Konten dari Pengguna

“Stop! Jangan Bully Aku”

Selfy Momongan
Collaboration and Coverage Management Team at kumparan - ex kumparanBISNIS - ex kumparanTRAVEL
13 November 2017 15:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selfy Momongan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Gen Z telah tumbuh bersama smartphone dan free Wi-Fi sepanjang yang mereka ingat,” – Forbes.
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus bullying di Indonesia sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan dan membutuhan kerjasama seluruh pihak agar lingkaran setan ini putus. Berdasarkan situs resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 26 ribu kasus tentang anak yang terjadi sejak 2011 hingga 2017. Sebanyak 34% dari jumlah tersebut merupakan kasus hukum seperti bullying.
Menurut Founder Yayasan Sejiwa Diena Hariyana, semua perilaku termasuk ucapan, bahasa tubuh bahkan tatapan mata yang menyakiti seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan bullying. Bahkan jika tindakan tersebut hanya sekali dilakukan, maka hal tersebut juga sudah termasuk bullying.
“Tidak perlu sampai berulang-ulang, jika sudah menimbulkan korban (fisik maupun psikis) dapat disebut dengan bullying,” papar Diena saat ditemui di kantor Yayasan Sejiwa di Depok, Jawa Barat, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Dengan bergulirnya waktu dan adanya kemajuan dunia digital masalah baru terjadi salah satunya bullying di dunia maya. Cyberbullying atau intimidasi dunia maya adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia maya atau internet.
Aksi ini tak mengenal popularitas dan usia, dapat menyerang siapa saja. Cyberbullying terjadi sejak ada media sosial. Karena ada potensi seorang anak memposting sesuatu yang tidak disukai orang lain atau menyakiti.
Cyberbullying itu sejak ada sosmed pasti sudah ada. Karena sudah ada potensi anak itu memposting hal-hal yang tidak disukai orang lain, menyakiti. Sejak ada sosmed aku yakin sudah ada cyberbullying,” kata Ketua Yayasan Sejiwa Retno Sulistyo Wahyuni saat ditemui kumparan (9/11).
ADVERTISEMENT
Pengalaman bully pernah dialami oleh seorang remaja perempuan, sebut saja Ria. Ketika itu, ada seseorang yang menuliskan komentar di salah satu akun sosial media sosialnya. Ria yang menolak menceritakan secara gamblang awal permasalahannya mengaku cukup kaget ketika membaca komentar tersebut. Selain begitu menyakiti hatinya, ia merasa malu karena komentar tersebut bisa dibaca banyak orang.
“Kalau di kolom komentar itu buat aku nge-down sih karena aku malu,” cerita Ria ketika dihubungi kumparan (9/11). Ria bercerita saat itu ia juga menangis, tidak mau keluar kamar kos hingga kehilangan selera makan.
“Aku nangis, tutup kamar dan ga makan. Makan cuma sekali itu juga dua hari sekali. Aku pernah seperti itu karena benar-benar sakit baca kata-kata yang tidak pantas aku terima. Itu bukan salahku, dibaca banyak orang. Kalau aku keluar (ketemu teman yang lain) aku takut dijudge nggak bener,” kenang Ria. Beruntung, saat itu Ria merasa terbantu dengan kehadiran sepupunya. “Dia yang bantuin aku waktu itu. Bantuin balesin DM juga.”
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Ria, seorang gadis bernama Ribka belum lama ini juga menjadi korban cyberbullying. Ribka bercerita awal mulanya hal tersebut terjadi karena ia memposting sebuah story di Instagram yang berisi kritikan terhadap artis Hollywood. Ternyata postingan tersebut ditanggapi oleh seseorang yang meresa tidak sepaham dengan Ribka.
Menggunakan akun bodong, pembully tersebut awalnya hanya mengomentari kritikan Ribka via pesan langsung yang ada di Instagram. Awalnya Ribka mencoba meluruskan bahwa yang dia tulis hanyalah kritikan biasa dari seorang fans terhadap artis idolanya. Tidak ada maksud tertentu yang ingin Ribka tunjukkan.
