Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Trickle Down Effect, Pandemi, dan Ambiguitas Pemerintah
11 Juni 2020 23:28 WIB
Tulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada dekade 1920-an, terjadi The Great Depression, salah satu bencana paling besar bagi perekonomian dunia sepanjang sejarah. Dalam kondisi tersebut, geliat perdagangan internasional mengalami kejumudan, begitu juga dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak negara, dan harga-harga barang. Hal itu, tanpa terkecuali, juga menimpa negara besar seperti Amerika Serikat. Di New York, harga saham jatuh amat dalam dan mencapai titik terparah pada 29 Oktober 1929.
ADVERTISEMENT
Dalam mengatasi situasi semacam ini, Herbert Hoover, Presiden AS saat itu, mengambil langkah dengan memusatkan kebijakannya untuk kestabilan bisnis. Ia memberi pinjaman pada bank-bank pemerintah dengan harapan mereka bisa beroperasi seperti sedia kala. Melalui cara tersebut, Hoover menyebut bahwa “pasar bebas akan mengoreksi sendiri segala kesalahan yang ada”.
Harapan tersebut tentu tak terjadi. Akibat kebijakan yang hanya berfokus pada kestabilan bisnis, yang lagipula hanya melibatkan institusi-institusi di tingkat pusat pemerintahan, kondisi perekonomian Amerika Serikat semakin terpuruk. Di titik ini, Will Rogers, seorang komedian terkenal di masa itu, mengkritik kebijakan Hoover. Secara satir, ia berkata, "Money was all appropriated for the top in the hopes it would trickle down to the needy.". Melalui ungkapan Roogers itu, istilah trickle down effect mengemuka di dunia pembangunan.
ADVERTISEMENT
Adapun konsep tersebut diartikan oleh ekonom Albert Hirschman (1915-2012) sebagai pentingnya peranan wilayah penggerak atau lokomotif utama pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah lain. Mudahnya, istilah tersebut menekankan strategi pembangunan yang seyogyanya terpusat di satu wilayah tertentu, yang wilayah tersebut secara otomatis akan “mengalirkan” (trickle) sisa-sisa pembangunan ke wilayah-wilayah di bawahnya.
Trickle Down Effect dalam Pandemi Covid-19
Di Indonesia, istilah trickle down effect berlaku di masa pandemi Covid-19. Baik soal penanganan maupun fenomena pandemi, istilah tersebut mewakili realitas lapangan secara gamblang. Di dalam penanganan pandemi, misalnya, pemerintah secara terpusat hanya memfokuskan kebijakannya di Jakarta. Alhasil, sentralisasi membuat kebijakan yang hanya tepat diperuntukkan untuk Jakarta, berlaku bagi daerah-daerah. Padahal kita tahu, setiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri, dan dari situ, perlu penanganan yang sifatnya khas dan variatif.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, dalam penanganan sebuah bencana sifatnya menasional seperti pandemi, perlu diketahui bahwa kesiapan sumber daya dan infrastruktur harus diletakkan dalam kerangka kewilayahan. Untuk menghadapi kondisi tersebut, daerah ialah sekrup-sekrup yang harus diketahui permasalahannya secara rinci, diberikan treatment khusus, lantas dicarikan jalan keluar dari permasalahan itu. Tujuannya jelas: membuat sekrup-sekrup itu beres dengan fungsinya masing-masing guna memastikan mesin besar yang menaunginya berjalan dengan baik—dan mesin itulah yang kita kenal sebagai negara.
Masalah kengeyelan orang kosmopolit yang terjadi di sebuah kecamatan di Jakarta untuk tetap berkerumun di mal besar pada masa pandemi, katakanlah, tak sama dengan apa yang ada di tempat tinggal saya di Gunungkidul, di mana ketika masa panen yang membuat ekonomi penduduk amat bergairah sekalipun, mereka akan gamang memilih menggunakan uangnya untuk berbelanja bahkan di supermarket kecil terdekat. Perbedaan semacam itu juga terjadi di Bandung, di Sulawesi Barat, di Sumbawa, Bali, dan di daerah manapun di negara ini.
ADVERTISEMENT
Mereka memiliki ciri khasnya masing-masing, dengan karakteristik kehidupan sosiokultural-ekonomi masyarakat yang berbeda, bahkan kadang mencolok. Maka, anggapan bahwa mengatasi masalah di Jakarta adalah sama dengan mengatasi masalah semua daerah di negara ini, kalau bukan merupakan keteledoran, ialah juga bentuk kemalasan pemerintah dalam merumuskan kebijakan secara tepat.
