Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Apakah Jurnalis Selalu Benar?
9 Februari 2018 17:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Selli Nisrina Faradila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Apakah jurnalis selalu benar?”
Keluar dari mulut seorang jurnalis koran nasional--sekitar empat tahun lalu, pertanyaan itu terdengar sangat kontemplatif. Yang kemudian beliau jawab sendiri dengan: “Tidak, jurnalis tidak selalu benar. Tapi jurnalis selalu mengikhtiarkan kebenaran.”
ADVERTISEMENT
Bagi kami, teman-teman pers mahasiswa yang hadir pada diklat jurnalistik kala itu, pernyataannya tentu sejalan dengan idealisme insan pers di media mana pun.
Kalimat “mengikhtiarkan kebenaran” memang tepat menggambarkan jalan panjang seorang jurnalis sampai beritanya naik cetak. Sebagai pengampu tugas jurnalistik, ia wajib berpegang pada rumusan kode etik yang ada. Bahwa berita tidak hanya harus 5W+1H, tapi harus pula menjunjung keberimbangan (cover both sides).
Prinsip, yang ironisnya, nyaris tinggal kenangan.
Nyatanya, bertumbuhnya media seiring kemajuan teknologi justru menggerus hal-hal yang krusial. Banyak dijumpai pada media online, berita naik cetak tanpa klarifikasi dari pihak terkait. Hal ini jelas membuka celah lebar terjadinya fitnah. Belum lagi, penggunaan judul clickbait yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Tidak berlebihan rasanya, kalau mengatakan bahwa jurnalisme daring masih di ombang-ambing kebingungan memilih antara traffic atau etik.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, ada media online digugat karena menyebarkan berita hoax. Pihak terkait dalam pemberitaan tersebut tidak terima dengan tuduhan yang disematkan kepadanya. Hal ini menjadi contoh betapa pentingnya klarifikasi dari semua pihak dalam mewartakan tiap peristiwa.
Seorang jurnalis atau wartawan memang layaknya seorang peneliti, abai pada metodologi riset dapat mengubah hakikat “kebenaran” menjadi dikotomi: antara persepsi atau fakta. Kebenaran hanyalah kebenaran dalam tanda kutip karena tak sampai pada puncaknya.
Jangan sampai, cita-cita Bung Karno menjadikan pers sebagai “penyambung lidah rakyat” yang sejati justru mati di masa ketika aliran informasi kian cepat dan mudah. Jangan sampai, ketika teknologi hadir untuk membantu, malah hati nurani sendiri yang jadi hambatan.
ADVERTISEMENT
Traffic memang sewajarnya menggenapi kalkulasi keberlangsungan hidup sebuah media, tapi tak lantas jadi sesembahan. Produk jurnalistik dari institusi pers yang seperti itu jika tak memble, ya, tak dipercaya.
Teringat ucapan mentor saya di kumparan, “Kalau menulis, kamu harus membuat orang lain marah, karena itu artinya kamu mengungkap sesuatu.”
Saya sangat setuju, profesi wartawan bukannya tanpa risiko. Pun siap menjadi wartawan berarti siap menanggung apapun risikonya. Tetap berpegang pada code of conduct, tidak mewartakan selain kebenaran, karena di situlah letak taji dan harga diri seorang wartawan.
Selamat Hari Pers Nasional, kawan-kawanku, tetap teguh ungkap kebenaran lewat penamu!