Konten dari Pengguna

Antara Barat dan Timur: Krisis Identitas dan Ketidakadilan Sosial

Selvi Ramah Hadi
Mahasisiwi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 April 2025 13:49 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selvi Ramah Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Novel Salah Asuhan merupakan karya Abdul Muis yang terbit pada tahun 1928. Karya sastra yang memperlihatkan benturan budaya di tengah masyarakat kolonial Indonesia. Melalui karakter Hanafi, Abdul Muis menggambarkan bagaimana pengaruh budaya asing mengacaukan identitas pribadi. Krisis ini kemudian berdampak luas, memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan sosial di sekelilingnya. Lewat novel ini, pembaca diajak merenungi bagaimana kegagalan memahami diri sendiri dapat memperburuk ketimpangan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Krisis Identitas pada Diri Hanafi
Sebagai pemuda Minangkabau yang mendapatkan pendidikan Barat, Hanafi tumbuh dengan pola pikir yang mengagungkan budaya Eropa. Ia mengadopsi gaya hidup Barat, mulai dari cara berpakaian hingga cara memandang kehidupan. Budaya asalnya justru dianggapnya sebagai sesuatu yang tertinggal dan memalukan.
Sayangnya, meskipun menjunjung tinggi nilai-nilai Barat, Hanafi tetap dipandang sebagai orang pribumi oleh masyarakat kolonial. Ia tidak diterima secara penuh di dunia yang ia dambakan, dan sekaligus menjauh dari budaya leluhurnya sendiri. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan batin, membentuk krisis identitas yang membuatnya tidak memiliki tempat yang benar-benar ia miliki.
Potret Ketidakadilan Sosial dalam Novel
Krisis yang dialami Hanafi membawa konsekuensi sosial yang berat. Ia memperlakukan Rapiah, istrinya yang berasal dari kalangan pribumi, dengan rendah dan tanpa kasih sayang. Rapiah menjadi korban ketidakadilan gender, diremehkan karena dianggap tidak sejalan dengan citra perempuan modern ala Barat yang diidamkan Hanafi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Corrie, gadis Indo-Belanda yang dicintai Hanafi, juga tak lepas dari ketidakadilan. Meski berpenampilan lebih Barat, darah pribuminya tetap menjadi alasan ia tidak sepenuhnya diterima di kalangan kolonial. Melalui kisah ini, Abdul Muis menunjukkan bahwa ketidakadilan tidak hanya dilakukan oleh sistem kolonial, melainkan juga oleh individu yang mengalami krisis identitas seperti Hanafi.
Keterkaitan antara Krisis Identitas dan Ketidakadilan Sosial
Konflik batin Hanafi menjadi awal dari berbagai ketidakadilan sosial di sekitarnya. Ia tidak mampu menghargai perempuan seperti Rapiah karena terbelenggu oleh ilusi nilai-nilai asing. Pada saat yang sama, rasa kecewa terhadap dunia Barat yang tidak menerimanya membuatnya terjebak dalam kemarahan dan perlakuan diskriminasi.
Melalui narasi ini, Abdul Muis menekankan bahwa kegagalan menerima jati diri berkontribusi besar dalam memperparah ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Simpulan
Novel Salah Asuhan tidak hanya menyajikan kisah tragedi pribadi, tetapi juga menjadi kritik terhadap kegagalan membangun identitas di tengah arus modernisasi. Melalui tokoh Hanafi, Abdul Muis mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap identitas budaya sebagai fondasi menuju keadilan sosial. Hingga kini, pesan ini tetap relevan, mengingat tantangan globalisasi yang kerap menggoyahkan akar budaya bangsa. Dengan membaca novel Salah Asuhan menjadi ajakan untuk kembali mengenali dan menghargai siapa kita sebenarnya.
Kutipan Favorit Saya