Malas menanggapi hal tersebut berlarut-larut, Ribka memutuskan untuk memblokir akun pembully. “Sempat aku bales gitu kan. Tapi akhirnya lama-lama capek juga. Akhirnya aku block deh itu akun,” kisah Ribka saat ditemui kumparan (8/11). Namun keesokkan harinya, muncul akun lain yang juga melakukan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
“Ternyata besoknya ada lagi akun yang muncul dan nge-DM-in aku. Awalnya sama, ga suka sama postingan aku. Kita cuma bahas itu. Tapi lama-lama malah sampe bodyshaming. Dia ngatain aku gendut dan jelek,” kenang Ribka.
Ia pun mengaku sempat terpancing dengan kata-kata yang dituliskan sehingga akhirnya terjadi adu balas. Namun menurut pengakuan Ribka ada beberapa temannya yang mengingatkan Ribka untuk tidak menanggapi hal tersebut. Ia pun akhirnya memilih untuk tidak lagi meladeni pembully.
Dari dua cerita di atas, ada dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh para korban. Meski sama-sama merasa terganggu dengan adanya bullying, namun reaksi yang ditunjukkan Ria dan Ribka sangat berbeda.
Perubahan perilaku yang dialami oleh Ria tersebut memang kerap kali terjadi pada korban bullying. Menurut Ketua Yayasan Sejiwa, Retno Sulistyowahyuni, korban bullying akan menunjukkan perubahan perilaku seperti mudah histeris, depresi, sangat sensitif, dan penurunan nilai akademis.
ADVERTISEMENT
“Biasanya anak yang kena cyberbullying itu jadi bolos, nggak mau ketemu orang dan terlihat tidak semangat,” ucap Retno.
Tindakan bullying pada remaja (Foto: Thinkstock)
Meski demikian ternyata tidak semua korban bullying akan menunjukkan reaksi buruk seperti yang dialami Ria. Menurut Advisor MELODICare FA Nurdiyanto, reaksi korban bullying didasari dari strategi coping stress yang dimiliki masing-masing individu.
“Strategi coping stress secara sederhana dapat diartikan sebagai daya lenting. Kemampuan seseorang untuk merespon masalah dalam kondisi tertekan,” ucap Nurdiyanto saat dihubungi kumparan (11/11).
Secara sederhana, coping stress dapat dilakukan dengan dua strategi yaitu internal dan eksternal. Strategi internal atau dalam istilah psikologi disebut sebagai emotional-focused coping, merupakan kekuatan yang muncul dari dalam diri. “Misalnya ketika menerima bully, seseorang akan melakukan hal-hal yang membuatnya senang atau bahagia sehingga bisa melupakan persoalannya,” kata Nurdiyanto.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut bisa seperti membeli makanan favorit, jalan-jalan, mendengarkan musik atau melakukan hobi sehingga dapat mereduksi emosi negatif yang timbul pasca dibully. “Strategi internal ini juga ada hubungannya dengan spiritual. Misal seseorang yang dibully kemudian akan berdoa agar diberi ketenangan,” jelas Nurdiyanto.
Sedangkan strategi eksternal atau problem-focused coping, bisa dilakukan seseorang dengan mencari dukungan sosial misal bercerita atau curhat dengan orang terdekat. Termasuk juga menanggapi bully yang diterima.
Sama seperti yang dilakukan oleh Ribka. Ia beberapa kali membalas pesan langsung yang dikirimkan oleh pembully. Ternyata bagi sebagian orang, termasuk Ribka, cara tersebut dianggap sebagai strategi untuk meredam ketegangan stress yang ditimbulkan akibat cyberbullying.
Sedangkan Ria – dan mungkin banyak korban bully di luar sana – memilih strategi problem-focused coping yaitu dengan bercerita kepada orang terdekat. Berdasarkan penuturan Ria, ia merasa begitu terbantu dengan kehadiran sepupunya. Hal ini bukanlan sesuatu yang salah. Justru, kondisi inilah yang juga ditekankan oleh Diena yaitu adanya lingkungan yang peka dengan korban bullying.
