Konten dari Pengguna

'Tilik' dan Komedi di Tengah Hidup Kita yang Kembang Kempis

Selando Naendra
Lulusan Komunikasi UGM. Tinggal di Gunungkidul. Suka bengong menunggu magrib.
12 Oktober 2020 13:11 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karakter Bu Tejo di film pendek Tilik. Foto: Youtube/Ravacana Films
zoom-in-whitePerbesar
Karakter Bu Tejo di film pendek Tilik. Foto: Youtube/Ravacana Films
ADVERTISEMENT
Tempo hari, seorang dosen departemen mengunggah tangkapan layar status Facebooknya di story Instagram. “Sutradaranya pantas magang di channel Youtube Atta Halilintar,” katanya, kurang lebih[1], mengomentari film “Tilik”.
ADVERTISEMENT
Untuk membuat Anda yakin bahwa “Tilik” adalah film buruk, kita tak perlu berdebat. Dan itu tak terbantahkan. Soal ini, Anda mungkin bakal mengangkat punggung sedikit ke atas, membenahi cara duduk, dan bertanya: mengapa?
“Kalau ada cerita tentang rombongan ibu-ibu cerewet naik truk bareng,” tulis dia lagi[1], “itu sudah biasa”. “Coba kalau tetap bikin film realisme, tapi ibu-ibu di truk itu diganti tentara, berani enggak?” Apabila saat ini hubungan kami cukup dekat, atau saya telah mulai mengerjakan skripsi (saya berencana menjadikannya dosen pembimbing), saya bakal menekan like tiga belas kali untuk komentarnya yang megalomania dan sangkil.
Membaca dua kalimat itu, saya lantas ingat dengan artikel Zen Hae di Lokadata, bahwa memang di Indonesia, “pengarang dan pembaca kita masih menggemari realisme.” Kalau kalimat itu diteruskan, maka hal yang sama, saya rasa, terjadi juga pada pembuat film, penonton, dan sutradara “Tilik”.
ADVERTISEMENT
Saya merasa seperti cenayang untuk urusan ini: bahwa membuat film, menayangkannya di depan mata banyak orang, lalu bilang bahwa ide cerita film berasal dari “pengalaman mengamati realitas sosial”, atau ungkapan sejenis, memang bakal membuat seseorang merasa jadi ahli filsafat di sekitaran sini. Inilah duduk perkara mengapa orang-orang keranjingan terhadap seni realisme, dan seperti kata Zen, “menjadikannya pilihan utama”.
Dan rupanya, ramalan itu benar belaka. Satu hari, pada sebuah kesempatan screening “Tilik” di Fisipol UGM, saya menangkap obsesi sang sutradara soal itu. Sambil berseloroh, ia bilang, “Ibu-ibu itu pakai jilbab, tapi kelakuan mereka kayak taik semua!”
Mendengarnya, saya paham bahwa ia ingin menunjukkan kebolehannya memperolok, setelah sebelumnya mengamati, kebopengan realitas. Tapi, mendengarnya pula, saya hanya bisa mengernyitkan dahi, sebab olok-olok itu mengingatkan saya pada puisi-puisi Charles Bukowski: dan pembuat dan yang menyukai “Tilik”, juga sineas kawakan seperti Rudi Soedjarwo yang bilang dalam wawancaranya dengan Tempo bahwa “orang Indonesia harus diberi film realis”, saya rasa, perlu tahu soal ini.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1980an, Bill Buford, mantan editor majalah sastra Inggris legendaris “Granta”, menciptakan istilah dirty realism (dalam bahasa Indonesia, orang biasa menyebutnya realisme lusuh) untuk mencirikan kecenderungan gaya fiksi Amerika Utara: penggunaan “bahasa yang disederhanakan”—ia lawan dari realisme magis yang memukau dan berbunga-bunga, yang memuat “pertimbangan jujur atas betapa buruknya hidup”.
David William Foster dalam Arizona Journal of Hispanic Cultural Studies (1997), mengartikannya sebagai “komitmen untuk menggambarkan pengalaman sehari-hari tanpa menggunakan eufemisme (penghalusan bahasa)”, yang dengannya, “kehidupan dapat jujur dan hadir tanpa tedeng aling-aling.”
