Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Obsesi Hidup Selalu Kurang
18 Maret 2025 12:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sevenita Oktaviani Sipahutar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital, anak muda semakin sulit merasa cukup. Media sosial terus membombardir kita dengan pencapaian orang lain, gaya hidup mewah, dan tren terbaru, seolah-olah kebahagiaan hanya bisa didapat dengan selalu memiliki lebih banyak. Inilah yang disebut FOMO (Fear of Missing Out) ketakutan ketinggalan tren, kesempatan, atau pengalaman yang dianggap penting. Tanpa disadari, fomo menciptakan obsesi hidup yang selalu terasa kurang, membuat banyak orang terus mengejar validasi tanpa pernah benar-benar puas.
ADVERTISEMENT
Studi menunjukkan bahwa fomo berkaitan erat dengan kecemasan, tekanan sosial, dan pola konsumsi berlebihan. Banyak yang rela mengorbankan keuangan, waktu, bahkan kesehatan mental demi eksistensi di dunia maya. Dr. Andrew K.Przybylski pada 2013 untuk menggambarkan perasaan cemas seseorang ketika melihat kehidupan orang lain tampak lebih menyenangkan. Orang yang memiliki FOMO sering merasa kehidupan orang lain lebih baik tanpa dirinya, yang kerap memicu rasa minder. Dikutip dari https://www.alodokter.com Kamis (31/10/2024).
Ketika Validasi lebih penting daripada intergritas
Tidak dapat dipungkiri, banyak anak muda yang terjebak dalam pola pikir bahwa diakui lebih penting daripada menjadi diri sendiri.Media sosial mengubah cara manusia menilai keberhargaan diri bukan lagi dari karakter, kerja keras, atau prinsip, tetapi dari seberapa banyak orang yang melihat, menyukai, dan mengomentari. Inilah realitas yang menciptakan fenomena di mana validasi eksternal lebih berharga daripada integritas pribadi.
ADVERTISEMENT
Namun pada era saat ini,budaya validasi ketika seseorang tidak lagi merasa cukup hanya dengan menjadi versi terbaik dari dirinya. Ada tekanan konstan untuk membuktikan sesuatu kepada orang lain, bahkan jika itu berarti harus memalsukan atau melebih-lebihkan kenyataan. Dalam artikel lain oleh The Conversation, dilaporkan bahwa 1 dari 5 mahasiswa mengalami kecemasan atau depresi, dengan penggunaan media sosial yang berlebihan sebagai faktor utama. Psikolog klinis Stephen Thayer menyatakan bahwa ketika kita berada di ruang privat, online sosial, kita kehilangan wadah sosial dari interaksi tatap muka yang membentuk ketahanan emosional dan karakter. Pemberitahuan bahwa ada yang 'suka' di Facebook,Instagram dan TikTok tidak lebih dari candu akan validasi.Dikutip dari https://www.liputan6.com. Kamis (22/9/2022).
Dampak Fomo Dan Obsesi Hidup Yang Selalu Kurang
ADVERTISEMENT
Fomo dan obsesi kekurangan bukan sekadar perasaan sesaat. Mereka adalah racun yang perlahan-lahan menggerogoti jiwa, menciptakan jurang pemisah antara diri kita yang sebenarnya dan diri kita yang kita inginkan. Dampaknya jauh lebih dalam daripada sekadar kecemasan atau stress.Salah satu dari beberapa dampak tersebut ialah terlalu fokus pada apa yang orang lain miliki atau lakukan dapat mebuat kita kehilangan arah dan melupakan siapa diri kita sebenarnya,pikiran kita terus-menerus melayang ke kehidupan orang lain,kita mulai menciptakan “Topeng”di media sosial dan kehidupan nyata.