ADVERTISEMENT
“Biasanya korban itu tiba-tiba merasa nggak pengen ketemu siapapun, keliatan murung dan ngga punya semangat. Ketika itu terjadi justru lingkungannya yang perlu cari tahu kenapa,” kata Diena. Hal ini berkaitan dengan kesiapan orang tua untuk melek teknologi.
“Kesulitan menghadapi kids zaman now kalo menurut saya itu mengejar teknologi yang sama, artinya bahwa kalo anak-anak kita menggunakan medsos tertentu, kita harus bisa tahu, itu adalah kesulitan yang paling besar bagi orangtua yang gaptek,” tambah Retno.
Sikap orang tua yang kolot justru membuat anak menjadi frustasi. Dampak dari rasa frustasi dapat menimbulkan hal yang lebih berbahaya. Pertama, anak akan melampiaskan kekesalannya di luar lingkungan rumah, melampiaskan rasa sakit hatinya kepada orang lain. Kedua, anak cenderung menjadi murung, sensitif yang menjadikannya rentan menjadi korban bullying.
ADVERTISEMENT
"Just be a friend. Tetap jadi temen mereka di medsos maupun di dunia nyata dan kalo bisa usahakan kita jadi top mind di kepala anak. Artinya, di antara temen-temennya di antara siapapun yang dia temui, dalam kehidupan anak itu kita ada di atas paling atas," kata Diena.
Dengan menempatkan diri sebagai teman. Anak akan merasa nyaman ketika Ia dapat menceritakan segala hal yang dia lalui kepada orang tua nya. Menjadikan orang tua sebagai andalan ketika mereka terkena masalah sehingga orang tua dapat cepat mengambil tindakan jika anak terkena gangguan atau bullying.
Setiap anak memiliki sifat dan kharakteristik yang berbeda. Tingkat sensitifitas dalam menerima tindakan orang lain pun berbeda. Hal ini harus benar-benar dimengerti, bukan hanya oleh orang tua namun juga oleh seluruh lapisan masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Sikap sensitif dalam hal ini adalah peka terhadap lingkungannya. Peka terhadap hal yang sedang dialami, dirasakan oleh orang sekitarnya. Setiap anak perlu dilatih untuk peka dan mengerti dampak dari setiap tindakan yang dilakukan.
"Karenanya anak itu perlu di latih untuk sensitif dengan anak lain sehingga mereka bisa mengukur. Oh dia udah sakit hati, aku harus minta maaf aku beneran ga sengaja," tutur Retno
Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan akan menciptakan empati pada anak-anak. Empati membuat anak lebih peka terhadap perasaan orang lain. Hal itu akan meminimalisir anak-anak menjadi pelaku bully. Bahkan dapat membuat anak-anak berani bertindak ketika melihat ada perilaku bully di lingkungannya.
Ilustrasi Bully (Foto: Pixabay)
"Jadi potensial korban kita kuatkan, potensial pembully kita ajarkan untuk berempati agar dua-duanya bisa membuat lingkungan yang lebih baik, aman, dan nyaman." tambah Diena.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut Retno, hal lain yang dapat dilakukan untuk memberantas bullying adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Misalnya dengan menyampaikan teguran secara asertif. “Kita harus ajarkan anak yang mudah baper menyampaikan perasaannya," kata Retno.
Sikap diam yang dilakukan oleh korban akan membuat pelaku bullying makin semena-mena. Pelaku akan semakin berani untuk menyakiti bukan hanya psikis korban tapi dapat merambah ke kekerasan fisik. Anak harus diberi pengertian untuk berani berbicara ketika benar. Berbicara ketika merasa diganggu dan disakiti oleh temannya.
Selain memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah, Sejiwa juga menyediakan pendampingan kepada korban bullying ataupun pelaku. Bagi yang tertarik dan terpanggil untuk menjadi sukarelawan atau membutuhkan bantuan, dapat mendatangi kantor Sejiwa di Pesona Depok Estate Blok I No.8, Sukmajaya, Depok, Pancoran MAS, Kota Depok atau bisa menghubungi (021) 7773862.
ADVERTISEMENT
Reporter:
Selfy Momongan, Maria Gabrielle Putrinda, Kartika Pamujiningtyas, Karina Nur Shabrina, Marissa Krestianti, Mulki Razqa