Hidup Berdampingan dengan Gajah

Setiawan Muhdianto
ASN Kementerian Kelautan dan Perikanan Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili tempat kerja
Konten dari Pengguna
17 Februari 2023 7:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Setiawan Muhdianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi 2 ekor gajah di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi 2 ekor gajah di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pagar bambu masih banyak kita jumpai di pedesaan pesisir selatan Jawa Tengah. Pagar ini sebagai pembatas pekarangan warga dengan jalan. Apabila kita amati di beberapa tempat terdapat celah seukuran manusia. Celah tersebut bukan diperuntukkan untuk lewat orang.
ADVERTISEMENT
"Untuk lewat makhluk lain," begitu jawaban para sesepuh saat saya kecil dulu bertanya.
Para sesepuh menjelaskan bahwa penghuni desa tidak hanya manusia, tapi ada juga makhluk-makhluk lain yang tidak kasat mata. Bahkan mereka telah tinggal lebih dulu ribuan tahun. Sebagai sesama makhluk Tuhan kita harus hidup berdampingan, saling menghormati dan tidak saling mengganggu.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap mereka adalah memberi ruang dan tidak menghalangi jalan yang mereka lalui. Selain itu, manusia juga berharap agar mereka tidak tersinggung, marah dan mengamuk.
Terkait dengan konflik jalan atau jalur satwa, beberapa hari yang lalu viral video di lini masa media sosial terkait dengan konflik manusia dengan gajah. Dalam video itu tampak seorang petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Provinsi Riau yang dengan tegas membela gajah di depan warga.
ADVERTISEMENT
Gangguan dari gajah ke permukiman warga bukan kesalahan dari satwa ini. Justru, wargalah yang telah mengambil lingkungan gajah.
Petugas tersebut menjelaskan bahwa gajah hanya akan melewati jalan atau rute sesuai jalurnya. Apabila puluhan tahun kemudian jalur berubah menjadi permukiman dan perkebunan warga, hewan ini tidak akan mengerti dan tetap akan menerobosnya. Tidak mungkin gajah akan melewati secara zig-zag.
Tanggapan positif warganet pun membanjiri video yang viral tersebut. Banyak warganet simpati dan mendukung sikap tegas dari petugas dalam membela satwa yang dilindungi. Hal ini menunjukkan masih adanya kepedulian masyarakat khususnya warganet terhadap kelestarian satwa.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, konflik manusia dan satwa liar dipicu oleh alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, lahan pertanian permukiman, dan pembangunan infrastruktur. Disebutkan juga oleh BRIN dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, konflik antara manusia dan satwa liar terus terjadi dan tidak ada tanda-tanda mereda.
ADVERTISEMENT
Konflik ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera. Di mana gajah dan harimau Sumatera merupakan satwa yang paling sering berkonflik dengan manusia, dan semakin mengkhawatirkan.
Satwa pun bisa marah dan mengamuk. Layaknya manusia pemilik rumah yang marah karena akses untuk keluar masuknya terhalang oleh kendaraan pelanggan kedai bakmi yang parkir di depan rumahnya. Kasus ini pun menjadi viral.
Tidak seperti manusia, satwa hanya bisa mengekspresikan kemarahannya dengan merusak. Mereka tidak bisa menegur, melaporkan ke RT/RW atau Satpol PP apalagi memviralkan di medsos sehingga mendapat simpati.
Manusia pun bisa marah dan membalas dendam atas ulah satwa yang merusak kebun dan rumahnya. Merasa pasti kalah apabila duel fisik. Dengan akal, cara-cara licik pun digunakan. Berbekal senjata, racun ataupun jebakan dengan kejam manusia membunuh mereka.
ADVERTISEMENT
Sebuas atau seliarnya satwa, dia hanya menyerang, memakan atau merusak hanya untuk memenuhi kebutuhan perutnya saat itu. Akan tetapi keserakahan dan kerakusan manusia tiada batasnya. Dengan akal, pengetahuan, teknologi, modal dan kekuasaannya, manusia bisa mengeruk sumber daya sebanyak-banyaknya. Ribuan hektare hutan sebagai rumah satwa bisa dibabat untuk perkebunan maupun pemukiman.
Upaya untuk menangani konflik sosial manusia dengan satwa sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam penanggulangan konflik tersebut telah ada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Akan tetapi konflik terus terjadi dan tidak ada tanda-tanda mereda.
Menurut profesor riset BRIN mengatakan untuk mitigasi konflik antara satwa liar dengan manusia diperlukan upaya komprehensif, holistik dan terencana yang dimulai dari penataan ruang, pemetaan kantong-kantong habitat satwa yang dipertahankan fungsinya sebagai kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa atau Cagar Alam.
ADVERTISEMENT
Selain upaya yang telah dilakukan di atas, yang lebih utama dilakukan adalah menanamkan pemahaman bahwa sebagai sesama makhluk penghuni bumi sudah seharusnya untuk saling menghormati. Kita harus hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk Tuhan lain termasuk satwa. Berilah ruang untuk hidup, buatlah "celah" untuk dilewati satwa tersebut, niscaya mereka akan bersahabat dengan kita.
Apalagi manusia adalah makhluk paling tinggi derajatnya karena diberi akal dan hati. Manusia sebenarnya adalah makhluk bungsu di bumi ini. Sebelum diciptakan manusia Tuhan telah menciptakan makhluk tak bernyawa, batu, tanah, air, gunung, sungai dan sebangsanya. Diciptakan setelahnya adalah tumbuhan disusul dengan hewan. Sudah seharusnya manusia menghormati “kakak-kakak”nya tersebut.
Apabila sudah ada sikap hormat dan rasa saya terhadap sesama makhluk maka keharmonisan akan tercipta. Keseimbangan alam pun terjadi. Tiada lagi pembantaian satwa, eksploitasi hewan, penghancuran hutan, destructive fishing, serta konflik manusia dan satwa.
ADVERTISEMENT