Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Toxic Disinhibition Online Effect: Anonimitas, Cyber Bullying, dan Konsep Diri
7 Juni 2022 17:59 WIB
Tulisan dari Sekar Ayu Jenar Mahesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peran internet serta media komunikasi dan informasi tidak dapat kita elak lagi keberadaannya pada zaman yang serba modern dan terhubung ini. Internet dan media komunikasi sendiri menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya interaksi sosial antar individu. Sebagai makhluk sosial, sudah sepantasnya kita melakukan interaksi dengan berbagai cara, mulai dari komunikasi secara langsung hingga komunikasi melalui perantara, seperti berkomunikasi dengan rekan pada dunia maya (cyberspace).
ADVERTISEMENT
Cyberspace atau yang dikenal dengan dunia maya merupakan media elektronik yang digunakan untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal balik secara online. Bell (2011) mengatakan cyberspace sebagai ruang bayangan antara komputer dimana individu memungkinkan membangun dirinya yang baru di dunia baru. Holmes (1997) mengatakan bahwa cyberspace adalah dunia tempat pembentukan nilai-nilai budaya baru yang bermula dari interaksi sehari-hari antar pengguna dengan mediasi teknologi.
Hadirnya internet sendiri telah banyak mengubah kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Selain itu, internet juga memiliki pengaruh yang cukup kuat pada bagaimana individu terikat dengan diri sendiri dan orang lain, terlebih lagi di masa pandemi saat ini yang segala sesuatunya hanya bergantung pada internet, teknologi, dan dunia maya.
ADVERTISEMENT
Teknologi telah mengizinkan individu untuk menjadi diri sendiri atau mencoba menjadi identitas dan kepribadian lain yang tidak bisa diperlihatkan dalam keadaan realitas face-to-face, juga dengan kedua efek positif dan negatifnya (Suler, 2004). Terdapat cukup banyak temuan dan pengalaman nyata individu yang mengatakan bahwa individu seringkali berperilaku berbeda ketika online dibanding saat offline bila dalam situasi serupa, yang mana hal ini dapat menjadi salah satu sebab dari adanya individu yang menjadi identitas dan kepribadian lain di dunia maya. Contohnya seorang pengguna internet tiba-tiba bisa menjadi perayu ketika online, sementara menjadi sangat pendiam ketika offline.
Dewasa ini, banyak pula pengguna internet yang tidak ingin data pribadinya tersebar luas, namun ingin tetap aktif dan membagikan cerita setiap harinya untuk kepuasan diri sendiri. Hal ini nantinya akan berujung menjadikan individu tersebut menjadi pengguna internet yang anonim atau tanpa nama beserta data-data lainnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, pernahkah terbesit di pikiran kita jika kita tidak memiliki identitas yang diketahui orang lain di media sosial, maka kita dapat dengan bebas melakukan apapun tanpa rasa cemas, bahkan jika yang kita lakukan tersebut sangat berbeda dengan kepribadian asli kita. Perbedaan mendasar ini disebut dengan disinhibition online effect.
Apa itu disinhibition online effect? Dapatkah hal ini membawa dampak negatif kepada setiap individu? Mungkinkah hal ini menjadi gerbang pembuka perilaku cyber bullying? Yuk kita simak pembahasannya!
Disinhibition Online Effect
Disinhibition online effect merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penurunan pengendalian psikologis individu yang sering berfungsi untuk mengatur perilaku di lingkungan sosial online. Hal ini tercermin dalam hambatan perilaku yang berkurang, rendahnya penghormatan terhadap batasan perilaku saat berada di dunia maya, dan dapat diekspresikan dalam berbagai perilaku interpersonal online yang bisa positif atau negatif (Suler, 2004).
ADVERTISEMENT
Disinhibition online effect adalah peristiwa diabaikannya atau hilangnya aturan sosial serta hambatan yang muncul ketika komunikasi dengan orang lain dalam internet. Disinhibition online effect juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk mengendalikan perilaku impulsif, pikiran, dan perasaan ketika mereka berinteraksi secara online serta berkomunikasi dengan cara yang tidak mereka lakukan ketika di dunia nyata (Suler, 2004).