Pada kenyataannya, hal semacam itu memang terjadi. Pemerintah banyak merumuskan kebijakannya dari sudut pandang Jakarta dan mengirimkannya sebagai barang jadi bagi daerah-daerah. Di sini, daerah terkesan dihalangi untuk mengenal permasalahan berikut jalan keluar mereka sendiri. Padahal, langkah semacam itu diperlukan guna menghindari kemungkinan terburuk—Covid-19 menyebar secara masif ke seluruh daerah.
Sentralisasi kebijakan yang saya bicarakan di sini itu, salah satunya, tampak melalui teguran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terhadap inisiatif lockdown Gubernur DKI Jakarta maupun karantina wilayah Kota Tegal beberapa waktu lalu. Dari tindakan otoritatif pemerintah yang mengatasnamakan kebijakan semacam itu, muncul ketergantungan dan relasi terpusat antara Jakarta dan daerah dalam menangani pandemi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, soal fenomena pandemi sendiri, kita tahu bahwa Jakarta merupakan episentrum penyebaran Covid-19. Dilansir dari website resmi BNPB Indonesia, hingga Rabu (10/06/20), diketahui jumlah pasien terjangkit Covid-19 di Jakarta mencapai 8.503 orang. Angka tersebut merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia dibandingkan daerah-daerah lain. Dari tingginya angka tersebut, cepatnya penyebaran Covid-19 di Jakarta menjadi penyebab menyebarnya pandemi ke beberapa daerah di sekitarnya seperti Bogor, Depok, dan Bekasi.
Maka di titik ini, dapat kita pahami bahwa Jakarta menempati posisi puncak dalam trickle down effect. Ia tak ubahnya seperti kebijakan Hoover dalam menangani The Great Depression: selain mewakili sentralisasi kebijakan pemerintah, perihal sebaran pandemi, Jakarta juga jadi penyumbang kasus positif terbanyak. Maka sampai titik ini, ibukota negara kita merupakan hilir kebijakan sekaligus masalah pada saat yang sama.
Apa yang Dilakukan Pemerintah?
ADVERTISEMENT
Dari bahasan di atas, dapat dipahami bahwa kecenderungan pemerintah untuk memusatkan kebijakan di Jakarta sejatinya merupakan niat baik. Mengingat Jakarta ialah tempat di mana pemerintah pusat berada, dengan penduduk yang juga paling padat sehingga potensi penyebaran semakin tinggi, pemerintah berusaha menyadari tanggung jawabnya. Sentralisasi kebijakan dilakukan guna memastikan semua langkah penanganan pandemi terintegrasi, dilakukan secara masif, dan konsisten.
Hanya saja, dalam menangani pandemi Covid-19, langkah semacam itu ialah persoalan yang sama sekali lain. Perlu diketahui, sejak ditemukannya pasien positif pertama di Indonesia pada Senin (02/03/20) lalu, pasien terjangkit Covid-19 hingga Rabu hari ini (10/06/20) mencapai 33.076 orang. Melalui data itu, kenyataan menunjukkan bahwa sentralisasi kebijakan itu tak berhasil menghambat penyebaran Covid-19. Di saat yang sama, pandemi justru semakin memperburuk keadaan dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Lagipula, perlu diingat bahwa ketidakseriusan pemerintah menghadapi pandemi Covid-19 telah tampak bahkan sejak sebelum pandemi terjadi di Indonesia. Februari lalu, ketika kegawatan mulai sedikit akan tampak, Presiden Joko Widodo justru memberikan diskon 50% bagi turis asing yang hendak berwisata ke Bali, Bintan, dan Labuan Bajo. Hal tersebut dilakukan guna menggenjot kembali aktivitas pariwisata yang sempat menurun. Sikap ini mirip dengan yang dilakukan Hoover puluhan dekade lalu: di tengah sebuah krisis besar, presiden malah terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi.
Namun saat ini, sikap Presiden Joko Widodo telah berubah. Melalui sebuah video streaming di Istana Kepresidenan Bogor Jumat (20/3/20) lalu, Jokowi menyatakan akan mengerahkan semua kekuatan guna menghadapi pandemi. Mungkin dengan semangat juang namun juga keraguan, ia berkata bakal mengoreksi pertumbuhan ekonomi dan merelokasi anggaran pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tapi sejatinya bagi pemerintah, ungkapan tersebut tak menunjukkan apapun, selain kegagapan. Lantaran pandemi Covid-19 ialah hal yang tak terlihat, pemerintah tak ubahnya seperti orang yang tak tahu harus melakukan apa dalam menghadapi musuh. Alhasil, langkah penanganan yang diambil tak lebih baik dari seseorang yang seperti sedang mengawang-awang sesuatu.
Dari hal tersebut, yang kemudian disuguhkan pemerintah pada kita tak lain dan tak bukan ialah kebingungan. Itu tercermin baik dari press release, inkonsistensi kebijakan, maupun pernyataan terbuka para pejabat publik yang seringkali bertolakbelakang. Akhirnya, masyarakat juga mengalami hal yang sama.
Adapun kebingungan tersebut, misalnya, tampak pada pernyataan Presiden Joko Widodo tentang larangan mudik beberapa waktu lalu. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa “mudik” berbeda dengan “pulang kampung”. Perdebatan dan respon publik lalu hadir di mana-mana, menanggapi kebingungan itu. Mereka menyebut bahwa Jokowi sengaja mempersoalkan hal sepele di tengah kondisi darurat, dalam pengambilan kebijakan yang juga krusial. Hasilnya—selain geram—masyarakat dirundung kebingungan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, Selasa (12/05/20) lalu pemerintah mengeluarkan izin bagi penduduk dengan umur di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja di tengah pandemi. Alasannya, mereka yang berumur 45 tahun ke bawah dianggap punya kekebalan tubuh yang baik. Hal tersebut juga menuai banyak respon negatif masyarakat. Di tengah kebutuhan mendesak untuk membatasi mobilitas fisik guna menghambat penyebaran penyakit, pernyataan tersebut memberi kesan bahwa pemerintah telah ceroboh. Di sisi lain, itu juga jelas berseberangan dengan garis penanganan krisis yang saat ini masih berlangsung: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Hal-hal di atas menjadi bukti belaka bahwa pemerintah memang tak punya kemampuan dalam mengatasi pandemi. Mereka, selain bingung, juga hanya menyiapkan rencana yang masih amat kabur. Sentralisasi kebijakan di Jakarta yang pada awalnya ditempuh guna melakukan integrasi penanganan krisis telah gagal. Akhirnya, langkah-langkah yang kemudian ditempuh pemerintah ialah melalui penciptaan informasi yang penuh ambiguitas.
ADVERTISEMENT
Ambiguitas: Sebuah Langkah
Dalam hal penanganan krisis, penciptaan ambiguitas memanglah sebuah strategi. Eisenberg dan Goodall (1997) menamainya strategic ambiguity, yang dalam sebuah penanganan krisis memiliki empat fungsi: (1) Mempromosikan keanekaragaman dalam satu tujuan; (2) Memberikan posisi yang menguntungkan; (3) Bisa disangkal; dan (4) Memfasilitasi perubahan organisasi (dalam hal ini pemerintah).
Lewat informasi ambigu dari pemerintah yang menciptakan kebingungan masyarakat, muncul interpretasi bermacam-macam terhadap pandemi yang sedang terjadi. Dalam hal ini, langkah semacam itu ditempuh dalam kondisi buruk sebagaimana yang disebut oleh (Weick, 1998), yakni ketika pemerintah tak mampu memutuskan strategi komunikasi dalam penanganan krisis sehingga pilihan terakhir adalah mengambil aksi tertentu kemudian melihat apa yang terjadi.
Maka kini, lewat kebingungan dan kecemasan terhadap masalah, pemerintah tengah sengaja menghadapkan kita pada satu jalan membentang yang akan membuat kita “melihat apa yang terjadi” ke depan. Hal misterius yang sebenarnya juga tak kita tunggu-tunggu itu bisa saja menyuguhkan banyak peristiwa besar: terjadinya herd immunity, kematian puluhan ribu orang, hingga sektor ekonomi yang kolaps—meskipun saat ini pemerintah sedang mati-matian membangunnya. Sampai sekarang, kita masih belum tahu kapan pilihan-pilihan itu bakal “terwujud”.
ADVERTISEMENT
Maka dalam kondisi semacam itu, masyarakat tak akan pernah berpegangan tangan dengan siapapun: orang tak akan lagi mempercayai presiden, mungkin akan membenci pemerintah dan banyak politisi, lantas menjadi betul-betul independen—selain juga pasrah. Di dalam independensi dan kepasrahan itu, mereka bakal sibuk membuat dapur masing-masing mengepul, sementara malamnya—yang tak dapat dipastikan apakah di tubuh mereka bersarang sebuah penyakit atau tidak—memanjatkan doa-doa dalam ruang rumah yang sunyi: mengharap keselamatan di masa-masa sulit. Dan, cerita soal ketololan Hoover tinggallah dongeng yang tak lagi relevan sama sekali.