Konten dari Pengguna

Dampak Peningkatan TKDN Alas Kaki terhadap Partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain

29 Oktober 2017 21:27 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sevirandizka Sawitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Sevirandizka Sawitri dan Thalia Nabasa
Latar Belakang
Tren perdagangan internasional semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satunya ditandai dengan berlomba-lombanya negara untuk melakukan trade liberalization dan munculnya New Globalization. Richard Baldwin dalam bukunya yang berjudul The Great Convergence: Information Technology and the New Globalization menyatakan bahwa akan ada perpindahan industri dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Negara maju akan men-transfer pengetahuan dari pekerja high-knowledge-nya ke negara berkembang sehingga memicu disindustrialisasi di negara maju dan mendorong industrialisasi di negara berkembang. Salah satu wujud industrialisasi di negara-negara berkembang adalah mulai ikut sertanya negara-negara berkembang dalam melakukan kegiatan value chain.
ADVERTISEMENT
Value chain sendiri menurut Michael Porter pada bukunya yaitu Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance (1985) adalah sebuah rangkaian proses produksi mulai dari ide, proses pembuatan, sampai dengan pemasaran. Global Value Chain (GVC) sendiri perusahaan membagi proses pembuatan komoditi tersebut secara global. Caranya dengan memusatkan salah satu proses produksi di negara-negara sesuai dengan comparative advantage-nya masing-masing. Dengan memusatkan proses produksi tersebut (specialization), perusahaan dapat meminimalkan cost of production-nya (gains from trade). Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki comparative advantage dalam beberapa industrinya, turut ikut serta dalam kegiatan GVC tersebut. Salah satu komoditi produksi Indonesia yang berperan dalam kegiatan GVC adalah alas kaki.
Industri alas kaki Indonesia sendiri merupakan salah satu industri penting dalam kegiatan perdagangan internasioal Indonesia. Hal ini tercermin dari masuknya alas kaki produksi Indonesia kedalam 10 komoditi utama ekspor Indonesia. Menurut data yang diambil dari Kementerian Perdagangan, terlihat bahwa ekspor komoditi alas kaki di Indonesia mencapai USD 4,5 milyar, menjadikan alas kaki menempati urutan ke 6 dalam 10 komoditi utama ekspor Indonesia. Tidak hanya itu, ekspor alas kaki Indonesia menempati urutan ke 6 terbesar eksportir alas kaki dengan share sebesar 3,4% di dunia. Alas kaki dari Indonesia sendiri paling besar diekspor ke Amerika dengan total USD 1,2 milyar pada tahun 2016. Indonesia sendiri juga melakukan impor untuk produk alas kaki ini dengan negara pengimpor terbesar adalah China dengan total USD 227 juta di tahun 2016
ADVERTISEMENT
Salah satu hal alasan mengapa ekspor alas kaki di Indonesia sangatlah besar adalah karena Indonesia memiliki Comparative Advantage dalam melakukan produksi alas kaki. Indonesia mampu memproduksi alas kaki yang berkualitas tinggi dengan biaya produksi yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Tingginya kualitas serta biaya produksi yang lebih rendah ini dikarenakan Indonesia telah efektif dan efisien dalam memproduksi produk alas kaki dimana sejak awal 1900, Indonesia telah aktif melakukan kegiatan produksi alas kaki di daerah Cibaduyut, Bandung. Sampai tahun 2015, produksi alas kaki di Cibaduyut mencapai 4 juta pasang alas kaki per tahunnya (Kadarusman).
Tingginya produksi alas kaki di Indonesia membuat munculnya beberapa masalah, salah satunya adalah para pekerjanya. Industri alas kaki di Indonesia sendiri mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 400.000 pekerja di tahun 2015 (Kadarusman) dan diperkirakan akan bertambah sebesar 100.000 pada tahun 2016. Banyak dari pekerja tersebut mulai meminta kenaikan upah yang cukup tinggi yaitu lebih dari 40% di beberapa daerah pada tahun-tahun terakhir ini. Hal ini menyebabkan banyaknya pabrik-pabrik yang tutup karena tidak mampu membayar upah yang diminta oleh pekerjanya. Beberapa pabrik di Indonesia juga memutuskan untuk menutup pabriknya di Indonesia dan memindahkannya ke negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Brunei, dan Myanmar. Investor asing juga akan berpikir ulang untuk melakukan investasinya di Indonesia seperti investor dari Jepang dan Korea Selatan yang batal melakukan investasi di Indonesia pada tahun 2015 karena upah minimum tersebut. Hal ini jelas berdampak buruk pada industri alas kaki Indonesia dimana industri alas kaki sendiri fokus bersaing pada rendahnya biaya produksi. Tidak hanya pekerja, beberapa hal lain juga menjadi hambatan dalam kegiatan produksi alas kaki di Indonesia yaitu regulasi pemerintah
ADVERTISEMENT
Salah satu hal menarik lainnya dari industri alas kaki Indonesia adalah kegiatan re-import. Re-import sendiri merupakan kegiatan impor kembali barang ke negara pengekspor barang tersebut sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa alas kaki produksi Indonesia yang telah diekspor ke luar negeri akhirnya diimpor kembali untuk dijual di Indonesia. Re-import ini terjadi untuk beberapa brand alas kaki yang memiliki pabrik di Indonesia seperti Adidas (27% produksinya di Indonesia) dimana setelah di produksi di Indonesia, pabrik akan mengekspornya ke Adidas HQ dan kembali di impor oleh Indonesia. Sangat memungkinkan bahwa impor alas kaki di Indonesia cukup besar arena adanya kegiatan re-import ini.
