Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Gedung Candra Naya, Cagar Budaya Peninggalan Tionghoa di Jakarta
17 Januari 2024 18:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Seputar Jakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gedung Candra Naya adalah salah satu bangunan unik yang ada di Jakarta. Cagar budaya peninggalan orang Tionghoa ini masih berdiri di antara gedung bertingkat di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Gedung ini merupakan rumah terakhir Mayor China di Batavia. Oleh karenanya, bangunan ini memiliki sejarahnya sendiri bagi masyarakat Jakarta.
Berdasarkan website resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kemdikbud.go.id, bangunan ini masih berdiri kokoh di Jalan Jl. Gajah Mada No.188, Glodok. Gedung ini diapit gedung-gedung lain yang merupakan bagian dari hunian superblok PT. Modernland Realty Tbk.
Sejarah Gedung Candra Naya
Tidak ada catatan pasti seputar sejarah Gedung Candra Naya pada awal pendiriannya. Diperkirakan bangunan ini dibangun sekitar 1807-1808 oleh orang Tiongkok , Khouw Tian Sek untuk menyambut kelahiran anaknya, Khouw Tjeng Tjoan.
Berdasarkan website resmi Universitas STEKOM, dalam stekom.ac.id, Khouw Tian Sek merupakan tuan tanah yang memiliki 3 putra dan masing-masing diberinya sebuah gedung. Salah satu putranya adalah Khouw Tjeng Tjoan yang mendapatkan bangunan ini.
ADVERTISEMENT
Khouw Tjeng Tjoan, memiliki 14 istri dan 24 anak, memakai bangunan utama kediaman ini sebagai kantor, serta bangunan belakang sebagai tempat tinggal. Singkat cerita, bangunan ini kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Khouw Kim An.
1. Kediaman Mayor Khouw Kim An atau Candra Naya
Khouw Kim An lahir di Batavia pada 5 Juni 1876. Khouw Kim An pada 1934 mulai menempati kediaman yang sekarang adalah Candra Naya, setelah sebelumnya tinggal di Bogor.
Pria keturunan Tiongkok itu diangkat sebagai mayor Tionghoa (majoor der Chineezen) pada 1910, oleh pemerintah Hindia Belanda. Tugas mayor Tionghoa adalah mengurusi kepentingan masyarakat Tionghoa pada zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Sebelumnya tahun 1905 menjabat sebagai letnan Tionghoa (luitenant der Chineezen) dan 1908 sebagai kapitan Tionghoa (kapitein der Chineezen).
ADVERTISEMENT
Oleh karena pengangkatannya tersebut, rumah beliau kemudian sering disebut sebagai "Rumah Mayor". Selain sebagai mayor Tionghoa, Khouw Kim An juga seorang pengusaha dan pemegang saham di Bataviaasche Bank.
Nasib Khouw Kim An tidak begitu baik hingga di ujung usianya. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, mayor Tiongkok ini ditahan di kamp konsentrasi hingga akhir hayatnya. Mayor Tiongkok Khouw Kim An meninggal di kamp tersebut pada 13 Februari 1945.
Makam Khouw Kim An dapat ditemui di komplek makam Petamburan. Di tempat yang sama pula dikuburkan keluarga Khouw, termasuk O.G. Khouw, sepupu Khouw Kim An yang terkenal sebagai pengusaha dan filantropis ternama.
2. Rumah Mayor Menjadi Gedung Candra Naya, Jejak Sejarah Tionghoa di Indonesia
Kediaman ini bukan hanya sekedar kediaman keluarga Khouw. Rumah ini bahkan merekam jejak sejarah Tionghoa di tanah air.
ADVERTISEMENT
Khouw Kim An merupakan menantu Poa Keng Hek, pendiri organisasi Tionghoa modern pertama di Hindia Belanda, Tiong Hwa Hwe Kwan. Sewaktu Indonesia dijajah oleh Jepang, kediaman ini sempat menjadi kantor Sing Ming Hui atau perkumpulan orang Tionghoa dengan tujuan sosial.
Perkumpulan inilah yang akhirnya mencetuskan berdirinya Universitas Tarumanagara. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, ada peraturan nasionalisasi nama. Hal ini membuat Sing Ming Hui mengubah namanya menjadi Candra Naya.
Dari situlah kemudian kediaman Khouw Kim An atau Rumah Mayor kemudian berganti julukan dan nama menjadi Gedung Candra Naya.
Penggunaan Gedung Candra Naya di Era Modern
Di era modern, penggunaan Gedung Candra Naya pun sempat berubah-ubah. Beberapa penggunaan yang tercatat dalam sejarah di antaranya:
ADVERTISEMENT
1. Gedung Kuliah Universitas Tarumanagara
Candra Naya juga pernah menjadi lokasi kuliah mahasiswa Universitas Tarumanagara. Hal itu tertulis dalam sejarah Universitas Tarumanagara, dalam website resminya, untar.ac.id.
Saat itu, Perguruan Tinggi Ekonomi Tarumanagara, Jurusan Ekonomi Perusahaan pada tanggal 15 Oktober 1959 yang baru saja didirikan, sempat menggunakan Gedung Candra Naya sebagai lokasi perkuliahan.
2. Penyelenggaraan Indonesia Open Pertama
Gedung ini juga menjadi tempat kompetisi pertama yang diadakan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia maupun kompetisi biliar dan angkat berat pertama di Jakarta.
Kegiatan seperti olahraga bridge, binaraga, angkat besi, bulu tangkis, biliar, dan fotografi juga berlangsung.
Pebulu tangkis terkenal masa itu, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Tan King Gwan, dan Tan Joe Hok pernah tampil di sini.
3. Cagar Alam Provinsi DKI Jakarta
Pada 1992, Candra Naya dijual kepada Modern Group yang dimiliki oleh Samadikun Hartono.
ADVERTISEMENT
Awalnya, oleh pemiliknya, Candra Naya direncanakan untuk direlokasi ke Taman Mini Indonesia Indah. Namun Gubernur Jakarta pada 2003, Sutiyoso, tidak menyetujui usulan tersebut.
Usulan ini juga mendapat ditentang keras oleh pencinta bangunan tua, yang tidak setuju sebuah bangunan pusaka dipindahkan dari habitat aslinya, demi kepentingan bisnis semata.
Saat ini Candra Naya termasuk dalam komplek hunian superblok PT. Modernland Realty Tbk. Namun, bangunan Candra Naya berada di bawah supervisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, Candra Naya telah dijadikan sebagai salah satu cagar budaya milik Provinsi DKI Jakarta.
Itulah informasi seputar Gedung Candra Naya yang merupakan cagar budaya peninggalan Tionghoa di Jakarta, yang penuh akan sejarah mendalam bagi masyarakat Jakarta, khususnya etnis Tionghoa. (Fitri A)
ADVERTISEMENT