Konten dari Pengguna
Ketahanan Keluarga yang Retak di Meja Makan
6 Juli 2025 18:56 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
Ketahanan Keluarga yang Retak di Meja Makan
Kita hidup di zaman ketika keluarga dipuja-puji dijadikan jargon kampanye,Tetapi di balik perayaan seremonial itu, ketahanan keluarga kita justru rapuh, retak pelan-pelan di ruang tamu dan meja makan.Septi Peni Wulandani

Tulisan dari Septi Peni Wulandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman ketika keluarga dipuja-puji di baliho, dijadikan jargon kampanye, diperingati setiap 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional. Tetapi di balik perayaan seremonial itu, ketahanan keluarga kita justru rapuh, retak pelan-pelan di ruang tamu dan meja makan.
ADVERTISEMENT
Ketahanan keluarga bukan soal foto keluarga yang seragam berkebaya di studio. Ia soal kualitas relasi yang tumbuh sehari-hari. Soal waktu yang diluangkan tanpa terganggu notifikasi WhatsApp grup kantor. Soal kesabaran mendengarkan anak yang hari ini ingin jadi astronot, besok ingin jadi YouTuber.
Sayangnya, riset menunjukkan arah yang muram. Survei BPS (2022) mencatat lebih dari 60% keluarga Indonesia mengaku jarang makan bersama dalam seminggu. Sebagian besar rumah tangga urban hidup dalam pola living apart together: fisik serumah, jiwa berjarak.
Kita menambal jarak itu dengan belanja daring, dengan liburan singkat, dengan hadiah ulang tahun yang mahal—lalu berpura-pura semua baik-baik saja. Padahal, psikolog perkembangan anak sudah berkali-kali mengingatkan: attachment dan rasa aman anak lahir dari kebersamaan yang rutin, bukan momen spektakuler yang langka.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, di saat orangtua bekerja mati-matian demi “masa depan anak,” anak-anak justru tumbuh dalam kesepian. Mereka bersahabat lebih akrab dengan layar tablet ketimbang wajah orang dewasa di rumah.
Ketahanan keluarga, dalam definisi yang paling purba, adalah kemampuan rumah tangga menjadi tempat berlindung ketika dunia di luar tak bersahabat. Tetapi hari ini, rumah justru kerap menjadi perpanjangan tekanan kerja. Deadline masuk sampai ke meja makan, rapat daring berlangsung sampai anak-anak tertidur.
Tak ada bangsa yang benar-benar kuat jika fondasi keluarganya keropos. Kita bisa bangga dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahun, tetapi kita lupa bertanya: tumbuh untuk siapa? Apakah pertumbuhan itu dibayar dengan anak-anak yang kehilangan figur ayah dan ibu yang hadir utuh?
ADVERTISEMENT
Kita sibuk meributkan undang-undang, memperdebatkan siapa lebih berhak mengasuh anak jika rumah tangga gagal, tetapi kita lupa membahas soal mengasuh sebelum gagal.
Ketahanan keluarga adalah persoalan sehari-hari. Kapan kita pulang. Apa yang kita bicarakan di meja makan. Seberapa sering kita saling memeluk tanpa alasan.
Sociolog Amerika, Robert Putnam, pernah menulis buku Bowling Alone, tentang bagaimana komunitas dan keluarga di Amerika runtuh ketika ikatan sosial tak lagi dirawat. Indonesia mungkin belum sampai di ujung jurang itu. Tapi retakan-retakan kecil sudah terlihat di mana-mana—di rumah-rumah yang penghuninya sibuk sendiri-sendiri.
Pertanyaannya sederhana: Apakah kita masih menganggap rumah sebagai tempat pulang, atau hanya hotel transit sebelum besok kembali bekerja?
Karena pada akhirnya, ketahanan keluarga bukan sekadar kebijakan. Ia keputusan harian. Ia kebiasaan yang diperjuangkan. Ia keberanian untuk bilang, sebentar, pekerjaan bisa tunggu—tapi anak saya tumbuh hanya sekali.
ADVERTISEMENT