Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Masa Kecil Luhut di Pekanbaru, Seberangi Sungai Siak dan Suka Betumbuk
24 Januari 2019 7:28 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB
ADVERTISEMENT
MENTERI Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan.
SELASAR RIAU, PEKANBARU - Mengenakan kemeja kemeja dipadukan dengan celana warna hitam, Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, bercerita di depan ratusan orang mengenai kenangannya menghabisi masa-masa kecil di Kota Pekanbaru, Riau.
ADVERTISEMENT
Cerita akan kenangan 50 tahun silam tersebut masih melekat di benaknya. Bagaimana ia berenang menyeberangi sungai terdalam di Indonesia, Sungai SIak, hingga kenakalannya saat masa anak-anak dan remaja suka betumbuk atau berkelahi, layaknya anak-anak lainnya seusia itu.
Kenangan dan cerita masa kecil itulah kemudian membentuk karakter dirinya hingga seperti sekarang. Luhut bahkan sanggup mengulang masa-masa indah saat pernah mengecam pendidikan selama 12 tahun di Pekanbaru. "Saya balek kampung," kata Luhut Binsar Panjaitan, pekan lalu, Rabu, 16 Januari 2019, di Gelanggang Remaja, Pekanbaru.
Laki-laki kelahiran Simargala, Huta Namora, Silaen, Toba Samosir, 28 September 1947, menjelaskan, keluarganya merantau ke Pekanbaru, karena kehidupan merekja di Toba Samosir, Sumatera Utara, sangat miskin dan sulit.
ADVERTISEMENT
Luhut menceritakan, kala itu, keluarga mereka hanya cukup makan dari penghasilan orangtuanya sehar-hari bekerja sebagai sopir bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).
Sedangkan ibunya, seorang perempuan tangguh, tidak pernah menamatkan pendidikan dasar. Meskipun memiliki hidup serba kekurangan, Luhut mengaku, ia dan adik-adiknya dididik kedua orangtua untuk jujur, belajar dan senantiasa selalu bekerja keras.
"Bapak saya dulu sopir bus Sibualbuali. Itu dulu sebelum saya datang kemari (Pekanbaru). Ibu saya, perempuan yang gak tamat SD," ceritanya mengenang.
Ketika putra pertama dari lima bersaudara pasangan Bonar Pandjaitan dan Siti Frida ini berusia tiga tahun, kedua orangtuanya memutuskan merantau mengubah kehidupan lebih baik di Pekanbaru.
Ayah Luhut kemudian memilih tinggal di Kecamatan Rumbai km 45. Mereka disekolahkan di SD Yayasan Cendana, sekolah milik perusahaan minyak asal Amerika Serikat., Caltex (sebelum berubah menjadi Chevron).
ADVERTISEMENT
"Berjalannya waktu, kehidupan kami sedikit lebih beruntung di perantauan. Orangtua saya (Bapak) saat merantau bekerja di perusahaan migas berpusat di Amerika Serikat bernama Caltex," cerita lulusan Akabri 1970 itu.
Tak hanya SD, Luhut kemudian menamatkan bangku SMP juga di Yayasan Cendana dan melanjutkan sekolahnya di SMAN 1 Pekanbaru. Ketika itu, tahun 1960-an, sama sekali belum ada sekolah menengah di Pekanbaru, baru ada SMAN 1 yang didirikan Caltex. Sehingga masa-masa remajanya dilalui dengan cukup indah.
"Saya ingat betul pernah naik sepeda. Dari Rumbai naik mobil (bus Caltex) hingga Bom Baru. Kemudian nyeberang naik feri. Sedangkan sepeda kami sudah ada di situ (dermaga). Dari Bom Baru langsung ke SMA 1," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Jadi Atlet Renang di PON V 1962, Bandung
Jiwa prajurit Luhut saat duduk di bangku SMA sudah mulai terlihat. Ia bahkan mewakili Riau pada Pekan Olah Raga (PON) V tahun 1962 di Jawa Barat, Bandung, turun di cabang renang.
"Zaman dulu, mana ada kolam renang seperti sekarang. Saya latihannya di Sungai Siak. Jadi awalnya dari minum air Sungai Siak itu," kata abang ipar ekonom Indonesia, almarhum Dr Syahrir ini dengan tersenyum.
Namun sayang, Luhut malah salah bergaul. Orang-orang saat itu malah menganggap dirinya sebagai anak nakal. Termasuk orangtuanya. Ia kemudian terpaksa melanjutkan pendidikan menengahnya di SMA Penaburan, Bandung.
"Kenapa, karena saat itu saya nakal. Saya suka betumbuk (kelahi). Jadinya saya dipindahkan sekolah," tuturnya sambil tertawa kecil.
ADVERTISEMENT
Namun, kepindahaannya dari Pekanbaru malah justru megubah nasibnya. Selama bersekolah di Pulau Jawa, Luhut muda malah terlibat dalam Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) menentang Orde Lama dan PKI.
Dilanjutkan tahun 1967, Luhut memilih menjadi prajurit dengan masuk Akademi Milter (Akmil) Angkatan Darat dengan lulusan Terbaik (Adhi Makayasa) tahun 1970.
Usai menjadi lulusan terbaik Akabri 1970, Luhut kemudian menghabiskan karir keprajuritannya di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan kesatuan lainnya, hingga mencapai kepangkatan tertinggi Letnan Jenderal. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid bersama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan beberapa prajurit lainnya, Luhut diberi kenaikan pangkat satu tingkat menjadi jenderal bintang empat kehormatan.