Terdapat dua dimensi disinhibition online effect, yaitu benign disinhibition online effect dan toxic disinhibition online effect. Benign disinhibition online effect ialah ketika individu lebih terbuka untuk membagikan hal personal tentang dirinya dan menunjukkan aksi kebaikan di dunia maya, meskipun di kehidupan nyata ia bukanlah individu yang seperti itu. Sementara toxic disinhibition online effect merupakan keadaan dimana individu mengeluarkan ancaman, kata-kata kasar, kebencian, kemarahan, serta melakukan kejahatan yang tidak dilakukannya di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Anonimitas
Suler (2004) menyatakan bahwa satu di antara beberapa faktor yang memengaruhi munculnya online disinhibition effect adalah anonimitas. Menurut Suler (2004), anonimitas adalah kondisi dimana memungkinkan seseorang untuk mengubah atau menyembunyikan identitas asli dengan memisahkan perilaku secara nyata dan maya. Selain itu, menurut Yanes (2014), anonimitas adalah kehadiran secara intrinsik pada konsep privasi, sehingga apabila definisi media sosial dengan definisi anonim digabungkan akan menjadi sebuah wadah bagi seseorang di internet untuk merepresentasikan diri, melakukan interaksi, kerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain untuk menghasilkan keterikatan sosial secara anonim dan virtual.
Aspek-aspek yang paling sering diperdebatkan tentang online disinhibition effect terkait dengan cyber bullying sendiri adalah anonimitas, kurangnya interaksi langsung, asynchronicity, dan tidak adanya aturan atau otoritas (Vandebosch & Van Cleemput, 2018; Kowalski, Limber, & McCord, 2018; Hinduja & Patchin, 2010). Aplikasi media sosial yang memfasilitasi interaksi anonim ini lebih besar kemungkinannya untuk individu melakukan perbuatan cyber bullying dibandingkan dengan aplikasi media sosial yang mengidentifikasi identitas penggunanya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Maria Angela Intan Cahyaning Bulan & Primatia Yogi Wulandar pada tahun 2021 terhadap 105 subjek mengenai pengaruh kontrol diri terhadap kecenderungan perilaku cyber bullying pada remaja pengguna media sosial anonim, terdapat hasil yang menyatakan sebanyak 67 orang (64%) menjawab pernah melakukan cyber bullying di media sosial anonim dan 55 orang (52%) pernah menjadi korban tindakan cyber bullying di media sosial anonim. Selain itu, terdapat tiga media sosial anonim terbanyak yang dimiliki oleh para remaja yaitu 52% subjek menggunakan Whisper, 46% menggunakan Secreto, 39% menggunakan Ask.Fm, dan sisanya menggunakan media sosial anonim lainnya.
Cyber Bullying
Cyber bullying merupakan penyalahgunaan media sosial untuk melakukan tindakan kekerasan, seperti mengintimidasi seseorang dengan mengirimkan kata-kata, gambar, maupun video yang menyerang orang lain. Pelaku cyber bullying juga dengan mudah menuliskan status yang mengandung kata-kata kasar, vulgar, rasisme, bahkan mengancam atau memfitnah orang lain melalui akun media sosial yang dimilikinya (Bennett, 2013).
ADVERTISEMENT
Definisi lain dari cyber bullying adalah tindakan agresif, yang sengaja dilakukan oleh satu kelompok atau individu berulang kali dari waktu ke waktu terhadap korban yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya sendiri dari perlakuan tidak menyenangkan orang lain menggunakan teknologi internet (Almenayes, 2017; Dina & Siti, 2016). Cyber bullying dapat dikategorikan bullying verbal karena pelaku melakukan tindakan bullying secara tidak langsung seperti mengejek, menghina, mengolok-olok, mencela, menggosip, menyebarkan rumor, bahkan mengancam dengan menggunakan media elektronik.
Cyber bullying memiliki beberapa karakteristik, salah satunya yaitu berupa tindakan yang harus diulang (repetition), ketidakseimbangan kekuatan, dilakukan dengan sengaja (intention), dan agresi.
1. Pengulangan (Repetition)
Pengulangan dapat dikatakan sebagai kriteria yang sangat penting untuk menjadi pembeda antara cyber bullying dan cyber joking (lelucon). Cyber bullying sendiri pastinya tidak dilakukan hanya sekali, melainkan secara berulang kali. Aspek pengulangan ini juga memiliki perbedaan pada cyber bullying langsung dan tidak langsung. Pada cyber bullying langsung, pengulangan terjadi dengan pelaku mengirimkan komentar negatif kepada korban secara terus-menerus dan berulang-ulang. Sedangkan pada cyber bullying tidak langsung, komentar atau pesan agresi yang diunggah akan didistribusikan dalam forum umum di dunia maya yang kemudian dapat dilihat atau disalin sepuasnya oleh para penonton ke penonton lain tanpa harus diunggah terus-menerus.
ADVERTISEMENT
2. Ketidaksembangan kekuatan
Kriteria ini ialah ketika pelaku menempatkan korban pada posisi dimana korban tidak dapat membela atau mempertahakan diri dengan mudah. Vandabosch (dalam Langos, 2012) mengemukakan pendapat korban terhadap pelaku yang dirasa memiliki keahlian teknologi yang lebih besar dan penggunaan identitas palsu membuat korban merasa tidak berdaya dalam membela atau mempertahankan diri terhadap tindakan pelaku secara online. Ketersediaan anonimitas dalam dunia maya dapat mengakibatkan pelaku dengan mudah untuk membuat akun menggunakan nama samaran dan identitas palsu. Pelaku cyber bullying dapat beraksi dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi.