Dampak negatif Fomo dan obsesi kekurangan tidak hanya memengaruhi kesehatan mental tetapi juga membawa dampak etis. Ketika seseorang terlalu fokus pada citra dan pencapaian, mereka bisa kehilangan nilai-nilai penting seperti kejujuran, empati, dan rasa syukur. Anak muda menghadapi tekanan sosial yang semakin besar, terutama karena pengaruh media sosial yang terus-menerus membanjiri mereka dengan gambaran kehidupan orang lain yang tampak lebih menyenangkan, sukses, dan sempurna. Salah satu dampak dari hal ini adalah munculnya Fear of Missing Out (FOMO), atau ketakutan akan tertinggal dari pengalaman dan pencapaian yang dimiliki orang lain. Perasaan ini sering kali berkembang menjadi stres kronis dan bahkan depresi. Seseorang yang merasa tidak pernah cukup akan selalu merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan diri.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang terperangkap dalam siklus membandingkan diri dengan orang lain, mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati hidup dan bersyukur atas apa yang mereka miliki. Alih-alih fokus pada pertumbuhan diri yang autentik, mereka malah sibuk memenuhi standar kebahagiaan yang ditentukan oleh media sosial dan lingkungan sekitar.Tanpa disadari, kita mulai menilai diri sendiri berdasarkan standar yang sebenarnya tidak realistis, yang pada akhirnya hanya membuat kita merasa kurang, meskipun dalam kenyataannya kita sudah memiliki banyak hal yang patut disyukuri. Yang lebih mengkhawatirkan, fokus utama kita bukan lagi pertumbuhan diri yang autentik, melainkan memenuhi ekspektasi eksternal yang tidak pernah ada habisnya. Banyak anak muda yang merasa harus selalu mengikuti tren terbaru, mencapai sesuatu yang lebih besar, atau memiliki sesuatu yang lebih mewah, hanya karena melihat orang lain melakukannya. Ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan selalu ada di tempat lain.
ADVERTISEMENT
Mengatasi Fomo dan obsesi ketidakpuasan
Menemukan Kepuasan di Tengah Pusaran FOMO dalam pusaran informasi dan citra yang tak berkesudahan, FOMO dan obsesi kekurangan telah merasuki jiwa kita, menciptakan rasa tidak puas yang kronis. Kita terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, mengejar standar yang tidak realistis, dan melupakan apa yang benar-benar penting dalam hidup. Namun, kita tidak harus menyerah pada kekuatan negatif ini. Kita memiliki kekuatan untuk membebaskan diri dari belenggu perbandingan dan menemukan kepuasan yang sejati. Kita memiliki kemampuan untuk membuka mata kita pada realitas diri, untuk melihat keindahan dalam diri kita sendiri dan dalam kehidupan kita.
Generasi muda saat ini menghadapi tantangan seperti tekanan untuk selalu tampil sempurna dimedia sosial.Oleh karena itu, cara agar kita terhindar dari hal yang mengakibatkan ketidakpuasan sebagai berikut: Pertama, membebaskan diri dari belenggu perbandingan. Ini berarti kita harus berhenti membiarkan media sosial dan standar eksternal mendikte nilai diri kita. Kita perlu memahami bahwa setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik, dengan tantangan dan pencapaiannya masing-masing. Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menciptakan rasa iri, cemas, dan tidak puas. Kedua, menemukan kepuasan yang sejati. Kepuasan sejati tidak ditemukan dalam pencapaian materi atau pengakuan dari orang lain. Ketiga, membuka mata pada realitas diri. Ini berarti kita harus jujur pada diri sendiri tentang kekuatan dan kelemahan kita, tentang impian dan aspirasi kita. Keempat,kita harus melatih diri untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki, untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidup, dan untuk menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana tetapi, menghargai apa yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi muda, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan budaya yang lebih sehat dan positif. Kita perlu berhenti mempromosikan citra diri yang sempurna dan mulai merayakan keaslian. Kita perlu berhenti hidup untuk validasi eksternal dan mulai hidup untuk diri kita sendiri. jika kita terus-menerus hidup dalam siklus ini, kita tidak akan pernah benar-benar merasa cukup atau puas. Kebahagiaan kita menjadi tergantung pada validasi orang lain, bukan dari pemahaman diri yang sesungguhnya. Kita lupa bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri, dengan tantangan dan waktunya masing-masing. Itulah sebabnya, penting bagi kita untuk belajar melepaskan diri dari jebakan perbandingan sosial ini dan mulai menilai kehidupan berdasarkan makna yang kita tentukan sendiri, bukan berdasarkan apa yang terlihat di layar ponsel kita. Pada akhirnya, menurut penulis, kebebasan sejati dalam hidup bukanlah ketika kita berhasil memenuhi standar orang lain, melainkan ketika kita bisa menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri, tanpa perlu validasi dari siapa pun.
ADVERTISEMENT
Sevenita Oktaviani Sipahutar, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Unika Santo Thomas