Konten dari Pengguna

Mengembalikan Marwah Carok yang Ternodai

Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
23 Januari 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septian Pribadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Ilustrasi: Pertarungan antara dua manusia. Foto: https://www.freepik.com/free-vector/knights-duel-with-swords-ancient-city-brave-medieval-solders-men-people-heavy-steel-armor-fighting_13683526.htm#page=3&query=fight%20in%20madura&position=12&from_view=search&track=ais&uuid=501ccee6-6ab8-44d8-a9f9-668297179dfd)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi: Pertarungan antara dua manusia. Foto: https://www.freepik.com/free-vector/knights-duel-with-swords-ancient-city-brave-medieval-solders-men-people-heavy-steel-armor-fighting_13683526.htm#page=3&query=fight%20in%20madura&position=12&from_view=search&track=ais&uuid=501ccee6-6ab8-44d8-a9f9-668297179dfd)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Lebbi begus pote tollang e tembeng pote matah” adalah semboyan yang saya dengar sewaktu berkunjung ke rumah teman di Pulau Garam alias Madura beberapa waktu lalu. Belakangan di tahun 2024 yang masih baru ini, semboyan itu viral karena ada peristiwa Carok yang menewaskan empat orang di Bangkalan, Madura.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih arti semboyan itu adalah lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu karena harga diri diinjak-injak. Secara harfiah, pote tollang berarti putih tulang yang diartikan sebagai kematian. Dan pote matah adalah putih mata yang diartikan menanggung malu.
Peristiwa Carok yang viral di media sosial itu kemudian ditanggapi oleh banyak warganet, yang pada intinya menjelek-jelekkan tradisi yang identik dengan Madura. Bahkan ada salah satu warganet yang enggan menikah dengan orang Madura karena takut tradisi Carok.
Padahal jika dilihat dari sejarah, Carok adalah hal yang mulia. Ia melambangkan suatu perlawanan atas kezaliman dan kesewanangan yang dilakukan oleh penjajah atau orang asing serta tuan tanah pada saat itu.

Sakera adalah Tokoh di Balik Tradisi Carok

Menurut cerita rakyat di Madura, Sakera adalah pendekar asal Madura yang hidup di daerah Bangil, Pasuruan. Ia seorang pendekar sekaligus santri yang memiliki laku nilai-nilai keislaman. Namanya aslinya Sagiman, riwayat lain menyebut Sadiman.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu masyarakat memanggilnya Sakerah karena keahliannya dalam bertarung. Ada yang menyebut “kerah” berarti petarung. Dan Sakerah berasal dari kata Sang Kerah alias Sang Petarung.
Saya mencoba mencari arti “kerah” dari beberapa sumber di internet. Namun ketemu hanya kata rah-kerah yang artinya kira-kira. Tentu arti itu tidak nyambung dong dengan Sakerah. Karena merasa tidak puas, saya coba tanya salah satu kawan dari Madura untuk menanyakan arti kata “kerah”.
Kata kawan saya, kerah berarti kasar, pemberani, dan gagah. Lah, arti itu kemudian terasa lebih nyambung dengan sosok Sakerah. Bahwa ia adalah sosok yang gagah dan pemberani dalam melawan siapa saja yang menindas.
Dalam cerita rakyat dari Madura, Sakerah adalah mandor perkebunan tebu dan pabrik gula Kancil Mas di Bangil. Ia sehari-hari selalu membawa senjata parang melengkung yang dikenal dengan sebutan monteng.
ADVERTISEMENT
Sakerah sering mendapat keluhan dari pekerja-pekerja asal Madura. Mereka mengeluhkan karena sering disiksa dan lahannya dirampas secara paksa. Dan dengan sikap gagah-berani ia sering melindungi para pekerja itu dari sikap semena-mena penjajah Belanda dan tuan tanah yang memaksa mereka untuk tanam paksa.
For your information nih, ketika itu penjajah memang lagi gencar-gencarnya melakukan cultuurstelsel (tanam paksa) untuk meningkatkan penghasilan rempah-rempah dari tanaman tebu dengan mengambil lahan orang. Ya untuk meraup bahan baku gula.
Karena keberaniannya melindungi para pekerja, ia sering kali melakukan duel maut melawan para preman suruhan penjajah bahkan beberapa kali melawan orang Belanda. Sakerah biasa menghadapi duel maut satu lawan satu, atau dua lawan satu, atau satu lawan tiga.
ADVERTISEMENT
Kehebatan Sakerah dalam duel maut itu dengan menggunakan celurit lantas dikenal sebagai Carok. Dan kata Carok sendiri memiliki arti bertarung dengan kehormatan. Sakerah berusaha menjaga kehormatan kawan-kawannya asal Madura yang disiksa dan diambil tanahnya.