Peningkatan Proteksionisme serta Dampaknya pada Partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain Alas Kaki
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu komoditi ekspor utama Indonesia, alas kaki Indonesia tentunya memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Namun, pertumbuhan impor alas kaki yang melebihi pertumbuhan ekspornya pada tahun 2015 – 2016 menjadi alasan pemerintah untuk kembali mendorong pertumbuhan ekspor dan mengurangi pertumbuhan impor. Salah satu cara untuk mengurangi pertumbuhan impor ini dilakukan dengan merencanakan peningkatan TKDN terhadap alas kaki. Hal ini dilakukan untuk mendorong produsen alas kaki agar menggunakan lebih banyak komponen lokal dalam produksinya. Selain itu, maraknya proteksionisme yang dilakukan negara-negara lain sejak tahun 2008 ini, yang diperparah dengan kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang semakin proteksionis, juga mendorong pemerintah Indonesia untuk menigkatkan TKDN untuk alas kaki.
Meningkatnya proteksi terhadap industri alas kaki, dalam kasus ini TKDN, akan memberikan beberapa dampak terhadap Indonesia. Mengingat masih kurangnya fasilitas penunjang untuk mengolah bahan baku yang diperlukan serta buruknya kualitas bahan kulit Indonesia, pemerintah perlu memerhatikan kedua hal ini juga jika ingin meningkatkan kinerja industri alas kaki dalam negeri. Tanpa adanya perbaikan dalam kedua hal tersebut, kinerja industri alas kaki Indonesia akan sulit untuk ditingkatkan mengingat Indonesia merupakan produsen tingkat 1 pada rantai produksi alas kaki.
ADVERTISEMENT
Dampak lainnya yang akan ditimbulkan dari peningkatan TKDN adalah berkurangnya partisipasi Indonesia dalam rantai produksi (Global Value Chain) alas kaki. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Indonesia merupakan produsen tingkat 1 pada rantai produksi alas kaki dan mayoritas bahan baku yang digunakan berasal dari impor. Masih sedikitnya produsen tingkat 2 pada rantai produksi alas kaki di Indonesia membuat masih sulitnya industri alas kaki Indonesia untuk meningatkan komponen lokal dalam produksinya.
Melihat kondisi ini, dapat dilihat bahwa TKDN bukan merupakan solusi bagi kurang berkembangnya industri komponen alas kaki dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya fasilitas penunjang untuk mengolah bahan baku dan buruknya kualitas kulit. Hal ini akan kemudian menyebabkan industri alas kaki Indonesia, tanpa adanya upaya meningkatkan fasilitas untuk mengolah bahan baku, akan justru mengalami hambatan dalam produksi. Selain karena masih kurangnya penunjang untuk mengolah bahan baku, keunggulan komparatif dalam manufaktur produk akhir yang dimiliki industri alas kaki Indonesia juga menjadi alasan terhambatnya industri ini dengan adanya peningkatan TKDN. Oleh karena itu, selain akan mengurangi impor, peningkatan TKDN juga pada akhirnya justru dapat mengurangi ekspor karena berkurangnya partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain. Tidak hanya itu, nilai tambah pada produk alas kaki juga akan berkurang karena pada dasarnya Global Value Chain dapat meningkatkan nilai tambah negara-negara yang terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Selain dari sisi kuantitas, kualitas produk alas kaki Indonesia juga dapat berkurang dengan adanya peningkatan TKDN ini. Hal ini disebabkan karena peningkatan TKDN akan membuat produsen harus menggunakan bahan lokal yang kualitasnya belum sebaik bahan impor. Pada akhirnya, tidak hanya mengurangi daya saing di pasar internasional, tetapi hal ini juga akan mengurangi daya saing industri alas kaki Indonesia di pasar domestik. Konsumen akan cenderung lebih memilih produk impor dikarenakan kualitasnya lebih baik dibandingkan kualitas produk lokal.
