Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hidup Bahagia dan Merepotkan
26 Maret 2021 12:40 WIB
Tulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sedang memunguti puntung rokok yang menumpuk selama dua hari di kamar ketika seorang petugas sampah, yang jasanya tak saya bayar selama setahun, datang dan memberi ceramah tentang ketulusan seseorang ketika bekerja.
ADVERTISEMENT
“Totalnya 360 ribu. Saya ke sini tiga kali seminggu dan selalu ada yang diangkut,” katanya.
Di depan tempat saya indekos, ada tempat sampah dari ban dengan bentuk lebih mirip panci yang saya gunakan untuk membuang sampah rumah tangga seminggu sekali. Seseorang akan datang pada Selasa/Rabu/Jumat setiap minggu, lalu meminta imbalan 30 ribu rupiah di akhir bulan sebagai ganti atas jasanya menyetor kumpulan sampah itu ke TPA terdekat.
Sama sekali tak mahal, memang. Tapi, Februari tahun lalu — sepertinya itu terakhir kali saya membayar, saya telah mengangkut barang-barang milik saya dalam rangka pulang kampung, dan baru pada Agustus kemarin, kembali dan menetap di kos hingga hari ini.
Saya mengurungkan niat untuk membalas ceramah petugas sampah yang bicara soal pentingnya kejujuran, tentu saja. Seorang kawan baik, yang baru pindah dari Surabaya dan berencana menetap di rumah yang sama, bilang akan mengeluarkan uang guna membayar jasa penyetoran sampah saya selama selama setahun. Saya girang betul lalu merayakan kebaikannya dengan membeli LA Bold.
ADVERTISEMENT
Ketika mengira-ngira kebutuhan apa saja yang bakal tak tersedia selama beberapa minggu, bila terpaksa kehilangan 360 ribu, lama-lama suara dari dalam batok kepala saya berkata, petugas sampah itu mungkin berkata jujur. Tapi, kata suara lain, yang ia angkut dari Maret hingga Agustus jelas bukan sampahmu.
Ada seorang tetangga yang… Ya, agak kurang menyenangkan diajak mengobrol, dan saya tak mendapati barang mirip panci itu bercokol di depan rumahnya. Bila berani dan merasa perlu, seperti kesetanan, ingin saya katakan padanya bahwa ia baru saja menempatkan saya pada satu ancaman serius: Kalau-kalau petugas sampah mensyaratkan pembayaran kontan, atau bila kawan saya tak datang awal Maret ini, uang sebanyak itu bakal merenggut jatah merokok saya selama dua minggu. Dan itu, ya ampun, bukan main membahayakannya.
ADVERTISEMENT
Meski bukan tipe orang yang tersinggung tiap ditanya soal umur atau selera makan, membuang sampah pribadi ke tempat sampah orang lain, saya kira, adalah penyerobotan ranah privat seseorang secara terang-terangan. Selain mengancam kehidupan pribadi saya sebagai perokok, itu adalah pernyataan perang dingin secara terbuka, tentu saja, sebab sampah saya pikir selalu berhubungan dengan bagaimana seseorang hidup dan berurusan dengan dunia yang kita tinggali kini.
Ketika selesai dengan dunia lalu menempati sepetak kuburan di dalam tanah, kata jurnalis pemenang Pulitzer Prize, Edward Humes, dalam buku terkenalnya, “Garbology: Our Dirty Love Affair with Trash”, sampah satu orang Amerika selama hidup yang rata-rata ialah 102 ton bakal membutuhkan tempat setara 1.100 kuburan. Dan selain bertahan lebih lama dari penanda kuburan-kuburan itu, lanjutnya, kebanyakan sampah bakal berumur lebih panjang daripada piramida firaun atau gedung-gedung pencakar langit.
Angka 102 ton untuk tiap orang itu adalah hasil riset Humes ketika menulis Garbology di tahun 2013. Tahun 2020 lalu, studi dari Live Science menyatakan bahwa angka harapan hidup Amerika Serikat merosot 1,13 tahun akibat pandemi dan turun ke angka 77,48 tahun. Di tahun yang sama, data BPS menunjukkan bahwa Indonesia punya angka harapan hidup 71,47 tahun.
ADVERTISEMENT
Saya ingin hidup bahagia tapi tak ingin berharap banyak soal umur, dan meski cenderung tak religius, saya merasa tak ada yang berlebihan ketika seseorang mengatakan kalau pandemi adalah peringatan dari langit untuk manusia. Dan dalam peringatan, yang di dalamnya bersarang kecemasan dan ancaman yang dibutuhkan orang cuma merenung.
