Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Bahasa Indonesia Tidak Berjenis Kelamin: Mengapa Ada Istilah Polisi dan Polwan?
17 Desember 2020 16:23 WIB
Tulisan dari Septara Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berangkat dari pengalaman pribadi, penulis merasa hal ini perlu ditelisik lebih dalam, ditelusuri lebih jauh, yang “katanya” Bahasa Indonesia tidak berjenis kelamin, tetapi mengapa masih ada pembeda? Tataran bahasa kita yang keliru? Atau masyarakat kita yang salah meramu? Teori-teori semantik akan menjadi sekapur sirih untuk pembaca mengenal lebih dekat terhadap permasalahan kita.
ADVERTISEMENT
Verhaar dalam Makyun Subuki di bukunya yang bertajuk Semantik menjelaskan bahwa ragam kajian semantik pada dasarnya terkait dengan persoalan yang terdapat dalam analisis linguistik. Artinya, pengkategorian kajian semantik terdapat arti dalam suatu level analisis. Pertama semantik leksikal, Cruse menyatakan pikirannya semantik leksikal adalah sebuah bentuk disiplin dalam semantik yang mengkaji keterkaitan arti dari kata-kata. Sederhananya semantik leksikal membahas semua yang berhubungan dengan kata makna, arti, dan maksud dari kata-kata itu sendiri tanpa melibatkan faktor luar. kedua semantik pada tataran fonetik atau acapkali disebut fonologi fonetis, yaitu bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna atau bukan, arti tidak sama sekali mendapat perhatian, yang berbeda sekali dengan semantik leksikal. Lalu yang ketiga yaitu pada tataran gramatika atau tata bahasa, sederhananya pembahasan semantik pada tataran gramatika adalah konteks pembahasan yang bersubtataran morfologi dan sintaksis. Ringkasnya pula tulisan ini akan membahas kebahasan dari segi gramatiknya.
ADVERTISEMENT
Ilmu semantik menelaah lambang-lambang atau tanda yang menyatakan makna, seperti penjelasan di atas dalam bahasa terdapat makna hasil analisis semantik gramatik dan juga leksikal yang terdapat aspek perbedaan gender maupun jenis kelamin. Konsep gender dan jenis kelamin tentunya di sini haruslah pula dibedakan. Hematnya, gender adalah perilaku yang disematkan secara kultural pada laki-laki dan perempuan, sedangkan jenis kelamin lebih kepada aspek biologis. Bahasa Indonesia pada tataranya tidaklah mengenal pembagian berdasarkan kategori kenis kelamin atau gender. Prof Badudu (1984: 48) mengungkapkan pula bahwa bahasa Indonesia tidak ada alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan benda untuk yang berjenis kelamin laki-laki atau perempaun. Hanya saja ada penembahan kata untuk pembeda, misalnya ayam jantan, ayam betina. Dan fenomena bias gender ini dapat diamati dari aspek semantik. Sebenarnya dibandingkan bahasa Inggris maupaun Arab bahasa Indonesia cenderung egaliter, namun dalam perwujudannya bahasa Indonesia dalam pengekspresian seksisme masilah tetap ada. Salah satunya dalam wujud kosakata pada profesi. Kata-kata yang bersifat umum cenderung dijadikan sebuah pengistilahan atau pemaknaan yang merujuk pada laki-laki.
ADVERTISEMENT
Tetapi mengapa adanya sebuah bias gender atau kecendrungan memihak pada satu gender saja padahal ini sebuah tataran kebahasaan? Itu artinya bahwa bahasa tersebut memihak salah satu gender dengan satu dan lain cara. Kita ketahui pula Bahasa Indonesia tidak beridiri sendiri, dan juga memiliki kosakata yang berasal dari serapan bahasa asing maupun bahasa daerah, penyerapan unsur-unsur asing ini yang merefrensikan pada acuan jenis kelamin tertentu, baik itu berupa leksem, morfem atau imbuhan-imbuhan lainnya sehingga menunjukkan bias gender dalam bahasa indonesia semakin transparan.
Dalam tataran linguistik ada dua wilayah yang memungkinkan adanya bias gender yaitu pada tata bahasa dan kosakata (leksikon). Namun jika kita melihat adanya kecendrungan, bahasa merupakan salah satu produk kekuasaan, yang berasal dari konsesus atau kesepakatan masyarakat. Konsesus yang kental akan dominasi penguasa karena merekalah semua kebijakan dimulai, setelah dijelaskan bahwa bahasa indonesia tidak memiliki jenis kelamin, dan faktanya bisa dilihat banyak bukti dan kosakata yang menunjukkan perbedaan, contoh lainnya adalah adanya satuan-satuan lingual yang secara seksis biologis untuk membedakan gender, seperti fonem /i/ untuk gender yang feminin dan fonem /a/ untuk gender yang maskulin. Namun bukti-bukti gramatikal ini tidaklah begitu terang jika menunjukkan sebuah ketimpangan, analisis pada sosial-politik dan budaya juga bisa dijadikan sebuah bukti adanya pembeda antara bahasa laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Tetapi dalam pelaksanaan ketika istilah bahasa dipakai banyak sekali lema-lema kebahasaan yang mendudukan perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Selain itu dalam pengistilahan untuk laki-laki menuju pada istilah yang umum dan formal sedangkaan perempuan kebalikannya. Seperti Polisi dan polisi wanita (Polwan). Tak asing kan? Ingat kembali masa kecilmu bagaimana profesi polisi sangat didambakan, mau jadi apa kamu begitu kata orang tua, dan dengan lantang kalian teriak ingin menjadi polisi, atau terdengar sanggahan “eh kalau perempuan itu polwan”.
