Konten dari Pengguna

Aku dan Mimpi Buruk Terbesar

Alivia Sekar Firnanda
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
6 Juli 2021 20:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alivia Sekar Firnanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto yang menggambarkan hati yang kehilangan | Foto: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto yang menggambarkan hati yang kehilangan | Foto: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seseorang yang sedang melewati masa kehilangan di hidupnya adalah suatu mimpi buruk. Aku merenung dalam diam. Kehilangan itu pasti datang kapan saja. Hal yang kulakukan untuk menghindari makna kehilangan dengan percaya orang yang ku sayang akan selalu ada.
ADVERTISEMENT
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, mendengar suara isakan tangis banyak orang yang tersedu-sedu. Percaya dalam diri bahwa ini hanyalah sebuah mimpi. Dalam hati yang kian menggetar, ku hampiri asal suara tangisan-tangisan itu. Berjalan sambil menahan tangis seakan tahu siapa yang berbaring di tempat tidur tanpa melihat siapa yang sudah tiada. Sekujur tubuh kakek kesayanganku terbaring kaku dengan tangan lipat. Suhu tubuh yang masih hangat membuat diriku percaya bahwa kehilangan tidak menghampiriku.
Semua orang menatapku sendu, seakan mengerti bagaimana hubungan kami yang indah. Kakek, salah satu orang yang membuatku semangat mengejar mimpi. Kakekku orang yang hebat. Sehari sebelumnya dalam sakitnya yang sudah tidak bisa bergerak, ia masih bisa menyemangati cucunya yang lemah ini. "Sekar harus semangat dong, kalau Sekar udah lulus dan jadi reporter, kakek juga semangat buat sembuh biar bisa lihat Sekar wisuda," ucapnya sambil terbata. Tangisku tumpah meruah mengingat momen itu di atas tempat tidur miliknya.
ADVERTISEMENT
Tawanya yang tulus sirna secepat itu. Matanya menutup rapat seolah lelah dengan duniawi. Suara motor tua yang mengantar kemanapun aku pergi sudah tidak berbunyi. Panggilan 'cucu cantik' tidak akan terdengar lagi. Dalam bisikku di telinganya "Sekar yakin Sekar bisa jadi orang, Allah lebih sayang Kakek daripada Sekar," ucapku dalam hati.
Mengingat semua perlakuannya yang lembut kepada cucu-cucunya, membuatku ingin berontak dan mengatakan ini semua hanya mimpi. Kulihat dengan jelas kaki yang sudah mulai membiru itu sudah tidak ada darah yang mengalir. Kenyataan itu menegaskanku bahwa kakek benar-benar meninggalkan keluarganya untuk selamanya. Nenek, paman, bibi, saudara-saudaraku, dan orang tuaku yang sudah mulai mereda tangisannya.
Egois, ya sebut saja aku egois. Ini adalah hal yang selalu aku takutkan terjadi. Melihat kakek orang yang sangat berarti bagiku harus dibalut kain kafan. Wajahnya yang belum tertutup untuk terakhir kalinya, dengan ikhlas ku cium pipinya tanpa air mata. Aku melihat nenek yang sudah sangat ikhlas atas kepergian kakek, lega karena tidak ada lagi derita sakit yang ditanggung kakekku.
ADVERTISEMENT
Begitu sampai di liang kubur, ini saat untuk pertama kalinya melihat orang yang sangat berarti bagiku harus terkubur di dalam tanah. Kehilangannya membuatku tersadar dan belajar menerima apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan memang sudah waktunya. Namun, kehilangan tetap menjadi ketakutan terbesarku dalam hidup ini. Siap tidak siap, mampu tidak mampu harus kuhadapi.
Setelah kakek pergi untuk selamanya, suasana rumah menjadi tidak hidup seakan ikut berkabung. Bunga-bunga berguguran sampai tak tersisa. Kini hanya cahaya yang menemaniku dibarengi dengan doa yang selalu kupanjatkan setiap rindu dengannya.