Konten dari Pengguna
Kesetaraan Gender yang Menculik Masa Depan Anak Kita
6 Juli 2025 16:23 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
Kesetaraan Gender yang Menculik Masa Depan Anak Kita
kita perlu waras dalam memaknai kemajuan. Bahwa perempuan boleh bekerja, boleh berkarier,tetapi perempuan juga boleh memilih menjadi ibu yang hadir penuh, tanpa dicemooh sebagai "tak berdaya"Septi Peni Wulandani

Tulisan dari Septi Peni Wulandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di abad ke-21, kesetaraan gender telah menjelma mantra paling berpengaruh di ruang kebijakan publik. Badan PBB mencatat lebih dari 72% perempuan usia produktif di negara maju kini bekerja penuh waktu. Di Indonesia, angka partisipasi kerja perempuan naik dari 50% (1990) menjadi 54,27% (2022)—kenaikan yang terus dirayakan sebagai kemenangan emansipasi.

Tetapi di balik perayaan itu, ada statistik yang tak pernah muncul di spanduk Hari Perempuan Internasional: angka gangguan kecemasan anak naik 30% dalam satu dekade terakhir. Di kota-kota besar, anak yang tumbuh bersama pengasuh selama lebih dari 8 jam sehari bukan lagi pengecualian, melainkan norma.
ADVERTISEMENT
Kita sedang menyaksikan revolusi diam-diam: keluarga dipecah menjadi unit-unit outsourcing. Kita membeli waktu pengasuhan dengan harga bulanan, lalu menutupi rasa bersalah dengan mainan impor dan paket liburan.
Bagi kelas menengah perkotaan, perempuan bekerja bukan lagi opsi, melainkan keharusan. Bukan semata demi kebebasan berekspresi, tetapi demi bertahan di ekonomi yang menuntut dua penghasilan agar bisa mencicil rumah 70 meter persegi. Ironisnya, keberhasilan karier perempuan justru membuka pintu bagi pasar pengasuhan—pasar yang sepenuhnya tak diatur kualitasnya.
Coba tanyakan pada diri sendiri: apakah orang-orang dewasa yang kita percayakan menjaga anak kita memiliki kesabaran, kapasitas, dan kasih sayang setara dengan ibu mereka? Apakah kita siap mengakui bahwa riset Harvard University Center on the Developing Child menunjukkan interaksi stabil dengan caregiver utama adalah penentu utama perkembangan otak anak?
ADVERTISEMENT
Kesetaraan gender yang kebablasan kerap melupakan konsekuensi biologis: anak-anak tak bisa menunggu. Ikatan emosi tidak bisa ditunda sampai meeting selesai atau traffic tol reda. Kehadiran tidak bisa dipesan daring.
Yang lebih menyedihkan, narasi publik menertawakan perempuan yang memilih di rumah sebagai “kurang produktif,” seolah mencetak manusia sehat jiwa raganya adalah pekerjaan kelas dua. Padahal, jika kita jujur, tak ada investasi yang lebih strategis untuk bangsa ini dibanding memastikan masa kanak-kanak berlangsung dalam pengasuhan yang berkualitas.
Ini bukan seruan kembali ke era lampau. Ini panggilan agar kita waras dalam memaknai kemajuan. Bahwa perempuan boleh bekerja, boleh berkarier, boleh jadi menteri, boleh jadi presiden—tetapi perempuan juga boleh memilih menjadi ibu yang hadir penuh, tanpa dicemooh sebagai “tak berdaya.”
Yang kita perlukan bukan slogan emansipasi yang membabi buta, tetapi kebijakan yang memungkinkan keseimbangan. Fleksibilitas kerja. Jam kerja ramah keluarga. Perlindungan bagi pilihan perempuan untuk tinggal di rumah. Karena pada akhirnya, kesetaraan yang memaksa semua perempuan keluar rumah hanya akan menculik masa depan anak-anak kita.
ADVERTISEMENT
Dan kelak, kita akan membayar ongkos sosial itu—dengan generasi yang tumbuh penuh kegelisahan, rapuh, dan tidak pernah betul-betul merasa dicintai.
Pertanyaannya sederhana: Apakah ini harga yang pantas untuk sebuah kesetaraan yang setengah paham?