Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Accepting Highly Sensitive Person (HSP) in Daily Life
25 Desember 2020 11:33 WIB
Tulisan dari Septina Dian Savitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Apa yang anda pikirkan ketika pertama kali mendengar tentang HSP?
ADVERTISEMENT
Orang yang sangat emosional? Orang yang sangat introvert dan terlalu sensitif atau bahkan kalian merasa harus sangat berhati-hati saat bersama dengan seorang HSP?
Sifat turunan HSP dapat dilihat sejak masih bayi ketika mereka mudah bereaksi terhadap sesuatu sehingga mudah menangis dan sifatnya akan terbentuk saat mereka remaja (dikutip dari Greven et al., 2018). Interaksi-interaksi tidak menyenangkan yang didapatkan dari lingkungan sekitar juga berkaitan dengan HSP.
ADVERTISEMENT
HSP dapat terjadi karena adanya perbedaan sistem saraf yang disebabkan oleh konsentrasi neurotransmitter di otak (O’Rourke & Walsh, 2012; Rizzo-sierra et al., 2012).
Dalam ulasan Chen dan kawan-kawannya terhadap suatu penelitian, peneliti mendapatkan bahwa tingkat sensitivitas HSP dapat bertambah karena lingkungan dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Dalam hasil penilitian itu, reaksi dopamin pada sistem saraf berkaitan dengan kepribadian seseorang dan dapat disimpulkan bahwa gen dopaminlah yang berkontribusi terhadap tidak dapat diprediksinnya kepribadian pada HSP.
Mungkin beberapa diantara kalian berpikir bagaimana hidup menjadi HSP?
Bayangkan saja kalian hidup dengan semua indra yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi sehingga segala emosi yang dirasakan menjadi luar biasa. Di mana ketika kalian merasa sedih akan merasakan sedih yang sangat mendalam begitu juga ketika senang dan akan sangat peduli serta berempati terhadap sesuatu sampai melampui akal sehat.
ADVERTISEMENT
HSP biasanya sering mendapatkan perkataan dari orang-orang, seperti “Kamu terlalu sensitif”, “ Jangan terlalu diambil hati”, “Kamu harus kuat”, dsb.
HSP selalu berpikir secara berlebihan atau yang kita sering sebut dengan sebutan overthinking sehingga biasanya insomnia menjadi teman terbaiknya. Mereka juga memiliki intuisi yang kuat untuk mengarahkannya terhadap sesuatu. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan untuk menganalisis sesuatu secara mendalam.
HSP akan merasa lebih mudah kelelahan karena mereka itu seperti sensor yang dapat menangkap hal-hal kecil secara detail. Mereka biasanya bisa menangkap sinyal-sinyal atau merasakan apa yang orang rasakan sehingga mereka akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri dan istirahat daripada orang lain pada umumnya. Mereka biasanya tidak bisa berada dalam lingkungan yang ramai dalam jangka waktu panjang.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa asumsi yang biasanya beredar pada masyarakat, yaitu HSP adalah orang-orang introvert yang menyamar karena ingin mendapati julukan yang lebih istimewa dari orang-orang. Banyak orang juga mengasumsikan, bahwa HSP kebanyakan adalah perempuan. Padahal, sebagian besar dari mereka juga adalah laki-laki. Hal ini terjadi karena di dalam masyarakat kita, anggapan bahwa laki-laki tidak seharusnya sensitif sudah melekat. Masyarakat beranggapan laki-laki itu seharusnya agresif dan kompetitif. Padahal selain kuat, laki-laki juga bisa menjadi sensitif karena pada dasarnya manusia memiliki emosi dalam dirinya.
Dari asumsi yang ada, bukan berarti HSP adalah orang yang lebih baik ataupun lebih buruk daripada non-HSP. Mereka hanya sedikit lebih berbeda. HSP sama seperti orang pada umumnya, kecuali pengalaman dalam cara hidupnya. Setiap HSP memiliki sensitivitasnya masing-masing yang unik disamping identitas lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat, kita sering berpikir bahwa sensitivitas seseorang adalah kecacatan emosional dan dianggap menyedihkan karena terkadang menyebabkan munculnya rasa amarah yang tidak dapat terkontrol. Kebanyakan dari masyarakat kita menganggap remeh seseorang yang memiliki sensitivitas yang tinggi. Padahal banyak sekali seniman-seniman atau public figure lainnya menggunakan sensitivitasnya dalam menciptakan karya agar emosi dan pesannya dapat tersampaikan dengan baik kepada para penikmat karyanya. Dari sensitivitasnya, HSP bisa lebih teliti dalam menghindari kesalahan-kesalahan yang ada.
Akan tetapi, dari adanya hal ini, bukan berarti kita bisa menyamaratakan bahwa semua HSP selalu membuat sesuatu lebih berarti. Hanya saja, HSP memiliki ketulusan dalam memaknai sesuatu dan berhubungan dengan seseorang karena mereka bisa merasakannya melalui sensitivitas yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, kita harus memahami lebih dalam mengenai sensitivitas dan anggapan-anggapan negatif tentang hal ini yang beredar di masyarakat agar dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih positif. Kita harus mulai menghapus anggapan bahwa sensitivitas adalah kelemahan agar kita bisa mendapatkan manfaat dari sensitivitas setiap orang, seperti dalam menciptakan karya karena semua orang itu sebenernya sensitif, tetapi mereka memiliki kadar dan tingkatannya masing-masing.
Oleh karena itu, kita perlu menciptakan lingkungan yang dapat menerima semua tipe manusia, termasuk HSP di dalamnya, karena manusia akan saling memahami, membantu dan melengkapi satu sama lain.
Bagaimana kita bisa menciptakan kesadaran yang lebih positif dan menerima sensitivitas?
Salah satu caranya adalah kita harus mengakui dan memahami orang-orang yang sensitif dan berhenti memberikan perkataan yang sekiranya menyinggung mereka atau kita bisa menggantinya dengan kata-kata yang bisa menguatkan dan membuat perasaan mereka lebih baik tanpa toxic positivity karena dengan toxic positivity, kita terus mendorong seseorang berpikir positif tanpa melihat dan merasakan terlebih dahulu apa yang mereka rasakan sehingga terkadang mereka akhirnya cenderung menyalahkan diri mereka sendiri. Padahal, emosi negatif yang ada di dalam diri kita adalah hal yang wajar. Emosi negatif yang ada dalam diri kita, jika terus disangkal akhirnya akan menumpuk dan menyebabkan gangguan psikis.
ADVERTISEMENT
Referensi
Acevedo BP, Aron EN, Aron A, Sangster MD, Collins N, Brown LL. The highly sensitive brain: an fMRI study of sensory processing sensitivity and response to others' emotions. Brain Behav. 2014 Jul;4(4):580-94. https://doi.org/10.1002/brb3.242
Benham, G. (2006). Highly Sensitive Person: Stress and Physical Symptom Reports. Personality and Individual Differences, v. 40(7), 1433-1440. https://doi.org/10.1016/j.paid.2005.11.021
Chen, C., Chen, C., Moyzis, R., Stern, H., He, Q., et al. (2011) Contributions of Dopamine-Related Genes and Environmental Factors to Highly Sensitive Personality: A Multi-Step Neuronal System-Level Approach. PLoS ONE 6(7): e21636. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0021636
Grimen, H.L., Diseth A. (2016). Sensory Processing Sensitivity: Factors of Highly Sensitive Person Scale and Their Relationships to Personality and Subjective Health Complaints. Comprehensive Psychology: SAGE Journal, v. 5, 1-10. https://doi.org/10.1177%2F2165222816660077
ADVERTISEMENT
Natalia, J.R., Bernathsius, J. (2019). Highly Sensitive Person dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Keperawatan Jiwa, v. 3(7), 317-322. https://doi.org/10.26714/jkj.7.3.2019.317-322
Rizzo-Sierra, C.V., dkk. (2012). Higher sensory processing sensitivity, introversion and ectomorphism: New biomarkers for human creativity in developing rural areas. Journal of Neurosciences in Rural Practice, v. 3(2), 159-162. https://dx.doi.org/10.4103%2F0976-3147.98314