3. Kesengajaan dan Agresi
Perilaku umum seperti cyber teasing atau cyber joking yang memiliki aspek pengulangan, ketidakseimbangan kekuatan, atau kesengajaan untuk menyakiti bahkan akan dilabelkan sebagai tindakan yang agresif di dunia maya. Perilaku akan dianggap tidak agresif apabila aspek kesengajaan yang dilakukan pelaku tidak ada. Hal ini karena perilaku yang dilakukan untuk menyakiti tidak akan menimbulkan bahaya bagi orang lain, berbeda jika terdapat unsur kesengajaan. Suatu perilaku akan dianggap agresif apabila perilaku yang ditujukan menghasilkan dapak negatif dan membuat korban merasa untuk menghindarinya.
ADVERTISEMENT
Toxic Disinhibition Online Effect, Anonimitas, Cyber Bullying, dan Konsep Diri
Lea (dalam Wang, Kuei-ing & Jou-Fan, 2014) menyatakan bahwa toxic disinhibition termasuk dalamnya perilaku flaming atau komunikasi mengancam dan juga perilaku tidak sopan dan ekspresi dari perasaan pribadi seseorang kepada orang lain melalui jaringan komputer. Di samping itu, Lapidot & Barak (2011) menyatakan bahwa toxic disinhibition online effect adalah konsep yang ditujukan pada dampak negatif dari hilangnya inhibition, seringkali merupakan manifestasi dari perilaku agresif yang tidak akan ditunjukan di kehidupan nyata.
Bullying adalah salah satu bentuk agresi, begitupun dengan cyber bullying yang didefinisikan serupa, namun terjadi melalui elekronik (Smith, Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippett, 2008). Pelaku cyber bullying memiliki akses anonimitas yang tidak dapat dilakukan pada bullying umumnya secara langsung, serta berpotensi membongkar dan mempermalukan korban lebih jauh.
ADVERTISEMENT
Perilaku cyber bullying sebenarnya dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, namun dewasa ini perilaku cyber bullying terbukti lebih sering diakukan oleh remaja dengan berbagai motivasi-motivasi dan faktor internalnya, seperti individu memiliki tingkat bullying tradisional yang tinggi, penolakan dari teman sebaya, kelekatan dengan orangtua, harga diri, dan kontrol diri yang rendah (Bayraktar, Machackova, Dedkova, Cerna, & Ševčíková, 2014).
Menurut Morsünbül (2015) kontrol diri merupakan prediktor terbaik dalam memengaruhi agresi, dimana cyber bullying merupakan salah satu bentuk agresi.
Agresi
Dalam psikologi sosial, agresi adalah tindakan baik fisik maupun verbal yang bertujuan untuk melukai orang lain. Agresi mencakup agresi fisik (menyakiti secara fisik) dan agresi sosial (menyakiti perasaan orang lain atau mengancam hubungan mereka (contoh: mengancam akan bercerai). Agresi sosial disebut juga sebagai agresi relasional, termasuk perundungan baik secara langsung maupun melalui media sosial). Agresi sosial mencakup perundungan baik yang langsung maupun melalui sosial media, penghinaan, penyebaran gossip, dan pengucilan (Dehue dkk, 2008). Agresi sosial dapat menyebabkan korban mengalami depresi hingga bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor terjadinya agresi sebenarnya tidak berbeda dengan faktor penyebab terjadinya cyber bullying, salah satunya seperti adanya peristiwa aversif (tidak menyenangkan), dorongan, terdapat sinyal agresi, dan pengaruh kelompok. Hal ini karena memang cyber bullying sendiri merupakan bagian dari perilaku agresi.
Terjadinya perilaku agresi ini sangat erat pula hubungannya dengan kontrol diri. Meluapkan emosi dan bertindak agresif dalam merespons suatu permasalahan atau situasi frustrasi tentunya tidak adaptif dan dapat mengganggu kehidupan sosial individu (Branscombe & Baron, 2018). Oleh karena itu, mekanisme internal yang efektif untuk dapat menahan amarah dan perilaku agresi—yang dinamakan dengan kontrol diri atau regulasi diri (self-control or self-regulation)—sangat diperlukan (Branscombe & Baron, 2018). Kontrol diri mencakup kapasitas individu untuk meregulasi aspek-aspek perilaku diri sendiri, termasuk perilaku agresi.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan kawan-kawan (2021) pada 256 siswa kelas XI di Banda Aceh menemukan hubungan yang negatif dan signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku agresi, yang berarti makin tinggi kontrol diri seseorang, makin rendah kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku agresi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Oktaviani dan Ningsih (2021) pada 391 remaja pengguna media sosial Instagram juga menemukan hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan kecenderungan agresi verbal pada partisipan.
Menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) kontrol diri merupakan dimensi tunggal yang di dalamnya terdapat lima aspek yaitu: self discipline, deliberated/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability. Kontrol diri tiap individu pastinya berhubungan erat pula dengan konsep dirinya. Tanpa adanya konsep diri yang baik, maka kontrol diri yang dimilikinya juga tidak akan baik.
ADVERTISEMENT
Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan bagi diri sendiri dan penilaian terhadap dirinya sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Konsep diri diyakinkan sebagai pemegang peranan utama dalam pengintegrasian kepribadian individu di dalam memotivasi tingkah laku serta pencapaian kesehatan mental.
Hurlock (1999) mengemukakan bahwa konsep diri dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Konsep diri yang sebenarnya, merupakan konsep seseorang tentang dirinya yang sebagian besar ditentukan oleh peran dan hubungan dengan orang lain serta persepsinya tentang penilaian orang lain terhadap dirinya. 2) Konsep diri ideal, merupakan gambaran seseorang mengenai keterampilan dan kepribadian yang didambakan. Di samping itu, Vaughan dan Hogg (2002) turut berpendapat bahwa konsep diri ialah skema diri (self-schema) yang merupakan pengetahuan tentang diri yang mempengaruhi cara seseorang mengelola informasi dan mengambil tindakan.
ADVERTISEMENT
Adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara anonimitas dengan kecenderugan perilaku agresi membuktikan pula bahwa adanya hubungan yang negatif dan signifikan pula pada kontrol diri dengan kecenderungan perilaku agresi, rendahnya kontrol diri dengan kurangnya konsep diri, dan juga hubungan antara konsep diri dengan kecenderungan perilaku agresif.
Individu yang memiliki konsep diri yang baik akan mampu menempatkan diri sesuai dengan lingkungannya, begitupula dengan menempatkan emosinya. Individu dengan konsep diri yang baik akan mampu melakukan komunikasi secara online dengan pengendalian diri yang baik dan menghambat kecenderungan munculnya toxic disinhibition online effect ketika melakukan komunikasi dengan menggunakan internet.
Kondisi konsep diri yang rendah akan memberikan pengaruh atau megarahkan pada kondisi emosional yang kurang stabil, yang mana kita ketahui bahwa hal ini akan memiliki keterkaitan dengan meningkatnya kecenderungan perilaku agresi. Konsep diri yang rendah akan memicu timbulnya kecenderungan toxic disinhibition online effect pada individu, yang ditujukan dengan pernyataan atau komentar-komentar kurang sopan, menghujat, memojoki, serta pelampiasan ketidakpuasan yang ditulis dalam status, caption, maupun dalam obrolan online yang tidak dapat disalurkan dalam kehidupan nyata. Walaupun demikian, berdasarkan beberapa hasil penelitian, kecendeungan munculnya toxic disinhibition online effect pada individu tidak sepenuhnya bersumber pada rendahnya konsep diri seseorang, masih terdapat faktor lain yang menjadi faktor pendukung terjadinya hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan bahwa adanya hubungan negatif dan signifikan antara konsep diri dengan toxic disinhibition online effect, yang mana salah satu faktor yang selalu diperbincangkan ialah mengenai status anonimitas yang akan membuat individu lebih merasa bebas dalam berekspresi dan berkomentar di dunia maya tanpa rasa cemas, sekalipun yang dilakukannya merupakan hal yang tidak ia lakukan pada kehidupan di dunia nyata.
Sebagai makhluk sosial, diharapkan pastinya kita tidak menjadi bagian dari kelompok yang tergabung pada toxic disinhibition online effect. Diharapkan kita dapat menjadi individu yang memiliki kontrol dan konsep diri yang baik, sehingga akan menjauhkan kemungkinan untuk melakukan perilaku agresif, salah satunya yaitu cyber bullying. Bagaimana kita dapat menghindari kecenderungan perilaku agresif? Individu disarankan dapat mengikuti kegiatan sosialisasi dan training mengenai pengembangan potensi diri dan tujuan, agar kita mampu meningkatkan kontrol dan konsep diri yang lebih baik, dengan memiliki penilaian yang lebih positif terhadap diri sendiri, maka dapat dipastikan dapat membantu meningkatkan konsep diri kita menjadi baik pula.
ADVERTISEMENT
Konsep diri yang positif akan memengaruhi bagaimana individu berkomunikasi dengan baik dan menekan terjadinya kecenderungan toxic disinhibition online effect.
Referensi:
ADVERTISEMENT