Tanah adalah Kekayaan Sesungguhnya

Bagi masyarakat Madura, tanah adalah harta yang bermakna ekonomis sekaligus religius. Dengan tanah, masyarakat Madura bisa mengembangkan kualitas hidupnya. Ia bisa membuat seseorang bertahan hidup dengan bercocok tanam atau menggembala hewan peliharaan.
Dari sisi religi, tanah tidak sekadar benda mati melainkan sebuah wadah untuk terus mengingatkan mereka dengan asalnya. Bahwa manusia diciptakan dari tanah. Dan mereka juga meyakini tentang nenek moyang yang sudah dikubur dalam tanah tidak serta merta tiada. Melainkan hanya berpindah tempat dan masih hidup di alam yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Nah, karena dianggap masih hidup di alam lain, para arwah nenek moyang mereka juga bisa memberikan restu serta doanya. Dan untuk mendapat restu dan doa mereka, masyarakat Madura harus menampakkan kesetiaannya dalam merawat tanah peninggalannya. Jika tidak, mereka akan kualat atau dalam bahasa Madura disebut ecapo’ tola.
Oleh sebab itu, kita sering melihat fenomena orang Madura yang menguburkan keluarganya di tanahnya sendiri. Ada yang di depan rumah bahkan di dalam rumah itu sendiri. Itu sebagai laku menambah nilai sakral dari tanahnya.
Nilai kesakralan tanah yang diisi oleh jasad leluhur dan keluarganya kemudian mewujud dalam keyakinan mereka bahwa tanah adalah jiwa leluhur yang masih hidup. Sehingga orang Madura tidak akan pernah menjual tanahnya kepada orang luar. Karena menjual tanah mereka berarti menjual rumah leluhurnya. Dan perilaku seperti itu dianggap tabu dan aib.
ADVERTISEMENT
Selain tanah, istri juga sering menjadi pemicu peristiwa Carok. Istri orang Madura yang melakukan perselingkuhan atau digoda orang lain sama artinya mengundang peristiwa berdarah. Siapa saja yang mengganggu istri orang Madura berarti merusak martabat dan kehormatan mereka. Dan Carok adalah penyelesaiannya. Karena bagi mereka, istri adalah bhantalla pate (landasan kematian).

Mengembalikan Marwah Carok yang Ternodai

Bercermin dari sejarah dan filosofinya, Carok sebetulnya bukan tradisi yang buruk. Bahwa pada intinya Carok adalah sebuah tradisi perlawanan terhadap hal-hal yang bersifat zalim dan sak karepe dewe.
Hanya saja seiring berkembangnya zaman, tradisi Carok kemudian digunakan oleh masyarakat Madura dalam menyelesaikan masalah antar sesamanya. Padahal jika dilihat konteks Carok yang dilakukan Sakerah adalah perlawanan fisik di tengah sistem pemerintahan yang tidak adil dan berbasis kekerasan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Carok yang terjadi di Bangkalan baru-baru ini tentu saja bukan Carok yang diilhami dari sumber tradisi Carok itu sendiri. Melainkan perluasan makna dan penodaan terhadap kemuliaan Carok yang ditampilkan oleh Sakerah.
Meskipun sebetulnya Sakerah juga membunuh Brodin (jagoan piaraan Belanda) karena melakukan kawin paksa pada istri Sakerah, Marlina, saat dirinya dirinya dipenjara oleh Belanda. Ia kabur dari penjara lalu men-Carok Brodin. Tapi sekali lagi, konteksnya adalah di zaman penjajahan. Kondisi yang memang patut dilawan dengan kekerasan.
Selepas Indonesia merdeka, kondisi pemerintahan yang kondusif, dan aturan hukum telah ditegakkan, Carok tidak dapat lagi diterapkan mentah-mentah. Justru ketika Carok dilakukan membabi buta, hal itu akan merugikan masyarakat Madura itu sendiri. Nyawanya hilang, kehormatannya hancur karena melanggar hukum (membunuh orang), sekaligus menyebarkan kesan buruk terhadap etnisnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Carok di Bangkalan dan beberapa peristiwa sejenis selama beberapa tahun terakhir seharusnya dijadikan momentum untuk merevitalisasi tradisi Carok itu sendiri. Carok harus tetap berlaku dalam tradisi kehidupan orang Madura dengan memodifikasi teknisnya.
Misal, Carok tidak dilakukan dengan clurit melainkan dilakukan dengan memakai boxing gloves (sarung tangan tinju) di ring tinju dengan beberapa ronde. Sebagai upaya pelampiasan kekesalan dengan memukul lawannya namun tetap aman di mata hukum. Dan bagi perusak kehormatan baik kalah atau menang, tetap dikenai hukuman berupa denda sekian puluh juta rupiah dan diasingkan dari tanah Madura. Untuk memunculkan efek jera.
Ya tentu saja ini usulan demi menjaga marwah atau kemuliaan Carok di Madura. Jika tidak, saya khawatir perlahan namun pasti, etnis Madura akan punah di muka bumi karena tradisinya sendiri.
ADVERTISEMENT