Konten dari Pengguna

Biopolitika Tubuh Transgender dalam Praktik Medis Indonesia

Septina Khoirunnisah
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Sriwijaya
27 November 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septina Khoirunnisah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh : Septina Khoirunnisah, Ilmu Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya
Image Sumber : https://unsplash.com/photos/a-group-of-people-walking-down-a-street-holding-a-banner-43b5JNIKsDk
zoom-in-whitePerbesar
Image Sumber : https://unsplash.com/photos/a-group-of-people-walking-down-a-street-holding-a-banner-43b5JNIKsDk
Artikel ini akan membahas bagaimana praktik medis di Indonesia merugikan kaum transgender, terutama melalui teori biopolitik Michel Foucault. Dalam konteks ini, tubuh tidak hanya dilihat sebagai entitas biologis, tetapi juga sebagai ranah sosial dan politik, di mana negara dan lembaga medis memiliki peran penting dalam menentukan identitas gender seseorang. Menurut penulis, stigma, diskriminasi, dan hambatan struktural dalam mengakses layanan kesehatan menunjukkan bahwa kaum transgender di Indonesia dirugikan dalam realisme biopolitik. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyajikan analisis terhadap tiga aspek: 1) Stigma medis dan sosial, 2) kebijakan dokumen identitas, dan 3) kurangnya layanan perawatan yang mendukung gender.
ADVERTISEMENT
Stigma Medis dan Sosial 
Kaum transgender sering kali dipandang sebagai "koreksi" yang secara patologis kurang. Misalnya, terapi konversi sering dilakukan dengan tujuan untuk mendefinisikan ulang identitas gender seseorang sesuai dengan usianya, meskipun hal ini membahayakan kesehatan manusia dan standar medis internasional. Stigma ini bermula dari kepercayaan bahwa identitas gender merupakan penyakit mental yang menghalangi kemampuan kaum transgender untuk menerima terapi hormon atau perawatan medis lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 
Menurut teori biopolitik Foucault, seseorang merupakan objek yang dibentuk oleh norma-norma sosial, politik, dan medis. Hal ini terbukti di Indonesia, di mana lembaga kesehatan sering kali mengutamakan pandangan heteronormatif, sehingga mengecualikan kaum transgender dari sistem perawatan kesehatan. Seringkali, keputusan medis tidak didasarkan pada kebutuhan pasien melainkan pada prinsip-prinsip sosial dan moral.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Dokumen Identitas 
Dokumen identitas yang kaku juga menjadi kendala yang signifikan bagi komunitas transgender di Indonesia. Kaum transgender sering kali menghadapi diskriminasi ketika menggunakan layanan kesehatan karena identitas gender mereka tidak sesuai dengan informasi di KTP atau dokumen lainnya. Situasi ini menggambarkan bagaimana negara mengatur kaum transgender dengan membatasi akses mereka terhadap representasi hukum atas identitas mereka. 
Ketidakmampuan menyediakan dokumen identitas yang menunjukkan gender mereka dan memiliki implikasi serius bagi kesehatan mental dan fisik. Sebagai ilustrasi, seorang transgender dengan maskulin penampilan mungkin dikecualikan dari layanan medis karena ketidaksesuaian data dan penampilan di KTP. Akibatnya, kaum transgender perlu lebih berhati-hati untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar, seperti rutin dan terapi hormon, yang penting bagi kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Minimnya Perawatan Penegasan Gender
Di banyak negara, layanan perawatan penegasan gender termasuk terapi hormon dan operasi ganti kelamin dianggap penting. Namun, di Indonesia, layanan ini masih cukup buruk. Bahkan, sejumlah besar kaum transgender menantang komunitas mereka untuk mendapatkan akses ke perawatan kesehatan dan informasi. Misalnya, Yayasan Kebaya di Yogyakarta adalah salah satu tempat yang membantu kaum transgender mengakses layanan kesehatan, meskipun terbatas.
Minimnya akses ke layanan ini menunjukkan bahwa kaum transgender di Indonesia sebagian besar masih berada di bawah kendali sistem kesehatan. Menurut perspektif Foucault tentang biopolitik, ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, sebagaimana dibuktikan oleh hasil mekanisme kekuasaan yang sistematis. Karena orang transgender dianggap "tidak normal", sulit untuk mendapatkan perawatan medis yang setara dengan masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Jadi, Tiga argumen yang menentang stigma medis dan sosial, kurangnya dokumen identitas, dan kurangnya perawatan yang mendukung gender menunjukkan bahwa orang transgender di Indonesia merupakan ancaman terhadap kontrol biopolitik. Mereka tidak hanya dibentuk oleh sistem heteronormatif, tetapi juga oleh hukum yang melindungi kesehatan, kesejahteraan, dan otonomi tubuh mereka.Dengan mengadopsi pola pikir yang lebih inklusif dan netral gender, Indonesia dapat mengurangi diskriminasi terhadap orang transgender. Yang pertama adalah meyakini bahwa orang transgender adalah orang yang mandiri yang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan identitas dan kebutuhan mereka.
Referensi: 
Australian Human Rights Institute. (2023). Transgender Rights and Health in Indonesia.https://www.humanrights.unsw.edu.au/research/current-research/transgender-rights-health-indonesia
DW Indonesia. (2022). Gender Minoritas dan Diskriminasi Akses Layanan Kesehatan. https://www.humanrights.unsw.edu.au/news/epidemic-violence-against-transgender-women-indonesia-when-government-fails-protect-its-vulnerable-citizens
Human Rights Watch. (2018). Indonesia: Penumpasan LGBT Memperparah Krisis Kesehatan.  https://www.humanrights.unsw.edu.au/research/seed-funding-grant-projects
ADVERTISEMENT