Konten dari Pengguna

Psikologi Anak dalam Aturan Batas Usia Pengguna Media Sosial Menkomdigi

Septian Wahyu Rahmanto
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
8 April 2025 17:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septian Wahyu Rahmanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak-anak menggunakan media sosial. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/t-shirt-crew-neck-bergaris-garis-merah-putih-duduk-di-sofa-putih-7869451/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak-anak menggunakan media sosial. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/t-shirt-crew-neck-bergaris-garis-merah-putih-duduk-di-sofa-putih-7869451/

Menkomdigi dan Batas Usia Pengguna Media Sosial

ADVERTISEMENT
Menkomdigi mengumumkan bahwa Pemerintah RI akan mengeluarkan aturan batas usia pengguna media sosial. Belum ada kejelasan berapa batas usia minimum yang boleh menggunakan media sosial. Beberapa negara sudah membatasi usia yang boleh menggunakan media sosial.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara bagian Amerika Serikat mewajibkan pengguna media sosial berusia minimal 13 tahun, Utah dan Arkansas meningkatkan batasan menjadi 18 tahun. General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa menetapkan usia minimum 16, kecuali jika orang tua memberikan persetujuan. Di Asia, Tiongkok memberlakukan pembatasan waktu akses media sosial bagi pengguna di bawah 18 tahun, sementara Korea Selatan membatasi pengguna di bawah usia 14 tahun harus mendapatkan izin orang tua sebelum membuat akun media sosial. Australia melarang anak di bawah 16 tahun mengakses media sosial dan menerapkan denda bagi perusahaan teknologi raksasa seperti Meta (pemilik Instagram dan Facebook) dan TikTok jika mereka gagal mencegah akses anak-anak ke platform mereka.
Pembatasan usia untuk mengakses media sosial menjadi penting untuk dibahas, terlebih lagi jika mengacu pada hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai peningkatan penggunaan internet di Indonesia tahun 2024. Berdasarkan hasil survey tersebut, generasi Z (kelahiran 1997-2012) yang berada pada usia 12 tahun sampai 27 tahun merupakan kelompok dengan tingkat penetrasi internet tertinggi kedua (87,02%) setelah generasi milenial (kelahiran 1981-1996).
ADVERTISEMENT
Penentuan batas usia minimum ini, tentu tidak hanya memperhatikan usia kronologis saja, namun juga perkembangan psikologis pada berbagai rentang usia anak. Penting untuk mempertimbangkan perkembangan psikologis anak, baik dalam aspek kognitif, afektif, perilaku, dan sosial yang dialami di masa tumbuh kembangnya.

Media Sosial dan Psikologi Anak

Untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun, kemampuan mereka untuk memahami konten yang kompleks, seperti informasi palsu atau manipulatif, masih sangat terbatas. Mereka juga belum memiliki kapasitas penuh untuk melindungi privasi mereka sendiri, memahami konsekuensi jangka panjang dari jejak digital, atau memisahkan dunia maya dari realitas. Oleh karena itu, menetapkan batas usia yang realistis dapat membantu melindungi kelompok usia ini dari risiko tersebut.
Anak yang berada di usia 12–14 tahun (remaja awal), bagian otak yang bertanggung jawab atas kontrol emosi dan impuls, yakni prefrontal cortex, masih berkembang. Hal ini menjadikan remaja lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari media sosial, seperti cyberbullying, tekanan untuk menunjukkan citra diri yang ideal, dan kecanduan. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa paparan media sosial yang berlebihan dapat memengaruhi kesehatan mental remaja, meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.
ADVERTISEMENT
Media sosial memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan sosial dan emosional. Anak remaja cenderung mencari validasi sosial melalui jumlah “like” atau komentar yang mereka terima, yang sering kali memengaruhi harga diri mereka. Anak remaja identitas diri yang masih berkembang, sangat rentan terhadap tekanan sosial untuk mengikuti tren atau norma tertentu yang mungkin tidak selalu positif.
Teori Erik Erikson tentang perkembangan psikososial juga relevan di sini. Pada tahap usia 12-18 tahun (identity vs. role confusion), anak berusaha membangun identitas diri mereka. Kehadiran media sosial dapat mempersulit proses ini, karena tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar masyarakat yang tidak realistis atau idealisasi yang sering ditemukan di platform media sosial.
Meskipun media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Tik Tok menetapkan bahwa pengguna yang bisa mendaftar berusia minimal 13 tahun, namun jika melihat aspek perkembangan anak sebenarnya tidak ada batasan yang pasti. Hal ini tergantung pada kematangan psikologis masing-masing anak. Bahkan jika anak berusia 13 tahun ke atas namun secara psikologis belum siap juga berisiko menggunakan media sosial.
ADVERTISEMENT
Menurut Kepala Ahli Bedah AS Vivek Murphy, penggunaan media sosial secara teratur dapat mengubah perkembangan otak anak-anak secara berbahaya, bahkan anak-anak yang memenuhi persyaratan usia minimum sebagian besar platform yaitu 13 tahun. Dr. Mitch Prinstein (Psikolog Klinis) dan American Psychological Association (APA) menyatakan sulit untuk menentukan usia pasti kapan penggunaan media sosial secara teratur dianggap aman, karena setiap anak tumbuh dengan kecepatan yang berbeda.
Regulasi yang akan diterapkan di Indonesia sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis dan legal, tetapi juga melibatkan pakar psikologi perkembangan, pendidikan, dan kesehatan mental. Pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach) dapat memastikan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung kesejahteraan anak-anak dan juga remaja dalam menggunakan dunia digital.
ADVERTISEMENT
Selain menetapkan batas usia, pemerintah juga perlu mendorong program literasi digital yang komprehensif. Orang tua, guru, dan remaja harus dibekali pengetahuan tentang bagaimana menggunakan media sosial secara sehat, bagaimana mengenali dan melaporkan perilaku berbahaya seperti perundungan daring, serta pentingnya membatasi waktu layar. Peningkatan literasi digital ini juga harus mencakup pengenalan terhadap keamanan data dan privasi, sehingga remaja tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga pengguna aktif yang cerdas dan bertanggung jawab.
Harapannya anak-anak yang menggunakan media sosial atau yang memanfaatkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia digital memiliki digital wellbeing. Digital wellbeing menggambarkan dampak teknologi dan layanan digital terhadap kesehatan mental, fisik, sosial, dan emosional seseorang. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa media sosial memiliki dampak positif bagi anak.
ADVERTISEMENT