itu, membaca buku cetak membuat pembacanya lebih fokus dan terlibat dengan materi yang dibaca, sehingga kita lebih memungkinkan memahami dan mengingat informasi lebih banyak. Membaca buku cetak membuat kita juga lebih sedikit terganggu oleh notifikasi dan pembaruan di perangkat digital (smartphone).
Para ahli juga telah membuktikan bahwa praktik membaca buku cetak juga dapat meningkatkan kinerja otak. Menurut sejumlah peneliti itu, buku cetak memberi pembacanya exercise atau latihan berpikir kritis dan analitis yang konon berkontribusi pada pengembangan otak yang sehat plus cara pendang yang sehat (empati dan simpati).
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan menurut para ahli di berbagai belahan dunia, membaca buku cetak sangat dianjurkan karena terkait dengan aktivitas otak dan rasa yang sehat secara sosial dan spiritual. Dua hal yang amat dibutuhkan manusia modern yang senantiasa lelah, marah, dan mudah kesal karena impitan ekonomi, serta keluarga.
Latihan otak paling penting dari membaca buku cetak adalah mengasah kemampuan berpikir kritis, analitis, dan pola pikir aau ide-ide baru. Tiga kemampuan ini menjadi urgen ketika masyarakat kita suka mengonsumsi informasi clik bait, hoaks, dan gosip (ghibah) setiap harinya.

Badan Terpenjara tapi Tidak Pikiran

“Biarlah badan ini terpenjara asalkan saya bisa bersama buku. Dengan buku saya bebas,” demikian satu kali Bung Hatta menyatakan pentingnya buku cetak bagi dirinya.
ADVERTISEMENT
Para Bapak/Ibu Bangsa kita mendirikan negara ini dengan tradisi baca buku yang kuat. “Kegilaan” mereka membaca buku mendorong perenungan-perenungan, analisis, dan pembacaan realitas masyarakat yang mereka temukan sehari-hari.
Buku telah membuat Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Yamin, Tan Malaka, dan banyak lagi para pemimpin kita di masa lalu menemukan keterjajahan bangsa ini.
Ilustrasi Bung Hatta dan kawan-kawan dalam PI di Belanda. Foto Commons Wikimedia.
Buku tentang bangsa-bangsa lain, kemajuan yang mereka capai, dan gerakan-gerakan pembebasan telah merangsang para pemimpin pergerakan nasional mengurai ide-ide nasionalisme dan padanannya dalam nilai-nilai agama atau tradisi lama.
Temuan mereka tentang nasionalisme melalui karya-karya cetak dari pemikir dunia membantu founding fathers kita mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang kemerdekaan.
Jadi tak heran, tanpa buku cetak, Bung Karno tak akan menemukan konsepsi kerakyatannya bernama “Marhaenisme”. Bung Hatta pun tak akan bisa merumuskan formula ekonomi Indonesia melalui konsep koperasi berasaskan kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
Demikian juga Tan Malaka yang dua dekade sebelum Proklamasi menulis pembentukkan Republik Indonesia melalui Naar de Republiek Indonesia (1925).
Pada akhirnya, kembalinya kita membaca buku cetak secara langsung dapat membentuk pola pikir baru dan memperluas wawasan serta pengetahuan sebagaimana para pemimpin dulu, dan kita hari ini. Selain itu baca buku cetak akan membuka pintu untuk pemikiran yang lebih kreatif, dan perspektif yang beragam di tengah persaingan global.
Sungguh sebuah nikmat yang tak terkira. Pada saban sore, di tengah udara lindap dan matahari hendak tenggelam, di genggaman tangan kita terselip buku cetak “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer, “Cantik Itu Luka” milik Eka Kurniawan, roman “Siti Nurbaya” karangan Marah Rusli, “Norwegian Wood” tulisan Haruki Murakami, “Taiko” karya Eiji Yoshikawa, atau “Kisah Tiga Negara (Samkok)” buah tangan Luo Guanzhong.
ADVERTISEMENT
Sementara pada sisi samping duduk istri tercinta merajut atau sekedar bercerita tentang keriangan anak-anak bermain tadi. Sebagai peneman duduk bercerita dan membaca, terhidang pula secangkir kopi hangat yang membawa aroma surgawi, berkelindan dengan bau goreng pisang panas.
Ahai, maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan?