Konten dari Pengguna

Sisi lain Citayam Fashion Week dan Lemahnya Regulasi Pengendalian Tembakau

Indonesia Institute for Social Development (IISD)
Lembaga Riset dan Advokasi Publik, Bersama wujudkan Indonesia sehat dan maju sejahtera.
22 Juli 2022 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Institute for Social Development (IISD) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dua relawan melakukan edukasi tentang bahaya merokok kepada pedagang saat kampanye "Cegah Perokok Anak". Fhoto : ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
zoom-in-whitePerbesar
Dua relawan melakukan edukasi tentang bahaya merokok kepada pedagang saat kampanye "Cegah Perokok Anak". Fhoto : ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
ADVERTISEMENT
Fenomena sub-kultur Citayam Fashion Week di kawasan Sudirman-Thamrin membuka mata publik atas potret tingginya angka perokok belia di Indonesia. Kehadiran remaja dari berbagai daerah pinggiran Jakarta di sekitar stasiun Dukuh atas ini cukup menyita perhatian publik, bukan sekadar lantaran ekspresi berbusana atau outfit mereka yang menarik, tapi juga konsumsi rokok yang sebenarnya tak patut bagi mereka. Sebagian besar remaja tersebut masih usia pelajar setaraf SMP sampai SMA, tetapi mereka begitu leluasa mengakses dan menghisap komoditas yang mengandung zat adiktif tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai barang yang mempunyai faktor resiko terhadap penyakit yang dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan, secara normatif rokok bukanlah barang yang bisa bebas diedarkan. Meski barang legal, namun untuk memitigasi dampak bahayanya, peredaran rokok harus dikendalikan.
Di Indonesia, kebijakan pengendalian tembakau diatur dalam PP 109 tahun 2012. Salah satu yang diatur adalah larangan untuk menjual atau memberikan secara Cuma-Cuma rokok kepada anak berusia di bawah 18 tahun. Bahkan sebenarnya menyuruh anak membeli rokok saja dilarang. Tapi realita di lapangan menunjukkan remaja masih leluasa mengakses dan mengkonsumsi rokok.
Program Manajer Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ahmad Fanani menyoroti trend tingginya perokok di kalangan remaja ini sebagai bukti lemahnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia. “Fakta keras di lapangan yang begitu terang tersebut harusnya membuka mata kesadaran pemerintah akan kemendesakan Revisi PP 109/2012.”ujar Fanani.
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan bahwa dalam setiap jengkal penundaan revisi, ada masa depan generasi muda yang dipertaruhkan. “Potret yang kita saksikan dalam Fenomena Citayam Fashion Week ini mengafirmasi data Darurat Rokok yang sudah sedemikian paripurna.”tuturnya.
Sebagai informasi berdasarkan data Riskesdas 2018, 9,1% anak Indonesia adalah perokok. Data tersebut memaparkan kondisi yang memprihatinkan, dijelaskan bahwa 23% anak-anak tersebut mulai merokok pada usia dini antara 10-14 tahun, dan bahkan sebagian (0,4%) anak-anak sudah mencoba rokok pada usia 5-9 tahun. Susah rasanya membayangkan anak usia 5 tahun mengakrabi rokok, tapi realitas ganjil itu sungguh terjadi di Republik ini