Merasakan Stigma Buruk Penderita HIV melalui Film Kalel,15

septiara putri
Mahasiswi Universitas Pamulang Jurusan Akuntansi Account Receivable PT. Asia Garmindo Perkasa
Konten dari Pengguna
4 Juli 2022 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari septiara putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/photo/red-ribbon-on-pink-surface-8680265/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/photo/red-ribbon-on-pink-surface-8680265/
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya dikucilkan, dibatasi dan terpuruk akibat sebuah penyakit yang dikatakan hukuman dari tuhan?
ADVERTISEMENT
Usia remaja yang penuh gejolak diwarnai dengan berbagai impian yang tinggi. Pada masa ini pula, banyak dari kita mengalami masalah sepele khas remaja yang membawa dampak luar biasa di kemudian hari, seiring berjalannya waktu. Dunia yang semakin berkemajuan kadang tidak dibarengi oleh pemikiran yang juga canggih. Masih terdapat pemikiran jenuh yang tak memiliki bukti kongkret secara ilmiah, hasilnya pun kembali ke manusia itu sendiri. Stigma buruk adalah bukti bahwa manusia memiliki sifat tidak manusiawi. Ketidakseimbangan kemajuan zaman dan pemikiran turut melahirkan stigma buruk terhadap para penderita HIV yang dikatakan sebagai penerima hukuman dari tuhan. Melalui sebuah film asal Filiphina yang berjudul Kalel, 15 kita diajak untuk turut merasakan apa yang Kalel rasakan sebagai pengidap HIV.
ADVERTISEMENT
Kalel (Elijah Canlas), seorang remaja sekolah menegah yang cekatan. Memiliki wajah khas Filiphina yang tampan dan bertubuh atletis. Sedari kecil diasuh oleh sang ibu dan hidup bersama dengan Anne Fernandez (Kakak tiri perempuan). Film ini diawali cacian dari sang ibu kepada Kalel, setelah diagnosis HIV yang berstatus positif. Kalel diharuskan untuk diam bahkan tidak boleh diketahui oleh Anne. Dalam film ini pun, kita menemukan Kalel sebagai seorang remaja sangat tertekan akan statusnya sebagai pengidap. Bahkan secara runtut membuat kita memahami dari mana Kalel tertular penyakit tersebut. Diperlihatkan pula reaksi orang terdekat Kalel yakni sang ibu yang takut dikatakan gagal dalam mendidik sang putra setelah sebelumnya Anne melakukan aborsi akibat seks bebas.
ADVERTISEMENT
Film genre independen dengan segudang kata-kata kotor khas realita kehidupan membuat siapapun belajar memahami. Banyak sekali adegan yang menunjukan sikap masyarakat terhadap Kalel dan keluarga. Stigma buruk tersebut merekat layaknya sebuah bayangan di siang hari. Secara komprehensif dijelaskan dalam dialog yang eksplisit.
Film ini pun juga menyinggung tentang stigma masyarakat yang menunjuk para penderita HIV sebagai penerima hukum tuhan. Dengan runtut, sutradara Jun Lana memberikan kesan ekstrimis bagi penonton agar segera berhenti memberi stigma negatif kepada pengidap. Kalel yang memiliki masalah kompleks membuat rasa penasaran penonton semakin menjadi. Lantas, film yang rilis tahun 2019 ini membuat hati tersentuh, tak karuan dengan rasa bersalah. Latar belakang yang menjadi sebab vital mengapa Kalel terpilih untuk diceritakan dalam film ini dikemas sangat apik. Film ini sangat disarankan untuk para remaja usia 12-18 tahun. Film ini berhak akan perolehan skor 7,2 di IMDb.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, film yang memenangkan Asian Film Festival ke-17 ini memberikan kita bukti kongkret bahwa stigma buruk dari manusia dapat membunuh karakter, memutuskan harapan hidup dan efek merugikan lainnya khususnya bagi penderita HIV. Bukan hanya Kalel, rakyat Filipina tapi seluruh pengidap HIV di dunia ini.