Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menolak Hatoban, Orang Sumut Punya Martabat!
31 Mei 2018 13:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Sena Ilana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Raja Sisingamangaraja XII berjuang karena tidak ingin martabat kita diinjak-injak. Beliau tidak ingin kita jadi bangsa Hatoban.” - Edy Rahmayadi, ketika mengunjungi makam pahlawan nasional Sisingamangaraja XII, Maret lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Batak Toba, Hatoban berarti budak. Perbudakan di tanah batak lazim terjadi sejak era sebelum kehadiran kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, seiring perkembangan zaman, banyak orang batak yang mencapai prestasi sosial, ekonomi dan politik. Keberhasilan materil (“hamoraon”, kekayaan) dan kesuksesan anak-anak (“hagabeon”, kesuksesan) yang dicapai orang-orang batak pada akhirnya membawa orang batak pada “hasangapon” (kemuliaan).
Hatoban dan Martabat
Lantas saja kami merasa miris, ketika elit pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) di Jakarta, merasa paling tahu apa yang dibutuhkan Sumatera Utara. Melalui selembar surat, elit pusat PDIP pun mengirim seorang Djarot Syaiful Hidayat, mantan Plt Gubernur DKI Jakarta yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di pulau jawa, yang tentu saja memiliki kultur yang berbeda dengan kita di Sumut. Djarot yang berbeda 'kultur' itu ke Sumut hanya karena sedang berlangsungnya momentum perhelatan pemilihan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Padahal, di tubuh PDIP Sumut terdapat banyak nama orang-orang lokal yang memiliki jam terbang tinggi di dunia politik. Apakah elit partai di Jakarta berfikir bahwa orang-orang lokal ini tak qualified, tak populer, tak akan dipilih, 'orang kampung' itu takkan laku di kampungnya sendiri ? Amangoii.. Macamananya cara berfikir kalian di Jakarta sana!
Dongan ( kawan ), sebenarnya siapa pemegang saham di kampung kita ini ? Kok seenaknya saja, orang-orang pusat itu mengatur dan mengirim orang yang mereka anggap pantas memimpin kita ? Tidakkah orang kampung kita lebih pantas memimpin kita dan kampung kita sendiri ?
Para Oppung-oppung, Bulang-bulang, Atok-atok kita di masa lalu telah berjuang mengusir penjajah, mereka berjuang bersama SM Raja XII di Toba, bersama Si Garamata di Tanah Karo, bersama Sutan Matseh di Langkat, bersama Datuk Sunggal di Deli, bersama Sang Naualuh di Siantar dan banyak lagi. Mereka melawan karena menolak menjadi Hatoban! Tak ingin menjadi budak di kampung sendiri, tak ingin dipimpin orang asing.
ADVERTISEMENT
Perjuangan para leluhur kita di Sumatera Utara, mengajarkan bahwa kita punya martabat! Putera-puteri kampung kita harus berbuat dan menikmati hasil maksimal dari kampungnya sendiri. Pun, tentunya tak ada jaminan, orang luar yang ditugaskan elit partai di pusat itu akan berbuat untuk kampung kita. Malah mungkin merusak, karena tak memiliki dasar kecintaan pada tanah kita ini, kampung yang kita cintai.