Konten dari Pengguna

Seni Mbatin yang Merusak Komunikasi Kita

Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
13 Desember 2023 18:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septian Pribadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Komunikasi yang rusak. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Komunikasi yang rusak. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah to Pak, lain kali jangan memahami suatu masalah dengan mazhab batiniyah. Alias dibatin tok. Itu ndak akan menyelesaikan masalah, justru memperkeruh masalah. Komunikasikan pada orangnya agar mendapat fakta, bukan prasangka. Lalu temukan solusinya!
ADVERTISEMENT
Ini obrolan kesekian puluh kali antara saya dengan Pak Ji, seorang kawan nongkrong di warung kopi sebelah rumah. Pak Ji sering kali mengeluhkan sikap istrinya yang menurutnya tidak menghormati suami. Perempuan kok nggak punya tata krama nang wong lanang, apa pingin melbu neroko? Umpat Pak Ji di depan saya.
Rumah tangga Pak Ji dan istrinya tidak harmonis akhir-akhir ini. Padahal mereka berdua sudah menginjak usia senja. Usia di mana hanya ketenangan lahir-batin yang didambakan dalam menanti jadwal penjemputan nyawa. Sudah tak ada ambisi duniawi yang terselip dalam otot-otot rentanya. Kecuali ngopi, ritual rutin Pak Ji untuk tetap menjaga kewarasan.
Saya tak hendak menasihati Pak Ji yang usianya terpaut dua dekade dengan saya saat menceritakan masalah keluarganya. Kata Pak Ji, saya ini orang sekolahan. Dikiranya semua orang sekolahan punya sudut pandang lebih luas dalam memahami masalah. Karena terlanjur dianggap begitu, terpaksa saya harus jadi pendengar yang baik dan berusaha sekuat tenaga menemukan benang merah masalahnya.
ADVERTISEMENT

Problem Keluarga

Saya sudah berkeluarga, setidaknya sudah 5 tahun saya melepas masa lajang. Selama itu pula saya menemukan banyak sekali masalah dalam hidup berkeluarga. Tidak saja masalah keluarga saya sendiri, tapi juga masalah keluarga orang tua dan mertua tentu saja. Ditambah lagi cerita masalah keluarga kawan-kawan tongkrongan. Modal yang agak cukup untuk memahami masalah Pak Ji.
Alkisah, Pak Ji adalah penderita radang sendi. Penyakit terbanyak nomer dua yang menjangkiti lansia di Indonesia. Ia sering kali merasakan nyeri dan kekakuan pada sendi-sendi tubuhnya. Bahkan pernah terjadi pembengkakan. Selain minum obat, solusinya harus beristirahat dan menghindari aktivitas berlebihan.
Suatu ketika, pagar rumahnya macet karena tertahan tumpukan debu dan tanah. Di musim panas dan jarang hujan begini, angin memang membawa banyak kotoran di halaman rumah. Istrinya lalu meminta Pak Ji untuk memperbaiki pagar itu. Walhasil, radang sendi Pak Ji kambuh dan pagar belum selesai diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Istrinya lalu marah-marah karena menganggap Pak Ji tidak becus ngurusi masalah sepele itu. Sudah menahan sakit di sendi, ditambah menahan amarah karena diomeli istri. Pak Ji hanya diam saja dan mendengarkan omelan istrinya. Nanti juga bakal diam sendiri, pikir Pak Ji. Ia hanya fokus pada sendi kakinya yang seperti dicabik-cabik.
Dalam hatinya bergumam, aku ini sedang kesakitan kok malah dimaki-maki. Tolong lah pengertian! Ya, Pak Ji tidak mengungkapkan suara hatinya itu. Dikira istrinya tidak paham sakit yang dideritanya. Ini satu masalah dari sekian banyak masalah keluarga yang hanya dibatin oleh Pak Ji. Dan ujungnya, mereka berdua akan perang dingin. Masing-masing merasa benar dengan asumsinya sendiri. Biasanya tiga hari tiga malam, mereka berdua puasa bicara.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, istrinya berasumsi bahwa Pak Ji memang tidak becus. Toh kalau mau memperbaiki pagar tidak harus dilakukan sendiri. Bisa panggil orang lalu dibayari. Uang juga ada, yang rutin dikirim oleh anak-anaknya. Di sisi lain, Pak Ji berasumsi bahwa istrinya ini memang teramat tega. Sudah setua ini dan punya penyakit sendi kok disuruh memperbaiki pagar.
Pak Ji dan istrinya memiliki versi kebenaran masing-masing. Dan tentu semuanya benar jika mau dilihat lebih objektif. Masalahnya bukan pada kebenaran asumsinya, tapi bagaimana mereka berdua menemukan titik temu kebenaran yang bisa menentramkan keduanya. Sialnya, itu tidak terjadi karena mereka hanya mbatin saja. Tidak ada komunikasi dan tidak ada win-win solusi.
Andaikan saja, jika Pak Ji dan istrinya menyampaikan semua isi batinnya dengan lebih tenang dan terbuka, tentu letupan masalah sepele macam memperbaiki pagar rumah tidak perlu terjadi. Dan ini dialami oleh banyak keluarga di lingkungan saya. Bahkan mungkin juga dialami oleh keluarga-keluarga lainnya di luar sana.
ADVERTISEMENT
Lalu apa masalahnya? Apakah karena hambatan berkomunikasi? Misal kita perlu menata pemilihan bahasa, memilih waktu yang tepat untuk diungkapkan, lalu lebih aktif dalam mendengarkan, dan lain sebagainya. Iya, bisa jadi. Tapi itu terlalu rumit untuk dipahami oleh orang seperti Pak Ji dan istrinya yang tidak cukup mendapat kesempatan belajar ilmu psikologi komunikasi.
Lalu bagaimana?