Sebagai analisis gramatikal, afiks-afiks memiliki peran dan fungsi membentuk makna garmatkal dan menentukan arti kata. Misalnya sufiks atau imbuhan –man –wati mempunyai fungis pemebntukan nomina. Sedangkan secara arti merujuk pada seseorang yang memilki keahlian, mislanya sastrawan, dramawan, pragawan, pragawati,. Dan kategori laki-laki atau perempuan dapat terlihat dari sufiks yang melekat pada kata dasarnya. Karyawan dan karyawati, adalah acuan laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Chaer (1990: 119) menyatakan untuk menganalisis kecendrungan ini bisa menggunakan teori analisis binner, yaitu membandingkan unsur-unsur maskulinitas dan feminitas yang dimiliki sebuah kata. Sebuah contoh mahasiswa dan mahasiwa, istilah mahasiswa lebih umum digunakan serta lebih sering disematkan pada laki-laki, sedangkan mahasiswi di khususkan unutk menghimbau perempuan, dan akan aneh jika anak laki-laki dihimbau oleh dosennya dengan panggilan mahasiswi, dan biasa saja jika anak perempuan dihimbau oleh dosennya dengan sematan mahasiwa.
Hal ini menunjukkan adanya subordinasi terhadap keeksklusifan terhadap perempuan, mengapa hal ini bisa terjadi? Masyarakat, serta sosial kita menilai ada perbedaan aktivitas, nilai, serta kebiasaan antara laki-laki dan perempuan yang terefleksikan ke penggunaan bahasa. Pun hal ini juga terimbas ke cara atau jenis berpakaian dari dua gender ini, laki-laki yang jelas berbeda dari berpakaiannya dibanding perempuan. Generalnya, pakaian laki-laki adalah kaos, sepatu, celana jeans yang masih wajar saja jika perempuan memakainya, namun adalah tidak wajar serta menyalahkan norma jika laki-laki mengguankan sepatu berhak tinggi. Artinya apa, segala perkakas atau unsur yang digunakan laki-laki merepresentasikan sesuatu yang bersifat nertral atau umum. Sebaliknya, aktivitas, perilaku yang disematkan ke perempuan adalah sebuah bentuk label khusus dengan harga mati.
ADVERTISEMENT
Itulah yang terjadi dan berimbas pada penamaan profesi, sebagaimana adanya sufiks –man,-wati dll, penamaan profesi polisi dan polisi wanita (polwan) juga termasuk refleksi bias gender pada bahasa Indonesia. Penamaan profesi ‘polisi’ untuk penamaan sesuatu yang bersifat umum dan netral, sedangkan bagi perempuan yang nantinya lolos tes akademi kepolisian dan mendapatkan tugas menjadi polisi maka ada panggilan khusus yaitu polisi wanita (polwan). Nama gelar atau profesi yang dikotak-kotakkan ini merupakan bentuk dari pengistilahan bias gender yang linear dengan penyebutan berdasarkan sufiks-sufiks yang menempel pada kata dasarnya.
Bahasa sebagai bentuk kekayaan budaya, yang kuat sumbagsih dalam kasus-kasus bias gender ini, budaya kita seolah mengajarkan bahwa laki-laki harus diajarkan seperti apa begitupun perempuan diklasifikasi dengan muatan budaya yang dipercaya kemudian bahasa sebagai bentuk implementasiannya atas asumsi-asumsi dari budaya itu tadi.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulailah membiasakan dalam penyebutan, pemanggilan sesuatu yang bersifat ‘eksklusif’ tersebut pada seusatu yang bersifat umum. Misalnya saat presentasi, ketika teman yang perempuan kita panggil saudari maka itu juga berlaku untuk laki-laki, atau penggunaan kata saudara dengan konsisten untuk siapapun.
Referensi:
Badudu, J.S. 1984. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV.Pustaka Prima
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta.
Subuki, Makyun. 2011. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Trans Pustaka.
Setiyaningsi, Sri Isnaini. 2015. Bias Gender dalam Verba: Sebuah Kajian Leksikon dalam Bahasa Inggris. Dalam Jurnal Sawwa, Vol. 11, No. 1, Oktober 2015.