Konten dari Pengguna

Strategi Ketahanan ASEAN Terhadap Laut China Selatan

Septio Eka Pradana
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya
13 November 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septio Eka Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Forum Regional ASEAN terhadap Laut China Selatan Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Forum Regional ASEAN terhadap Laut China Selatan Sumber Foto : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan seakan menjadi pusat perhatian di kawasan Asia Tenggara. Laut China Selatan sendiri merupakan kawasan wilayah strategis yang menjadi pusat jalur perdagangan global. Kawasan ini juga memiliki sumber daya alam yang melimpah, tak heran wilayah Laut China Selatan masih menjadi sengketa di kawasan Asia Tenggara serta sumber konflik yang melibatkan negara-negara kawasan Asia Tenggara maupun Tiongkok. Banyak kepentingan ekonomi maupun geopolitik global di kawasan ini. ASEAN sebagai organisasi regional terus berupaya untuk mengatasi konflik maupun ketegangan yang terjadi. Pada kepentingan ASEAN dalam Laut China Selatan bukan hanya sebatas pada aspek ekonomi serta kedaulatan, tetapi juga kebijakan ini juga berkaitan dengan keamanan maritim, stabilitas wilayah, dan kepatuhan terhadap hukum internasional khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. Dalam rangka menghadapi tantangan ini, ASEAN berupaya untuk membangun strategi ketahanan bersama yang melibatkan diplomasi multilateral, peningkatan kapasitas maritim, serta penguatan hubungan dengan mitra-mitra strategis seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan ini, penulis menyoroti terhadap upaya-upaya yang dilakukan ASEAN dalam menangani sengketa maupun konflik Laut China Selatan. Seperti kebijakan maupun strategi yang dilakukan ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara. Penulis berpendapat ASEAN sangatlah berusaha dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara. Penulis juga menyoroti, meskipun upaya-upaya yang dilakukan ASEAN terhadap Laut China Selatan, terdapat hambatan yang dihadapi ASEAN seperti munculnya berbagai isu salah satunya, Laut Cina Selatan yang dilihat sebagai persoalan yang muncul karena pergeseran balance of power. Yaitu ketika posisi Amerika Serikat berusaha melakukan perservasi momentum unilateralnya setelah Perang Dingin, yang menimbulkan vacum of power di Asia Tenggara atau berkurangnya upaya yang dilakukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan mendorong Tiongkok untuk menunjukkan kekuatannya di kawasan.
ADVERTISEMENT
Dalam menangani konflik ketegangan Laut China Selatan, ASEAN memiliki cara untuk tidak memberikan intervensi kepada suatu negara kawasan. ASEAN didirikan dengan menggunakan prinsip-prinsip seperti non-intervensi, diplomasi dan negosiasi yang kondusif, tidak menggunakan kekuatan atau kekerasan dan pengambilan keputusan melalui konsensus forum dengan kata lain, ASEAN Way (Hazmi 2009). Pada dasarnya prinsip-prinsip inilah yang memungkinkan asosiasi forum yang disatukan melalui proposal regional, memiliki kerangka kerja yang cukup longgar untuk mengakomodasi negara-negara dengan persaingan lama sehingga tidak mengancam kedaulatan mereka yang berkelanjutan (Haacke 2002). Pendekatan ASEAN yang berfokus terhadap dialog dan diplomasi dengan tujuan untuk membuat suatu keseimbangan kekuatan yang kondusif di Laut China Selatan, serta mencegah maupun menghindari terjadinya eskalasi konflik, dan memastikan bahwa sengketa dapat diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip-prinsip internasional.