Jangan Dibatin

Pak Ji dan istrinya yang sudah hidup puluhan tahun bersama tentu memiliki gaya komunikasi yang bisa dipahami oleh masing-masing. Dan tidak terkecuali pula keluarga-keluarga yang lain. Betapa tidak mungkin, mereka yang hidup berpuluh tahun tetap bersama dalam ikatan keluarga jika tidak ada komunikasi yang mengikatnya.
Kita cenderung mengalami pengikisan mentalitas dalam berkomunikasi. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh pengalaman hidup dalam berkeluarga. Kita tentu pernah mengalami upaya komunikasi yang tidak menemukan solusi dan justru memunculkan masalah baru. Dalam hal ini adalah Pak Ji dan istrinya.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, dalam beberapa masalah keluarganya, Pak Ji pernah mencoba mengomunikasikan isi batinnya namun disalahpahami oleh sang istri. Pun begitu sebaliknya. Sehingga bukan titik temu yang muncul melainkan titik rumit yang menancap dalam batin.
Kegagalan komunikasi yang berakhir cidro itu kemudian menumpuk dan mengikis mentalitas kita. Membuat trauma. Dan pada akhirnya, kita menjadi rentan untuk berbicara dengan tenang dan terbuka. Jangan-jangan kalau saya bicara begini, malah bikin masalah makin rumit.
Dari kumpulan cidro dan kerumitan dalam berkomunikasi itu kemudian memunculkan mazhab batiniyah. Dengan ajaran khasnya, yaitu berkomunikasi dengan dibatin. Menyimpan obrolan di dalam hati, berharap semua masalah selesai, dan lawan bicara akan memahami kita. Apakah semudah itu? Tentu tidak!
ADVERTISEMENT
Pak Ji tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya jika hanya dibatin. Pun dengan istrinya. Ujungnya seperti yang kita tahu, mereka akan memegang teguh asumsi dalam batinnya, pertengkaran terus berkobar, lalu reda. Dan besoknya ketika masalah baru muncul akan kembali seperti sebelumnya. Berputar tidak ada habisnya.
Saya banyak sekali menjumpai problematika keluarga karena seni mbatin seperti kasus Pak Ji ini. Saya khawatir masalah ini kemudian menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Seperti kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi alasan banyaknya perceraian di Indonesia. Para suami yang sebetulnya tidak “ringan tangan” atau suka memukul menjadi melakukan kekerasan pada istrinya karena tidak memahami akar masalahnya, yaitu lebih suka mbatin daripada melakukan komunikasi terbuka.
Mentalitas untuk siap berkomunikasi dengan tenang dan terbuka apapun kondisinya adalah keniscayaan. Kalimat itu, tentu saja tidak saya sampaikan kepada Pak Ji. Karena bisa jadi sulit dipahami. Dan pesan saya kepada Pak Ji, seperti di tulisan saya di paragraf pertama.
ADVERTISEMENT