Konten dari Pengguna

The Post: Politikus Boleh Bohong, Wartawan Jangan

7 Maret 2018 22:07 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selli Nisrina Faradila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The Post (2017) (Foto: Youtube.com/20th Century Fox)
zoom-in-whitePerbesar
The Post (2017) (Foto: Youtube.com/20th Century Fox)
ADVERTISEMENT
"The Post" punya premis sederhana: pers versus pemerintah. Namun sejarah di balik film biopik besutan Steven Spielberg ini punya latar belakang yang sangat kompleks.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari bocornya dokumen rahasia “Pentagon Papers” ke publik. Dokumen berlabel top-secret ini berisi serangkaian studi terkait keterlibatan Amerikat Serikat di Vietnam selama tiga dekade.
Pengungkapan itu terpajang di headline koran lokal New York Times. Dalam satu bagian, ada hasil riset Menteri Pertahanan era JFK dan Lyndon Johnson, Robert McNamara. Terungkap bahwa pemerintah mengetahui Amerika Serikat tidak mungkin menang perang di Vietnam, namun tetap mengirimkan tentara.
Kantor berita Washington Post milik Kay Graham (Meryl Streep) merasa kecolongan. New York Times baru saja mengungkap borok pemerintah yang ditutup-tutupi selama puluhan tahun; Washington Post malah memajang berita pernikahan putri Presiden Richard Nixon di halaman pertama. Jelas mana yang bertaring.
Editor eksekutif the Post--Ben Bradlee (Tom Hanks) yang jebolan Newsweek malunya bukan main. Baginya, ada yang lebih ironis bagi sebuah media dari dianggap tidak kredibel, yakni dianggap sepele.
ADVERTISEMENT
Bradlee uring-uringan di ruang kerjanya. Dokumen lanjutan "Pentagon Papers" yang dikirim seorang wanita misterius ke kantornya ternyata sudah lebih dulu ada di tangan New York Times, the Post lagi-lagi ketinggalan.
Setting film pada tahun 70-an menunjukkan bagaimana industri media pada zaman itu bekerja: kualitas ada pada ekslusivitas berita, bukan kuantitasnya.
Itu yang dikejar Bradlee--ketika akhirnya New York Times digugat ke Mahkamah Agung dan dilarang untuk lebih jauh menerbitkan dokumen rahasia milik pemerintah, ada kesempatan bagi the Post. Lewat editornya di kolom nasional, Ben Bagdikian, the Post bertemu Daniel Ellsberg yang ternyata juga informan New York Times.
Daniel Ellsberg (Foto: Youtube.com/AFP Agency News)
zoom-in-whitePerbesar
Daniel Ellsberg (Foto: Youtube.com/AFP Agency News)
Dengan didapatnya salinan dokumen Pentagon Papers dari Ellsberg, internal the Post bersilang pendapat. Jajaran direksi menolak diterbitkannya dokumen itu, berbenturan dengan Bradlee dan para editornya. Pihak direksi dengan argumen bahwa masa depan perusahaan sedang dipertaruhkan, sebab the Post baru saja go public di bursa saham.
ADVERTISEMENT
Sementara Bradlee ngotot, menyembunyikan dokumen ini justru lebih membahayakan reputasi the Post, karena tidak ada jaminan kalau suatu saat tindakan pengecut the Post ini tidak akan terungkap.
Di tengah kekacauan itu, ada Kay yang baru saja memimpin the Post sepeninggal mendiang suaminya. Kegugupannya tak mampu ditutup-tutupi. Ada beban besar di pundaknya sebagai pemilik media. Satu kata dari mulutnya, semua perdebatan itu selesai: "Terbitkan atau tidak?" Iya, untuk deklarasi perang dengan penguasa. Tidak, jika ia ingin main aman dan menjaga hubungan dengan kawan-kawan politisinya.
Kay akhirnya memutuskan untuk tetap menerbitkan, apapun konsekuensinya. Artikel Pentagon Papers pertama di the Post pun naik cetak, dan sesuai prediksi, the Post diseret ke pengadilan.
ADVERTISEMENT
Hakim Hugo Black lantas memutuskan the Post punya hak menerbitkan dokumen rahasia pemerintah demi kepentingan publik, kutipan kalimat putusannya: tugas pers adalah melayani rakyat, bukan pemerintah.
Film ini membawa pesan yang sangat dalam. Bradlee mewakilkan perjuangan seorang wartawan yang punya tanggung jawab moral kepada publik. Pentagon Papers memang satu bentuk kebohongan besar dari pemerintah, tapi jika kebohongan itu tak berani diungkap the Post, maka rakyat akan dibohongi dua kali.
Akhir yang sangat manis, ketika kebohongan itu berhenti di tangan pemilik media seperti Kay Graham. Dengan Washington Post-nya, ia contoh hidup ucapan hakim Hugo Black: pers melayani rakyat, bukan pemerintah.