Konten dari Pengguna

4 Budaya Jogja yang Jarang Diketahui Masyarakat tetapi Masih Lestari

Seputar Yogyakarta
Mengulas serba serbi kota Yogyakarta.
19 Oktober 2023 14:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Seputar Yogyakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Budaya Jogja yang Jarang Diketahui Masyarakat. Unsplash/Farano Gunawan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Budaya Jogja yang Jarang Diketahui Masyarakat. Unsplash/Farano Gunawan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Yogyakarta atau Jogja masih terus melestarikan budaya leluhur. Bahkan ada beberapa budaya Jogja yang jarang diketahui masyarakat, yang kini masih dilakukan dan diturunkan kepada generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari buku, Seri Negara ASEAN: Indonesia, Marfauzi (2023), Daerah Istimewa Yogyakarta menyuguhkan wisata budaya yang kental. Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, membuat nuansa kebudayaan semakin terlihat dan masih terus dilestarikan.

Budaya Jogja yang Jarang Diketahui Masyarakat tetapi Masih Lestari

Ilustrasi Budaya Jogja yang Jarang Diketahui Masyarakat. Unsplash/Fuad Najib.
Beberapa waktu-waktu tertentu, yang menjadi penyelenggaraannya upacara budaya jogja yang jarang diketahui di antaranya, seperti saat Maulid Nabi Muhammad hingga tibanya bulan Suro penanggalan Jawa.
Berikut adalah beberapa budaya jogja yang jarang diketahui masyarakat, yang masih terus dilaksanakan dan dilestarikan.

1. Tumplak Wajik

Pertama, ada budaya Jogja yang disebut Tumplak Wajik. Tumplak Wajik adalah upacara adat masyarakat Jawa yang diselenggarakan untuk menandai dimulainya proses merangkai gunungan atau simbol sedekah raja (Sri Sultan Hamengkubuwono) kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
Gunungan atau sedekah tersebut kemudian dibagikan kepada warga di sekitar Jogja pada upacara Garebeg.
Pergelaran budaya Tumplak Wajik umumnya diselenggarakan sebanyak tiga kali dalam setahun dan dipimpin oleh Keraton Jogja. Ketiga upacara Garebeg itu, yakni

2. Saparan

Selanjutnya, ada juga budaya yang dinamakan Saparan, atau biasa disebut dengan istilah bekakak. Tradisi Jawa ini dilaksanakan untuk mengenang jasa seorang abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengkubuwono I, yaitu Ki Wirosuto.
Sosok istimewa tersebut disebutkan hilang secara misterius saat mencari batu gamping di Gunung Gamping bersama istrinya.
Upacara Saparan dilaksanakan setiap bulan Safar dalam kalender Jawa. Dalam pelaksanaannya, upacara ini menggunakan sesuatu yang akan digunakan sebagai persembahan.
ADVERTISEMENT

3. Sekaten

Kemudian ada budaya Jogja yang juga merupakan salah satu upacara budaya kebanggaan masyarakat Jogja, bernama Sekaten.
Upacara Sekaten adalah salah satu rangkaian kegiatan tahunan yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad.
Diketahui bahwa budaya khas Jogja ini sudah merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pelaksanaan upacara Sekaten ditandai dengan adanya ritual yang dikenal dengan istilah miyos gangsa. “Miyos” memiliki arti ‘keluar’ dan “gangsa” memiliki arti ‘perunggu’.
Miyos gangsa berarti prosesi keluarnya gamelan, berupa dua perangkat gamelan dari dalam keraton. Kedua gamelan tersebut kemudian dibunyikan secara terus menerus dalam beberapa hari hingga acara Sekaten.
ADVERTISEMENT
Sekaten diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal atau bulan Maulud pada saat kelahiran Nabi Muhammad.

4. Siraman Pusaka

Terakhir, ada juga upacara Siraman Pusaka yang dilakukan dengan cara memandikan pusaka milik Ngarsa Dalem atau milik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upacara Siraman Pusaka ini dilakukan untuk menghormati dan merawat pusaka-pusaka yang ada.
Semua benda pusaka kemudian dibersihkan secara teratur setiap tahun dan setiap tanda kerusakan dapat ditangani segera. Siraman Pusaka diselenggarakan setiap bulan Suro dan diselenggarakan secara tertutup.
Itulah beberapa budaya Jogja yang jarang diketahui masyarakat, yang beberapanya berkaitan dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Budaya ini pun masih terus dilakukan dan dilestarikan pada generasi selanjutnya. (Fitri A)