Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
AI dalam Pendidikan: Alat Bantu atau Ancaman bagi Kualitas Sumber Daya Manusia?
15 April 2025 10:31 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Serlin Feronika Gulo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teknologi kecerdasan buatan AI semakin merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Inovasi seperti ChatGPT, DeepSeek, Khanmigo, hingga berbagai tutor AI yang berkembang di negara-negara maju telah menjadi bagian dari ekosistem belajar di abad ke-21. Kecanggihan teknologi ini menjanjikan kemudahan akses, efisiensi, dan personalisasi dalam proses pembelajaran. Namun, di balik kemegahan manfaat yang ditawarkan, muncul pertanyaan besar yang layak untuk direnungkan secara kritis: apakah kehadiran AI benar-benar memperkuat proses pendidikan, atau justru melemahkan kualitas sumber daya manusia di era global?
ADVERTISEMENT
AI telah membawa perubahan mendasar dalam cara belajar dan mengakses informasi. Di satu sisi, teknologi ini memperluas akses terhadap pengetahuan. Mahasiswa dari negara berkembang kini bisa mendapatkan penjelasan berkualitas tinggi yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh mahasiswa dari negara maju. Ini menjadi peluang besar dalam konteks kerja sama internasional, khususnya untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 4: pendidikan berkualitas untuk semua. Namun di sisi lain, ketergantungan terhadap AI berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara teknis tetapi miskin refleksi dan pemahaman mendalam. Dalam kacamata hubungan internasional, hal ini sangat krusial. Negara yang gagal menghasilkan lulusan kritis dan kreatif akan tertinggal dalam diplomasi global, negosiasi perdagangan, bahkan pengaruh kebijakan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Persaingan antarnegara kini tak hanya dalam kekuatan militer atau ekonomi, melainkan juga dalam penguasaan teknologi pendidikan. China, misalnya, sudah menerapkan AI secara masif dalam sistem pembelajaran untuk mempercepat riset dan efisiensi akademik. Di sisi lain, Uni Eropa menekankan aspek regulasi dan etika dalam pemanfaatan AI publik. Persaingan ini menjadi bagian dari diplomasi pengetahuan (knowledge diplomacy), di mana negara berlomba-lomba menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya unggul secara teknologi, tetapi juga etis dan berdaya saing.
ketimpangan antara Global North dan Global South adalah isu klasik yang kini menemukan bentuk barunya melalui teknologi. Negara-negara di Global North umumnya memiliki infrastruktur digital yang matang, memungkinkan mereka untuk memanfaatkan AI secara maksimal dalam dunia pendidikan. Sebaliknya, negara-negara Global South masih menghadapi keterbatasan akses internet, minimnya perangkat pendukung, dan kurangnya pelatihan sumber daya manusia.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menciptakan risiko “kolonialisme digital” baru, di mana narasi, teknologi, bahkan konten pendidikan dikuasai oleh negara-negara tertentu. Ketimpangan ini tidak hanya memperbesar jarak antarnegara, tetapi juga menghambat pemerataan kualitas pendidikan global. Berbagai negara telah menjadi contoh menarik dalam penggunaan AI di dunia pendidikan. Korea Selatan misalnya, menggunakan AI untuk personalisasi pembelajaran dan meningkatkan efisiensi sistem. Di sisi lain, Tiongkok bahkan telah mengembangkan AI untuk menganalisis ekspresi wajah siswa dalam menilai tingkat konsentrasi mereka. Meski canggih, pendekatan ini menuai kritik keras karena dianggap mengancam hak privasi siswa dan membuka ruang bagi praktik otoritarianisme digital. Kisah ini mencerminkan dilema etika global. Pendidikan seharusnya membentuk manusia yang merdeka dan reflektif, bukan sekadar efisien secara teknis. Maka, tata kelola global terhadap pemanfaatan AI di pendidikan harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, etika, dan hak asasi manusia yang menjadi inti dari banyak diskursus hubungan internasional modern.
ADVERTISEMENT
Namun, penggunaan AI secara masif dalam pendidikan juga membawa sejumlah risiko serius. Salah satu ancaman nyata adalah munculnya budaya belajar instan siswa cenderung mengandalkan AI untuk menjawab soal tanpa benar-benar memahami konsepnya. Fenomena ini dapat mendorong mentalitas “copy-paste”, yang pada akhirnya mengikis kemampuan berpikir kritis dan analitis.
Lebih jauh, ada risiko bahwa keterampilan penting seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan kreativitas akan tergantikan oleh jawaban instan dari mesin. Jika dibiarkan tanpa kontrol, ketergantungan pada AI justru dapat menghasilkan generasi yang pasif dan kurang inovatif.
Tak kalah penting, perkembangan AI yang tidak merata dapat memperparah kesenjangan digital antara negara maju dan berkembang. Akses terhadap AI berkualitas masih terbatas di banyak negara, terutama di kawasan yang infrastrukturnya belum memadai. Jika kesenjangan ini terus melebar, maka alih-alih mendorong pemerataan pendidikan, AI justru bisa menjadi faktor yang memperdalam ketidaksetaraan global dalam kualitas SDM.
ADVERTISEMENT
Isu lain yang tidak kalah penting adalah soal etika dan kekuasaan global atas teknologi pendidikan. Saat ini, sebagian besar sistem AI dikembangkan oleh perusahaan dan institusi di negara-negara maju, yang secara tidak langsung memiliki kekuatan untuk memengaruhi arah dan isi kurikulum global. Hal ini bisa menyebabkan homogenisasi pengetahuan yang mengabaikan konteks lokal, nilai budaya, dan kebutuhan unik dari berbagai bangsa.
Lebih jauh lagi, algoritma AI tidak lepas dari bias baik yang bersifat budaya, gender, maupun geopolitik. Jika tidak diawasi secara ketat, sistem pembelajaran berbasis AI bisa menyampaikan informasi yang tidak netral atau bahkan diskriminatif. Dalam konteks global, hal ini membuka babak baru diplomasi: siapa yang mengatur data pendidikan dunia? Siapa yang bertanggung jawab jika algoritma gagal mendidik secara adil?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan peran aktif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi internasional. Regulasi yang ketat dan transparan sangat penting untuk memastikan bahwa AI digunakan sebagai alat bantu pendidikan, bukan sebagai pengganti total manusia. Pendidikan tetap harus berpusat pada pengembangan karakter, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa diajarkan oleh mesin.
UNESCO, OECD, dan berbagai forum global lainnya memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun standar etika penggunaan AI dalam pendidikan. Kolaborasi lintas negara sangat diperlukan untuk mencegah dominasi satu pihak dalam menentukan masa depan sistem pendidikan dunia. Kebijakan global juga harus menjamin bahwa AI mendukung keberagaman pengetahuan dan tidak menyeragamkan cara berpikir manusia.
AI dalam pendidikan adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kualitas dan akses pendidikan di seluruh dunia. Namun di sisi lain, jika digunakan tanpa pengawasan dan pemahaman
ADVERTISEMENT
yang mendalam, AI juga bisa menjadi ancaman serius bagi kualitas sumber daya manusia global.
Karena itu, penting bagi kita untuk tidak memandang AI sebagai musuh, tetapi juga tidak mengagungkannya sebagai solusi mutlak. Dunia pendidikan harus berjalan beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan kebijakan yang adil. Pada akhirnya, dunia dihadapkan pada pilihan besar: menciptakan manusia yang cerdas karena AI, atau mencetak generasi yang tergantikan oleh AI.