Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ketika Penegak Hukum Menjadi Pelanggar Hukum: Refleksi atas Korupsi di Indonesia
29 Maret 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Setyo Purwoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi telah menjadi perilaku yang terlalu umum di kalangan pejabat di Indonesia, hingga titik di mana tindakan korupsi tidak lagi menimbulkan rasa malu. Korupsi tidak hanya terbatas pada transaksi finansial, tetapi juga mencakup penyalahgunaan waktu, jabatan, dan bahkan suara dalam pemilihan umum. Fenomena ini tidak terisolasi pada individu; ia meresap ke seluruh lapisan masyarakat, dari tingkat terendah hingga puncak hierarki. Ketika korupsi menjadi norma, pemberantasan menjadi keharusan.
ADVERTISEMENT
Salah satu pengalaman pribadi yang paling miris terjadi saat saya mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Polres Kabupaten. Petugas di sana tidak melakukan tes seperti yang seharusnya, melainkan langsung meminta uang sebesar 500 ribu rupiah kepada pemohon SIM. Tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang menetapkan biaya pembuatan SIM C hanya sebesar 100.000 rupiah.
Kejadian ini mengejutkan saya, terutama setelah menyadari bahwa lapangan untuk praktek tes SIM kosong, menunjukkan bahwa korupsi telah merajalela tanpa memandang status atau jabatan seseorang. Lebih parah lagi, proses pembuatan SIM yang seharusnya memakan waktu satu hari, berlarut hingga satu tahun dengan alasan yang tidak masuk akal, seperti kekurangan blangko. Sementara itu, pengalaman yang sama juga dialami oleh teman saya yang mengurus SIM di Polres Kota mendapatkan SIM-nya selesai dalam waktu yang lebih lama daripada saya, meskipun ia juga harus membayar 'uang damai' sebesar 700 ribu rupiah.
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini membuat saya meyakini bahwa stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada badan kepolisian Indonesia merupakan kritik atas ketidakpuasan dari pelayanan dan birokrasi yang ada di lembaga kepolisian saat ini. Banyak kasus laporan tindak kriminal dan laporan kehilangan yang masuk di kantor kepolisian namun semuanya hanya dituntaskan sebagai berkas laporan dan tidak pernah selesai kasusnya sampai sekarang.
Saya percaya bahwa korupsi ini bukan hanya dilakukan oleh satu atau dua petugas, melainkan merupakan praktik yang dilakukan secara kolektif di tingkat kabupaten/kota. Meskipun biaya pembuatan SIM yang tidak wajar ini telah diketahui oleh pejabat tingkat atas, pemberantasan korupsi tampaknya tidak terjadi karena posisi polisi yang kuat.
Dengan kondisi seperti ini, saya merasa tidak yakin kepada siapa harus berharap untuk pemberantasan korupsi, karena tidak ada badan khusus yang fokus pada masalah ini di tingkat kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya dan seluruh masyarakat di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi ini mungkin merupakan praktik yang sistematis, dilakukan secara kolektif oleh petugas yang terlibat. Hal ini menciptakan sebuah norma baru yang menyimpang, di mana tindakan korupsi dianggap sebagai kewajaran' yang tidak lagi menimbulkan rasa malu.
Pemberantasan korupsi di tingkat kabupaten/kota menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika tidak ada badan khusus yang fokus pada tugas tersebut. Namun, ini tidak berarti kita harus kehilangan harapan. Masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas harus bersatu untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas, serta mendukung reformasi sistem yang dapat mencegah korupsi dari akarnya.
Korupsi adalah musuh bersama yang harus kita lawan bersama. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat mengubah narasi dan memastikan bahwa proses administratif seperti pembuatan SIM dilakukan dengan jujur dan adil, sesuai dengan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT