Konten dari Pengguna

Melawan Bully dengan Diri Sendiri

Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
30 September 2023 16:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septian Pribadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika kecil, saat masih kelas 4 SD, saya pernah membuat gempar sekolah karena hal sepele. Saya sendiri tidak menduga efeknya di luar kendali. Waktu itu, saya dan empat teman bermain Dakon (permainan tradisional Jawa). Kami berempat duduk bersila lalu memainkan setiap biji dakon dan dimasukkan ke dalam 12 lubangnya. Saat itu Dakon menjadi permainan yang menyenangkan di zaman kami, saat gadget tidak semasif sekarang.
ADVERTISEMENT
Di tengah keseruan bermain, saya tiba-tiba nyeletuk ke lawan main saya, sebut saja Agus, “Woy, ibumu Michael Schumacher, ya?” Tiga teman saya tertawa ngakak mendengar celetukan saya sambil terus bermain Dakon. Tapi tidak dengan Agus. Matanya merah padam seperti menahan amarah. Berselang hitungan detik, biji dakon yang digenggamnya dilempar dan hampir mengenai kepala saya. Seketika itu dia pergi meninggalkan gelanggang permainan.
Seketika atmosfer permainan yang seru berubah mencekam. Kami bertiga saling pandang dan tertegun. Tapi ya namanya masih anak-anak, kejadian itu tak kami pedulikan dan melanjutkan permainan dengan tetap cengegesan. Hahaha…
Beberapa hari kemudian saya mendapat Agus sudah tidak sekolah lagi. Beberapa guru melakukan investigasi ke rumahnya. Dan menemukan alasan Agus tidak sekolah lagi karena ucapan saya tempo hari tentang “Michael Schumacher” itu.
ADVERTISEMENT
Asemm tenan! Saya kemudian menjadi trending topic di sekolah dan harus riwa-riwi ke ruang guru untuk diinterogasi. Semua orang menyalahkan saya termasuk para guru. Sampai-sampai saya harus absen sekolah karena merasa sangat bersalah. Dalam hati, saya merenungi kejadian sial itu, dan terus bertanya-tanya, apa salah saya? Lah cuman guyonan aja kok diambil serius, toh!

Bully tak Pernah Usai

Belakangan saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan di masa kecil itu adalah bully. Si Agus tidak terima karena nama ibunya saya ganti dengan Schumacher. Dan itu menyinggung perasaannya. Saya tidak hendak membenarkan aksi bully itu meski dibungkus dalam kemasan guyon. Ucapan saya tetap salah dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Andai saja zaman kecil dulu media sosial semasif sekarang, bukan tidak mungkin saya didatangi Agus dengan membawa sebilah pisau dan menusuk saya seperti kasus siswa SMA di Banjarmasin yang menikam temannya di kelas. Atau mengajak kawan-kawan lainnya lalu mengadang saya sepulang sekolah dan dihajar habis-habisan seperti kasus anak SMP di Cilacap tempo hari. Ngeri euy.
ADVERTISEMENT
Permasalahan bully di Indonesia seperti tak ada habisnya. Studi Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan kasus bullying terbanyak kelima di dunia dari 78 negara yang disurvei. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 13 Februari 2023 ada kenaikan angka kasus sebanyak 1.138 dari kasus kekerasan fisik hingga psikis. Bahkan kasus ini paling banyak didominasi siswa yang duduk di sekolah dasar.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mereduksi kasus bully ini. Sinergitas antara sekolah, orang tua, dan pemerintah telah banyak memunculkan trobosan, sosialisasi, aturan, dan lain sebagainya agar bully lenyap dari dunia pendidikan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, upaya hukum dimunculkan melalui Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C UU 35/2014 yang menyebutkan pelecehan verbal masuk sebagai tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Beberapa program anti-bully sudah banyak bermunculan seperti Olweus Bullying Prevention Programme/OBPP dari Norwegia dan program anti-intimidasi KiVa dari Finlandia. Namun, kenapa di Indonesia masih terus terjadi? Seolah bully dan sekolah adalah wabah dan wadah yang subur di Indonesia.

Melawan Bully

Saya setuju berbagai upaya yang dilakukan oleh banyak pihak dalam mereduksi bully di sekolah atau di mana saja dengan program-program yang bersifat eksternal. Namun ada hal penting yang mungkin luput dibidik oleh kita adalah penguatan mental anak-anak kita atau make it stronger from the inside (inner strength). Yaitu bagaimana kita menciptakan mentalitas tahan banting kepada korban bully agar mereka mampu bertahan di saat program anti-bully tidak berjalan maksimal.
Saya menyukai ungkapan Filsuf Inggris, Jonathan Dollimore, dalam mengambarkan suatu proses untuk menguatkan diri. Yaitu proses merangkul penderitaan sebagai kesempatan untuk mendapatkan kekuatan. Bahwa bully yang bisa terjadi kapan dan di mana saja tak dapat kita kontrol, namun bully bisa kita manfaatkan untuk mendapatkan kekuatan dari penderitaan itu. Bahwa pengalaman-pengalaman sulit atau penderitaan dalam hidup dapat memperkuat seseorang secara emosional dan mental jika mereka mampu menghadapinya dengan bijaksana dan belajar darinya.
ADVERTISEMENT
Brandon Tanu, anak pengusaha muda bernama Wanda Ponika. Seorang anak yang hiperaktif yang dianggap sering mengganggu teman-temannya di sekolah. Ia menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Bully Aja. I Don’t Care” bisa menjadi contoh terkait pentingnya inner strength. Ia mengatakan, untuk mengatasi bully tidak perlu memberontak, cukup stand up for yourself dan jangan pernah menyendiri.
Komunikasikan kepada para guru dan orang tua apabila bully mendatangi kita. Perkuat mental diri sendiri dan minta perlindungan kepada petugas setempat. Saya tidak hendak menormalisasi bully sebagai perbuatan yang benar. Tapi, melihat kerentanan sistem saat ini dalam menghadapi bully, membuat kita harus bersiap sendiri menghadapinya. Seperti proteksi internal, dengan penguatan inner strength kita bisa meminimalisasi dampak berbahaya dari bully sembari menanti kemapanan sistem lingkungan kita melawan bully. Entah sampai kapan?
ADVERTISEMENT