Konten dari Pengguna

Tafsir Pancasila Milik Siapa?

1 Juni 2018 23:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selli Nisrina Faradila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung tugu Pancasila (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Patung tugu Pancasila (Foto: Flickr)
ADVERTISEMENT
Selepas Pemilu 1955, lintasan sejarah Indonesia sempat diwarnai perdebatan yang cukup lama dan sengit. Kala itu, Badan Konstituante yang dibentuk hasil dari pemilu, pecah menjadi tiga kubu: Kubu Pancasila, Islam, dan Sosio-Ekonomi. Ketiga blok bertentangan menyoal Pancasila sebagai dasar negara.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Edisi III/Januari 2018, pertentangan terkait Pancasila memang terjadi pada sejarah awal negara ini. Upaya perumusan dasar negara yang sedang digodok Konstituante menghadirkan polemik tafsir Pancasila di antara partai-partai anggotanya.
Dalam sidang, Sutan Takdir Alisjahbana yang meski berada di Kubu Pancasila, punya kritik sendiri. Ia yang mewakili Partai Sosialis Indonesia (PSI) menyatakan bahwa meletakkan Pancasila sebagai falsafah negara adalah sesuatu yang berlebih-lebihan.
Menurutnya, ada yang tidak dimiliki Pancasila untuk menjadi sebuah dasar negara, yakni kebulatan dan kesatuan yang ideologis. Daripada menjadikannya sebagai sebuah falsafah negara, ia lebih setuju jika Pancasila diperlakukan sebagai "kompromi politik."
Pandangannya itu senada dengan Kubu Islam. Kiai Ahmad Zaini dari NU menyatakan Pancasila sebagai "formula kosong" yang ambigu dan tak layak menjadi dasar negara.
ADVERTISEMENT
Sementara tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI)--Roeslan Abdulgani, melawan kritik-kritik itu dengan mengutip George McTurnan Kahin yang berusaha mengawinkan ideologi Islam, Marxisme, dan demokrasi: yang hasilnya Pancasila.
Oleh karena perdebatan yang berlangsung hampir empat tahun lamanya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959: diputuskan bubarnya Konstituante yang dinilai tak mampu menjadi penyelamat Revolusi--sebagaimana disebut Soekarno dalam pidato "Manifesto Politik"-nya. Lantas dasar negara pun diamanatkan kembali ke UUD 1945.
Dalam laporan yang ditulis Azis Anwar Fachrudin ini, ditegaskan bahwa terdapat keluasan ruang untuk mengkritik dan menafsirkan Pancasila. Tampak dari perdebatan Konstituante, Pancasila dipahami dan dimaknai statusnya secara multitafsir.
Bila memaknai konsep Pancasila dengan lima silanya, sebetulnya tak ada butir-butir yang mengandung keburukan. Dalam kehidupan bernegara, kelima sila patut menjadi rujukan dalam bersikap. Baik itu antara individu dengan Tuhan, individu dengan individu, rakyat dengan pemerintah; begitu pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Persoalan mengenai Pancasila yang terbuka terhadap beragam pemaknaan, hal itu bukan hal yang lantas diartikan buruk, malah justru dapat membuka pintu bagi ruang-ruang diskusi.
Akan menjadi masalah jika keluasan tafsir Pancasila kemudian dijadikan alat politik.
Sejarah mencatat, rezim Orde Baru menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan ormas. Aturan ini menimbulkan berbagai pergolakan, banyak datang khususnya dari partai/ormas Islam. Partai dan ormas yang menolak mengganti ideologinya lantas dibubarkan pemerintah. Namun ada yang memilih berkompromi dan akhirnya mengubah asas partai/organisasi.
Tak ayal, kita melihat seorang pengampu tugas eksekutif dapat berlaku represif atas nama Pancasila. Oposisi baik dari partai maupun ormas dapat dengan mudah diberangus hanya bermodal frasa "bertentangan dengan Pancasila", dan menjadi ironis karena tafsir Pancasila itu eksekutif juga yang meramu dan membuat payung hukumnya.
ADVERTISEMENT
Tentu hal itu mencederai idealnya sebuah proses demokrasi yang sehat. Tantangan semacam itu tak lantas berhenti seiring berjalannya waktu. Sebab beragam tafsir Pancasila hadir tak lepas dari kontestasi politik yang sedang berlangsung. Pancasila yang sakral dan luhur berpotensi rentan dijadikan alat untuk menekan lawan politik.
Untuk itu, pemerintah harus hadir dalam meredakan kegaduhan yang kerap timbul. Rakyat berharap adanya tafsir Pancasila yang paling objektif, bila itu mungkin, dan bila itu ada.
Pemerintahan Jokowi telah melakukan sebuah upaya menjaga Pancasila dengan mendirikan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), yang diharapkan dapat menjadi tumpuan rakyat dalam mengakhiri kebingungan dengan segala tafsir Pancasila dari berbagai pihak, yang juga dilatarbelakangi berbagai kepentingan. Namun supervisi berlanjut juga penting.
ADVERTISEMENT
Sudah sejauh mana kerja BPIP dalam menjaga marwah Pancasila di negeri ini, juga perlu diungkap ke publik. Hingga tak jadi pemborosan anggaran semata.