ADVERTISEMENT
Pada konflik Laut China Selatan ini melibatkan negara-negara anggota kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang dikenal sebagai claimant states. Konflik ini timbul akibat perebutan klaim wilayah kepulauan dan perairan di Laut China Selatan, khususnya Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, dengan memiliki tujuan serta pada kepentingan masing-masing negara terhadap potensi sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut. Isu keamanan juga ikut menjadi perhatian karena sengketa ini akan mengakibatkan konflik yang besar jika tidak ditangani dengan baik. Berbagai pertimbangan serta penelitian khusus untuk memahami kepentingan negara-negara kawasan Asia Tenggara terhadap sengketa Laut China Selatan. Sengketa dan perebutan wilayah Laut China Selatan ini membuat ASEAN turut berupaya dengan memunculkan suatu kebijakan yang bersifat non intervensi serta berbagai cara yang dilakukan untuk mencari jalan keluar atau solusi terhadap konflik ini.
ADVERTISEMENT
Implementasi kebijakan yang dilakukan ASEAN untuk mengatasi eskalasi konflik yang terjadi yaitu dengan hadirnya Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Treaty of Amity and Cooperation (TAC) merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976, yang bertujuan untuk mempromosikan suatu perdamaian, stabilitas, dan kerjasama di kawasan Asia Tenggara. TAC berfungsi sebagai pedoman bagi negara-negara anggota dalam mengatur hubungan antarnegara dan menyelesaikan sengketa secara damai. TAC mengandung suatu prinsip yaitu setiap negara diharuskan untuk menghormati kedaulatan dan integritas teritorial wilayah negara lain, proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara damai, negara negara kawasan Asia Tenggara harus menyelesaikan suatu permasalahan yang ada tanpa adanya kekerasan, dan suatu negara tidak berhak untuk turut mencampuri urusan negara lainnya. Dalam sengketa Laut China Selatan, TAC berfungsi sebagai kerangka kerja bagi negara-negara anggota ASEAN untuk berkomunikasi dan bernegosiasi mengenai klaim teritorial yang tumpang tindih. Meskipun TAC tidak secara langsung menyelesaikan sengketa, ia memberikan pedoman bagi negara-negara untuk berupaya mencapai kesepakatan damai.
ADVERTISEMENT
Selain kebijakan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), ASEAN juga menganut kebijakan UNCLOS dari hasil Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). UNCLOS sendiri di tetapkan pada tahun 1982, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut menghasilkan perjanjian mengenai hak dan tanggung jawab negara-negara atas perairan global. Banyak berbagai kepentingan maupun klaim yang saling bersaing di wilayah Laut China Selatan (LCS). Hingga munculnya kepentingan tersebut] pasca Perang Dunia II dan semakin menguat dengan disahkannya UNCLOS. Peraturan dan undang-undang yang terkait dalam UNCLOS yaitu mengatur definisi laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen, memungkinkan negara-negara memperluas wilayah pantai mereka serta membuka kesempatan baru untuk eksplorasi sumber daya alam dan patroli maritim (Beckman 2014).
Dalam UNCLOS sendiri juga mengatur tentang eksplorasi sumber daya, kebebasan navigasi, hak teritorial, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Pada perjanjian UNCLOS tersebut mencakup hak kedaulatan negara-negara pesisir atas wilayah laut dan ruang udara, serta menyediakan cara penyelesaian jika terjadi klaim yang saling tumpeng tindih. Perjanjian UNCLOS tersebut mulai berjalan pada tahun 1994, dengan Filipina (1984) dan Vietnam (1994) sebagai negara yang lebih dulu meratifikasi. Malaysia dan Brunei kemudian ikut meratifikasi pada 1996. Negara-negara ASEAN lain juga telah meratifikasi perjanjian ini, seperti Indonesia (1986), Singapura (1994), Myanmar (1996), Laos (1998), dan Thailand (2011). Sementara itu, Kamboja menandatangani perjanjian ini pada 1983, namun belum meratifikasinya. Tiongkok, meskipun bukan anggota ASEAN tetapi memiliki hubungan erat dan sengketa di LCS, meratifikasi perjanjian ini pada tahun 1996.