Seismolog Belgia, Thomas Lecocq, lewat penelitiannya yang dipublikasikan dalam “Nature Journal”, berkata bahwa di masa pandemi, kebisingan seismik yang muncul dari getaran kerak bumi menurun drastis akibat disetopnya kegiatan masyarakat secara besar-besaran. Dan kondisi semacam itu bakal memberi peluang langka bagi Lecocq juga para ilmuwan untuk memonitor gempa bumi kecil, aktivitas vulkanik, dan tremor halus lain yang, biasanya, cuma bisa terdeteksi sebentar pada seputar hari-hari perayaan agama.
ADVERTISEMENT
Saya merasakan keharuan ketika melihat video sekumpulan lumba-lumba menari-nari di kanal Venesia yang airnya jernih, juga gerombolan angsa yang bebas berseliweran dan bertengger pada tiang-tiang jembatan, yang itu jarang ditemui pada hari-hari biasa ketika kota itu penuh dengan turis yang cuma menghabiskan waktu dengan jalan-jalan-minum-bercinta. Tak terelakkan lagi, pandemi adalah waktu ketika alam raya ini merenggut kembali apa-apa yang sebelumnya dibabat habis oleh manusia.
Meski begitu, di Indonesia, kabar buruknya, riset LIPI pada medio April-Mei tahun lalu menunjukkan bahwa geliat perdagangan online di masa pandemi membuat sampah makin menumpuk. Penyebab utamanya ialah pengemasan barang-barang yang mayoritas menggunakan plastik, dan orang tentu mengandalkan perdagangan daring guna membatasi diri dari melakukan banyak kegiatan di luar.
ADVERTISEMENT
Menurut riset Jenna Jambeck dari Georgia University, pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat kedua di dunia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak di laut, dengan sampah sebanyak 3,21 juta metrik ton pertahun. Bahkan sebelum pandemi, banyak orang beramai-ramai membuat kampanye tentang pengurangan penggunaan plastik sehari-hari, yang satu dari sekian banyak contoh paling mencolok, ialah kampanye anti-sedotan dan kantong plastik.
Seseorang bisa datang ke kedai kopi memesan caramel latte, meminumnya menggunakan sedotan stainless, lalu merasa telah ikut andil dalam menyelamatkan bumi dan mengurangi produksi sampah yang, bagaimanapun, tetap akan bertambah dan membuat bumi makin koyak dari waktu ke waktu. Dan persoalan sampah, saya kira, jauh lebih mendasar dan personal ketimbang itu.
ADVERTISEMENT
Ronny Agustinus, penulis dan penerjemah Indonesia yang banyak mengalihbahasakan karya sastra Amerika Latin, lewat sebuah esai, bilang bahwa banyaknya produksi sampah tak ayal merupakan ekor dari pola produksi dan konsumsi masyarakat kapitalis hari-hari ini. Sementara hari ini, kata Chuck Palahniuk dalam “Lullaby”, orang akan melihat iklan keripik kentang asam lalu bergegas membelinya dan menyebutnya sebagai free will. Di luar persoalan selera, Humes menyebut kaleng keripik kentang sebagai “satu dari sedikit peninggalan peradaban yang dijamin dapat dikenali dua puluh ribu tahun dari sekarang.”
Maka tingkat konsumsi, sebagaimana yang harusnya kita pahami, ialah ukuran yang bahkan bukan imajiner tentang sejauh mana orang merepotkan dan merusak alam raya ini.
Beberapa tahun lalu, masih indekos di rumah yang sama, saya belum terlalu keranjingan merokok dan merasa amat disayangi ibu karena itu. Ada lebih banyak uang untuk disisihkan dan ditabung ketimbang sekarang, sementara kegiatan sehari-hari saya ialah makan-tidur-menulis dan berpikir bahwa dunia ini, terlepas dari apa pun yang terjadi, tetap akan memburuk seiring berjalannya waktu.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan betapa menyedihkannya hidup sebagai pria gempal gemar diet yang mengganti kebutuhan nasi dengan, misalnya, olah-olahan kentang. Kawan saya dari Surabaya punya alergi khusus terhadap asap rokok, dan itu saya kira adalah permulaan bagus buat mulai menabung dan tak tersinggung dengan kata-kata Ronny.