Salah satu penyair antisosial dan terbaik Amerika, Charles Bukowski, menghuni gaya baru sastra tersebut dengan menulis puisi yang memadupadankan olok-olok terhadap kehidupan sehari-hari, kemiskinan yang “memabukkan”, dan segala hal teruk dan rudin di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Sambil menjadikan mulutnya penampungan Vodka, Bukowski menulis puisi yang dekat dengan tema-tema belly-side of contemporary life[2], menyebut karya Shakespeare “tak bisa dicerna dan terlalu dibesar-besarkan”, dan mengajak orang “menertawakan segala yang ganjil” supaya “kematian akan gemetaran” ketika datang. Siasat bersastra semacam ini menjalar ke banyak orang seiring waktu dan mempengaruhi banyak karya dunia di bidang arsitektur, musik, dan film.
Apa persamaan Bukowski dan sutradara “Tilik”? Mereka sama-sama penggarap realisme dan gemar meledek, tentu saja. Tetapi, bagi yang disebut belakangan, ia—amat sayang—membereskan urusannya dengan buruk sekali: Bukowski meledek dunia lewat karya (puisi), sementara sutradara “Tilik” melakukannya lewat celoteh—dan film buatannya tak terlalu berarti apapun selain komedi yang membuat kita terbahak-bahak atau dongkol.
ADVERTISEMENT
Maka kemudian, berbekal persamaan itu, pertanyaannya; kenalkah sutradara “Tilik” dengan realisme lusuh, atau mungkin secara lebih khusus: pernahkah ia mencatut nama Bukowski sepanjang jejak kekaryaan dan perenungan filsafatnya dalam menggeluti film? Ragu untuk menjawabnya dengan “ya”, saya harus menjentikkan puntung saya ke asbak sekali lagi: Bukowksi kemungkinan besar ialah pemabuk yang namanya begitu asing di telinganya.
Meski mengajak pembacanya menertawai ketimbang merutuk penderitaan dan hidup, puisi-puisi Bukowski sama sekali bukan lelucon atau komedi. Ia, sebagaimana pernyataan soal “jilbab” dan “taik”, juga lahir dari pengamatan dan perenungan Bukowski pada kehidupan sekitar. Puisi-puisi itu ditulisnya secara amat serius sambil senewen (bagi Bukowski, hanya penyair mabuklah yang menghasilkan puisi bagus), dengan hampir tak ada usaha untuk memperindah dan memoles segala urusan lewat kata-kata.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan utama Bukowski, yang menulis kalimat “People are not good to each other” empat belas kali dalam The Crunch (1977) untuk menggambarkan kondisi dunia, hanyalah menghasut pembaca buat menertawakan dan sesekali menyumpahi kondisi hidup dan realitas. Tertawa lewat puisi Bukowski ialah semacam kegetiran, semacam ironi. Sementara yang terjadi ketika menonton “Tilik” adalah senyata-nyata banyolan dan komedi: kita terkekeh melihat gerakan bibir Bu Tejo (Siti Fauziah) ketika memberi khutbah tentang—bagaimana saya menyebutnya?—“literasi digital”, mengomentari hidup orang, dan membuat akal-akalan perihal pemilihan lurah (yang buruknya juga kelewat mencolok), di atas truk.
Bukowski, yang menyebut peran penyair di tengah ontran-ontran dunia sebagai "almost nothing...drearily nothing", dan selalu menulis sambil mabuk. Foto: alexanderadamsart.wordpress.com
Lantas, apa yang membuat 24 juta pengguna internet, meski tak semua namun Anda mungkin berada di dalamnya, berbondong-bondong menonton “Tilik” di Youtube dan menganggapnya begitu istimewa? Apakah mereka menganggap dunia ini sedang baik-baik saja—yang dengannya tak ada tempat untuk sinisme Bukowski sama sekali, atau tak pernah melihat film-film bagus?
