Konten dari Pengguna

Orang Tua, Tak Bisa Hanya Jadi Pengasuh

Sevilla Nouval Evanda
Mahasiswi Jurnalistik yang suka menulis dan gemar bercerita hingga lelah sendiri.
16 Juli 2021 14:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sevilla Nouval Evanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Orang tua adalah orang terdekat dalam batin. (Foto: Pexels/cottonbro)
zoom-in-whitePerbesar
Orang tua adalah orang terdekat dalam batin. (Foto: Pexels/cottonbro)
ADVERTISEMENT
Orang tua memiliki peran besar dalam setiap tahap perkembangan anak. Sejak bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa, sosok “orang tua” pasti sangat dekat dalam batin kita. Secara fisik, orang tua yang terlihat di mata orang lain adalah ayah dan ibu yang mengasuh dan memenuhi kebutuhan anaknya. Mulai dari Ibu yang melahirkan, hingga kedua orang tua yang mencukupi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan segala “kebutuhan” tak penting kita.
ADVERTISEMENT
Namun, apa cukup peran orang orang tua sampai di sana? Tentunya, tidak. Bagi anak, orang tua adalah orang dewasa yang menjadi contoh dan anutan. Selain itu, mereka juga mempunyai tanggung jawab untuk merawat anak secara emosional, bukan hanya fisik. Organisasi Kesehatan Dunia saja mengemukakan bahwa banyak masalah mental yang terjadi pada orang dewasa terbentuk sejak usia anak-anak. Jadi, tidak ada alasan bagi orang tua untuk mengabaikan kesehatan mental anak sejak dini.
Sayangnya, kita tahu bahwa hidup tak selalu adil. Kita perlu paham bahwa tak semua yang seharusnya milik kita, dapat dimiliki. Masih banyak orang yang belum teredukasi soal pentingnya kesehatan mental sejak dini. Terkadang, mereka pun ialah orang tua kita sendiri. Aku … seharusnya tak pernah seheran itu melihat orang tua yang belum terlalu bisa memposisikan diri mereka di depan anak.
ADVERTISEMENT
Barangkali, aku tampak marah. Meskipun, sebenarnya tidak. Hanya saja, rasa kecewa sempat terselip saat aku mendengar pintu kamar yang diketuk ringan pada pukul tiga pagi. Mengapa dua anak yang perlu mendongak saat melihatku ini ada di depan kamarku sepagi itu? Dengan mata sembab yang seolah tak bisa lagi tertawa, segan pula untuk menangis.
Aku bukan sosok kakak yang terlihat peduli pada langkah mereka yang memasuki kamarku. Setelah membukakan pintu, aku kembali berbaring dan memejamkan mata. Begitu pun, telingaku bukan sekadar pajangan. Ia menajam dengan sendirinya, mencari cerita penting yang agaknya perlu kudengar.
“Kak, mereka berantem lagi,” cicit salah satunya sambil menggoyangkan tubuhku pelan. Anak satunya diam, agaknya lebih takut pada sikap dinginku dibanding pertengkaran orang tua kami. Perlahan, aku bangun dan menatap mereka tenang. Setelah kami diam beberapa saat, barulah terdengar sayup-sayup perdebatan dua orang dari kamar ujung sana.
ADVERTISEMENT
Aku menghela napas. Mau mengharapkan apa? Batinku. “Tidur, enggak usah didengerin,” kataku yang dibalas anggukan anak-anak itu. Meski begitu, mereka mengeluh lagi. Katanya, mereka tak akan bisa tidur jika tidak ditemani orang tua. Mau tidak mau, aku harus menghentikan pertengkaran yang berlangsung setiap malam selama berhari-hari itu.
Mungkin, aku yang terlalu kekanakan hingga berpikir: mengapa orang dewasa ini tidak bisa menyelesaikan masalah mereka dan terus adu mulut sampai pegal? Masalahnnya, sekolah anak-anak itu bahkan jadi tak terkesan serius karenanya. Bekal makan siang? Seadanya saja. Satu-satunya ketenangan yang kurasakan adalah malam sebelum dini hari, saat semuanya begitu menikmati tidur karena lelah dengan kebisingan sehari-hari.
Aku khawatir. Sudah kupaparkan bahwa kesehatan mental perlu dijaga sejak dini, ‘kan? Sekarang, bagaimana caranya menjaga jiwa anak-anak itu seorang diri … Aku sendiri tidak masalah dengan diriku. Bagaimanapun, aku sudah lebih terbiasa dengan situasi ini dibandingkan mereka. Meskipun, tak bisa dipungkiri, kepercayaan terhadap orang lain maupun diriku sendiri terus menipis.
ADVERTISEMENT
Roda terus berputar. Hal buruk tak bisa terus menjadi hal buruk. Pada akhirnya, siklus tanpa henti ini perlu dihentikan. Pertengkaran, ucapan-ucapan kurang sopan, dan penghinaan tidak bisa terus mendampingi kami seperti orang tua itu sendiri. Perlahan-lahan, aku mendapatkan dukungan dari kedua orang tuaku. Perlu waktu agar mereka mengerti, tapi tak perlu waktu bagi anak-anak kembali ceria saat situasi membaik.
Orang tua masih jadi pengasuh kami, pengajar paling sempurna yang tak hanya menunjukkan sisi-sisi indah dari kehidupan. Mereka mengajarkan bahwa kami perlu berusaha agar tidak menghadapi situasi seperti mereka, bahwa perlu persiapan matang sebelum membicarakan hal penting, bahwa perlu untuk memahami satu sama lain dalam rumah ini.
Aku tidak masalah. Untuk saat ini, aku bisa menjaga keseimbangan emosional di rumah. Aku percaya, mereka bisa membantuku suatu hari nanti. Satu-dua kata yang akan selalu terpatri dalam hati, orang tua akan terus jadi orang terdekatku dalam hidup. Banyak rahasia mereka yang tak kuketahui, tapi bukan berarti kami adalah orang asing yang tak bisa memahami satu sama lain.
ADVERTISEMENT