ADVERTISEMENT
Selain itu, salah satu langkah penting yang dilakukan oleh ASEAN yaitu penyusunan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan. Code of Conduct (CoC) merupakan sebuah perjanjian negosisasi yang dilakukan negara-negara ASEAN maupun Tiongkok terhadap Laut China Selatan. Perjanjian tersebut juga mencakup kepentingan mendasar antar ASEAN dan Tiongkok. Seperti halnya ASEAN menginginkan CoC sebagai bentuk perjanjian yang mengikat dan ditegakkan berdasarkan pada hukum internasional. Namun, disisi lain, Tiongkok bersikeras agar CoC menjadi dokumen yang tidak mengikat dan tidak tunduk pada pengadilan proses pengadilan internasional. CoC diharapkan dapat menjadi pedoman bagi negara-negara dalam berinteraksi dan menyelesaikan sengketa secara damai, serta mencegah eskalasi konflik yang lebih berimplikasi besar.
ASEAN juga berperan dalam menjaga stabilitas regional dengan mencegah konflik yang dapat mengganggu perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Melalui diplomasi dan kerjasama yang erat antara negara-negara anggota, ASEAN berusaha untuk menciptakan suasana yang aman dan stabil. Dalam konflik Laut China Selatan ini, bukan hanya negara-negara di kawasan Asia Tenggara saja, tetapi terdapat peran keterlibatan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang juga menjadi perhatian ASEAN. ASEAN berusaha untuk memastikan bahwa kehadiran negara-negara besar tidak mengintimidasi negara-negara kecil dan tidak menyebabkan konflik baru. Ini mencerminkan upaya ASEAN untuk menjadi jembatan antara negara-negara besar dan negara-negara pengklaim di Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
Dari pembahasan tersebut, penulis berpendapat kebijakan ASEAN terhadap Laut China Selatan yaitu sebagai bentuk upaya untuk mengurangi ketegangan terhadap negara kawasan Asia Tenggara, maupun negara di luar kawasan ASEAN seperti Tiongkok. Konflik Laut China Selatan menjadi salah satu tantangan yang serius dan mempunyai fokus tersendiri bagi ASEAN sekaligus menjadi pembuktian diri apakah organisasi regional masih relevan dan mampu menjadi jembatan untuk menjaga perdamaian dan keamanan kawasan. Upaya yang dilakukan tersebut juga sebagai strategi ketahanan maupun keamanan ASEAN dalam menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara. Meski ASEAN sebagai organisasi regional, respon serta kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan kesepakatan serta aturan yang ada.
Referensi :
Nabil Ihsan. (2024, July 19). ASEAN kejar penyelesaian CoC Laut China Selatan tepat waktu pada 2026. Antara News; ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/4205862/asean-kejar-penyelesaian-coc-laut-china-selatan-tepat-waktu-pada-2026
ADVERTISEMENT
Pratama Indra Kusumah, R. W., Supriatna, N., & Kusmarni, Y. (2018). JALAN DAMAI MENUJU KEAMANAN REGIONAL: PENDEKATAN ASEAN DALAM UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CHINA SELATAN. FACTUM: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 7(2). https://doi.org/10.17509/factum.v7i2.15321
‌Simões, L. (2022, June 23). The Role of ASEAN in the South China Sea Disputes. E-International Relations. https://www.e-ir.info/2022/06/23/the-role-of-asean-in-the-south-china-sea-disputes/#google_vignette
Haslam, M. G. (2022). Peran Asean Dalam Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan. Peran Asean Dalam Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan. https://www.researchgate.net/publication/357517756_Peran_Asean_Dalam_Menyelesaikan_Konflik_Laut_China_Selatan
‌XMLThemes. (2018). UNCLOS: Kode Etik Code of Conduct di Laut China Selatan Disetujui. EMaritim.CoM. https://www.emaritim.com/2023/09/unclos-kode-etik-code-of-conduct-di.html
‌MAHENDRA, L. (2014). Strategi Negara Anggota ASEAN dalam Menghadapi Cina di Laut Cina Selatan. Ugm.ac.id. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/69824
‌
‌
‌