Indonesia Perlu Meningkatkan Partisipasi dalam Global Value Chain
Partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain relatif masih rendah dibandingkan negara Asia lainnya. Belum lagi, meningkatnya biaya tenaga kerja yang dibutuhkan membuat jumlah produsen alas kaki di Indonesia semakin sedikit. Masih rendahnya partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain ini tentunya sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komponen maupun manufaktur di beberapa industri. Selain itu, keberadaan Global Value Chain juga telah mengubah tren produksi maupun perdagangan. Seluruh proses produksi dimulai dari pembentukkan ide hingga distribusi yang awalnya difokuskan di dalam satu negara saja, kini proses produksinya sudah dilakukan di berbagai negara yang berbeda. Hal ini memberi ruang untuk seluruh negara melakukan spesialisasi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya sehingga produksi menjadi lebih efisien. Selain itu, Global Value Chain juga dapat memberikan beberapa keuntungan lain seperti meningkatnya nilai tambah, meningkatnya nilai ekspor dan meningkatnya daya saing dalam pasar internasional. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan partisipasinya pada Global Value Chain.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk meningkatkan partisipasi dalam Global Value Chain, khususnya untuk industri alas kaki dalam kasus ini. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan keunggulan komparatif industri alas kaki Indonesia untuk memproduksi barang akhir. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif ini, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan partisipasi dalam Global Value Chain, tetapi juga dapat meningkatkan nilai tambah pada industri alas kaki dan memperkuat backward linkage. Meningkatnya nilai tambah dan menguatnya backward linkage juga akan membuat Indonesia tidak lagi bergantung pada ekspor bahan mentah. Produksi alas kaki juga akan menjadi lebih efektif dengan adanya spesialisasi.
Permasalahan utama yang saat ini menghambat partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain produk alas kaki adalah tingginya biaya tenaga kerja di Indonesia karena upah minimum. Sebagai labor-intensive industry, biaya tenaga kerja tentunya berpengaruh signifikan terhadap biaya produksi keseluruhan. Hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan produktivitas dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis tenaga kerja dan meningkatkan penggunaan teknologi dalam produksi. Selain dapat meningkatkan produktivitas, cara ini juga dapat mengurangi biaya produksi alas kaki.
ADVERTISEMENT
Cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain adalah memberikan dorongan terhadap UMKM Indonesia untuk melakukan ekspor. Hal ini dikarenakan mayoritas usaha di Indonesia masih tergolong ke dalam UMKM sehingga dengan memberikan dorongan kepada UMKM, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonominya.
Lampiran
Tabel 1.1. Negara Eksportir Alas Kaki
Tabel 1.2. Ekspor 10 Komoditi Utama Indonesia 2012 – 2017
Tabel 1.3. Impor Alas Kaki Indonesia
Tabel 1.4. Ekspor Alas Kaki Indonesia
Referensi
Goni, J., & Yohanes, K. (2015). Local Company Contribution within Global Value Chain: A Case Study in Indonesian Footwear Industry. Mediterranean Journal of Social Sciences .
Baldwin, Richard (2017). The Great Converage : Information Technology and the New Globalization. Harvard University Press.
ADVERTISEMENT
Huzaini, M Dani Pratama. (2017). Rancangan Perpres TKDN Diharap Tak Kandas di Tengah Jalan, di akses 8 September 2017, diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5991928d97d86/rancangan-perpres-tkdn-diharap-tak-kandas-di-tengah-jalan
EUIND TCF. (2016). Global Value Chains (GLOBAL VALUE CHAIN), strategic direction for Indonesia, di akses 8 September 2017, diambil dari http://www.euind-tcf.com/global-value-chains-Global Value Chain-strategic-direction-for-indonesia/
Julianto, Pramdia Arhando. (2016). Menperin Dorong Industri Kulit dan Sepatu Tingkatkan Komponen Dalam Negeri, di akses 8 September 2017, diambil dari http://ekonomi.kompas.com/read/2016/07/26/200000926/menperin.dorong.industri.kulit.dan.sepatu.tingkatkan.komponen.dalam.negeri.
Negara, Shiwage Darma. (2016). The Impact of Local Content Requirements on the Indonesian Manufacturing Industry, ISEAS Economics Working Paper No. 2016-4.
Global Business Guide Indonesia (2014). Indonesia's footwear Industry - Challenging Opportunities http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2014/indonesia_s_footwear_industry_challenging_opportunities.php - Diakses Jumat, 15 September 2017
https://theloadstar.co.uk/adidas-eyes-supply-chain-switch-south-east-asia-wages-rocket-china/ - Diakses Jumat, 15 September 2017
ADVERTISEMENT
http://www.trademap.org/stGlossary.aspx?nvpm=1|360||||64|||2|1|1|1|2|1|2|1|1 - Diakses Jumat, 15 September 2017
https://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/footwear-industry-indonesia-exports-surge-domestic-sales-weak/item7088? - Diakses Jumat, 15 September 2017
http://www.thejakartapost.com/news/2017/04/19/growth-of-indonesian-footwear-imports-outpaces-exports.html - Diakses Jumat, 15 September 2017