Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hustle Culture: Ketika Produktivitas Berlebihan Mengorbankan Kesehatan
12 Desember 2024 16:11 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sevinka Ananda Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah hustle culture telah menjadi populer di kalangan masyarakat urban, terutama generasi muda yang terpapar oleh media sosial. Hustle culture adalah fenomena budaya kerja yang mengagungkan produktivitas tanpa henti, sering kali dengan slogan seperti “grind now, shine later” atau “no days off.” Budaya gila kerja ini mendorong ambisi dan kerja keras yang menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Glorifikasi Produktivitas dan Realitas yang Tersembunyi
Di era digital, banyak publik figur dan influencer yang memamerkan gaya hidup serba sibuk sebagai simbol keberhasilan. Mereka kerap menggambarkan lembur, kurang tidur, dan jadwal penuh sesak sebagai harga yang harus dibayar untuk mencapai impian. Sayangnya, realitas ini sering kali jauh dari ideal. Studi menunjukkan bahwa bekerja tanpa henti dapat mengakibatkan kelelahan kronis (burnout), yang didefinisikan oleh WHO sebagai sindrom yang dihasilkan dari stres kerja yang tidak terkelola dengan baik (World Health Organization, 2019).
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, seperti meningkatkan risiko depresi dan kecemasan, tetapi juga membawa dampak yang serius pada tubuh. Pola hidup yang terus-menerus sibuk dapat menyebabkan gangguan tidur, tekanan darah tinggi, hingga penyakit kardiovaskular (Harvard Business Review, 2020).
ADVERTISEMENT
Menakar Harga Sosial dari Hustle Culture
Budaya ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada struktur sosial. Ketika produktivitas menjadi tolok ukur utama nilai seseorang, mereka yang memilih atau terpaksa menjalani gaya hidup lebih santai sering kali dianggap tidak ambisius. Dalam konteks ini, hustle culture memperkuat stigma terhadap pekerjaan dan gaya hidup yang tidak memenuhi standar “super produktif” (Schor, 2020). Hal ini semakin memperlebar kesenjangan sosial dan meminggirkan mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.
Mengapa Kita Harus Berhenti Meromantisasi Kesibukan?
Salah satu tantangan utama dalam melawan hustle culture adalah narasi yang telah mengakar bahwa sukses hanya bisa dicapai melalui pengorbanan ekstrem. Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa istirahat dan keseimbangan hidup justru meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan kepuasan kerja dalam jangka panjang (Journals of Occupational Health, 2018).
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara seperti Swedia dan Finlandia, pendekatan kerja yang lebih seimbang sudah diterapkan melalui kebijakan seperti jam kerja lebih singkat atau konsep flexible working hours (OECD, 2019). Hasilnya, tingkat kebahagiaan karyawan dan produktivitas nasional justru meningkat.
Jalan Menuju Keseimbangan
Mengubah paradigma hustle culture membutuhkan pendekatan kolektif. Individu perlu mulai memprioritaskan kesehatan dengan menerapkan pola hidup yang seimbang, seperti menetapkan batas waktu kerja, rutin berolahraga, dan menjaga kualitas tidur. Sementara itu, perusahaan dan pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat, seperti menyediakan program kesehatan mental dan menghapus budaya lembur yang tidak perlu.
Pada akhirnya, kesuksesan tidak semestinya diukur dari seberapa sibuk seseorang, tetapi dari kualitas hidup yang mereka jalani. Dengan menyeimbangkan ambisi dan kesejahteraan, kita dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya produktif, tetapi juga sehat dan bahagia.
ADVERTISEMENT