ADVERTISEMENT
Jawabannya: “Tilik”, sebagai komedi, amat akurat untuk membikin banyak orang terpingkal. Persoalannya: Di mana orang harus meletakkan komedi ketika membicarakan film? Apakah ia, di tengah dunia yang membuat kita kalang kabut, termasuk karya seni yang menyumbang sesuatu?
Mario Vargas Llosa, dalam kumpulan esai yang diterjemahkan Ronny Agustinus, “Matinya Seorang Penulis Besar”, mengatakan bahwa “kecenderungan budaya menggelikan” di akhir abad 19 terjadi ketika orang beramai-ramai mencari alasan buat menghibur diri. Amat banyak orang, kata Llosa, bakal menempatkan hiburan dan keinginan untuk bersenang-senang di puncak skala nilai dan kompas moral hidup mereka. Pelawak dan kebudayaan rendah akan menjadi penentu arah peradaban semacam itu, sementara martabat dan kebudayaan tinggi tampil dalam potret yang serba tersigar-sigar.
ADVERTISEMENT
Zlazloj Zlizlek, yang disebut dosen saya sebagai “filsuf paling berbahaya abad ini”, lewat status Facebooknya, menilai bahwa kesenangan “tak pernah terlalu penting” dan “hanya diperlukan oleh mereka yang oportunis”. Zlizlek menyebut kesenangan sebagai salah satu jenis perbudakan, dan untuk mencapainya, menurutnya: orang cuma perlu menjadi bodoh.
Llosa dan Zlizlek, yang tampil secara tersigar-sigar dan asing dibanding “Tilik” atau Jokowi di kehidupan kita, paham bahwa alam raya ini, dengan hidup berada di dalamnya, bakal membuat manusia suntuk dan hampir gila dan kehilangan gairah. Dan untuk menghadapi ketiganya, yang mereka butuhkan cuma komedi.
Kabar buruknya: Aristoteles, lewat penjelasan terkenalnya dalam Poetics, membagi jenis seni drama (ia melakukannya untuk membagi dua genre besar pertunjukan pada Yunani kuno) menjadi dua: tragedi dan komedi. Ia menyatakan, keduanya adalah bentuk mimesis atau peniruan perilaku manusia sebagai upaya memahami hidup.
ADVERTISEMENT
Apabila tragedi, yang menurut Aristoteles dekat dengan “kepiluan dan ketakutan”, mewakili “kebaikan” dan “kehormatan”, komedi—yang identik dengan pembengkokan logika dan akal sehat, berkebalikan dengannya, mewakili “kelucuan” dan “hina-dina”.
Dalam jagat penciptaan film, komedi amat jarang hadir sebagai hasil penghayatan dan penemuan artistik yang mumpuni. Tanggung jawabnya, di samping membuat para pemburu kesenangan terbahak, cuma memberi kita contoh film-film buruk.
It Must Be Heaven (2019) karya Elia Suleiman, yang tak masuk kategori itu, ialah tempat para penggarap komedi harusnya belajar—toh film itu tak bakal membuat Anda terkekeh sedikitpun sebab pemeran utamanya (Elia Suleiman) hanya mengucapkan kata “Nazareth” dan “I’m Palestinian” sepanjang seratus dua menit durasi film.
Maka, astaga, untuk tak menyebut “Tilik” film buruk, saya bisa mengatakan bahwa ia adalah komedi yang baik. Tetapi, apabila suatu hari saya sakit kepala, saya masih bisa menyetel beberapa nomor Abah Lala atau melihat vlog Atta Halilintar—sebagai pilihan lain.
ADVERTISEMENT
Catatan:
[1]: Memori jangka pendek saya bisa dibilang cukup mengkhawatirkan. Amat mungkin, ketika mengutip status Facebook dosen saya, saya melakukan kesalahan, sebab lupa mengambil tangkapan layar story Instagramnya—sebelum berniat membuat tulisan ini.
[2]: Belly-side of contemporary life: a deserted husband, an unwed mother, a car thief, a pickpocket, a drug addict – but they write about it with a disturbing detachment, at times verging on comedy. Sebuah istilah yang dipakai Bill Buford untuk menggambarkan realisme lusuh.