Konten dari Pengguna

Emansipasi Kartini dalam Membentuk Semangat Perjuangan Kaum Wanita

Sevita Arvianti
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Jurusan Sejarah
14 November 2022 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sevita Arvianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: https://www.shutterstock.com/image-photo/raden-adjeng-kartini-prominent-indonesian-national-1437064781
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: https://www.shutterstock.com/image-photo/raden-adjeng-kartini-prominent-indonesian-national-1437064781
ADVERTISEMENT
Perkembangan emansipasi tidak lepas dari sosok Kartini, sebagai penggerak kaum wanita dalam menyalurkan aspirasinya dalam melawan adanya garis pemisah antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Tidaklah mengherankan, karena pada saat itu posisi perempuan selalu dikucilkan maupun direndahkan, Berangkat dari kenyataan inilah, Kartini berusaha mendongkrak agar menjadikan posisi perempuan setara dengan posisi laki-laki dalam segala ruang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Rendahnya posisi perempuan tidak terlepas dari aturan adat yang “mengurungnya” atau kerap kita kenal dengan sistem adat feodal. Adat feodal sendiri menarik garis pemisah antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan yang amat terasa dan tegas. Salah satunya tercermin dalam prosesi “pingitan” teruntuk gadis baik dari tingkat bangsawan hingga pribumi, yang mana dia tidak diperkenankan keluar rumah yang membuat hubungannya dengan masyarakat terputus sampai sang gadis dinikahkan.
Aturan adat feodal juga mengekang kaum perempuan agar tidak diperkenankan belajar ilmu pengetahuan maupun keterampilan apapun selama masa “pingitan” berlangsung. Dari sinilah perempuan akan sangat terpikat pada sang suami hingga berujung pada kesewenang-wenangan suami dalam berbuat apa saja, bisa menceraikan istrinya atau menikah lagi tanpa persetujuan. Kartini dengan keistimewaan derajatnya sebagai keturunan bangsawan mulai bergerak pemikirannya untuk dapat mengubah tatanan tradisi Jawa yang mengekang kaum perempuan kala itu.
ADVERTISEMENT
Dengan bekal pendidikan yang didapatnya serta beberapa bacaan buku-buku, koran dan majalah Eropa, Kartini mencoba membawa pengaruh modern ke tengah-tengah masyarakat Jawa yang masih terikat dengan tradisi feodal. Tuntutannya adalah agar para gadis diizinkan belajar baik melalui pendidikan umum maupun kejuruan agar kelak mereka memiliki keterampilan guna menopang kehidupannya sendiri tanpa harus menggantungkan diri pada suaminya.
Kartini memfokuskan perhatian pada masalah pendidikan terutama pada pendidikan untuk gadis-gadis desa, karena dengan pendidikanlah akan terangkat harkat dan martabat kaum wanita yang diharapkan mampu meruntuhkan sendi-sendi feodalisme. Dia juga sadar bahwa pengaruh imperialisme barat tidak selamanya buruk, modernisasi dan pengetahuan barat menjadikan faktor penting kebangkitan dan kemajuan rakyat bumiputera.
Sejak umur 12 tahun, Kartini gemar mengirimkan surat mengenai perjuangan perempuan pribumi kepada rekan korespondensinya yang berasal dari Belanda, salah satunya ialah Rosa Abendanon. Atas dukungan suaminya, Kartini mendirikan sekolah wanita yang terletak di sebelah timur gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang kisaran tahun 1903.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal Kartini, surat-surat yang berisi semangat emansipasi perempuan pribumi kemudian dibukukan dan menjadi sebuah catatan sejarah perempuan berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh Mr. J. H. Abendanon. Bersamaan dengan terbitnya Buku itu, kaum wanita golongan elite atau priyayi makin memiliki kesadaran yang sama seperti Kartini untuk dapat menghapuskan adat feodal yang mengekang kaum wanita selama itu. Ide-ide perubahan dalam pembaharuan masyarakat tentang perempuan, melalui surat-suratnya telah mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi Jawa, hingga menjadi inspirasi tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Sementara di tanah Sunda pada tahun 1904 telah lahir sebuah gerakan yang digagas oleh Dewi Sartika, dituangkan dalam pembukaan sarana pendidikan khusus wanita dengan fungsi utama memberikan pengajaran dalam hal membaca, berhitung, pendidikan agama, serta meningkatkan keterampilan wanita, khususnya bagi wanita Pasundan. Sekolah tersebut dikenal dengan sekolah “Istri”, pada 16 Januari 1904 di Bandung yang kemudian berubah nama menjadi “Sekolah Kaoetamaan Istri” pada 1910 hingga “Sekolah Raden Dewi” pada 1929. Cita-cita Dewi Sartika dituangkan dalam tulisannya berjudul “Wanita Bumiputra” yang menitikberatkan pemikiran akan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita, baik berbentuk pendidikan susila maupun pendidikan kejuruan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ia menilai telah adanya kemunduran harkat dan martabat perempuan Sunda dalam kehidupan masyarakat kala itu yang tercermin dalam perempuan Sunda yang dikekang dan lemah serta perkawinan paksa yang pada akhirnya menunjukkan perempuan hanya sebagai lambang atas status laki-laki setelah menikah serta kondisi penindasan perempuan lainya. Berangkat dari kondisi inilah Dewi Sartika berjuang atas emansipasi wanita yang difokuskan dalam persoalan pendidikan wanita Sunda hingga dituangkan melalui Sekolah Istri di Bandung, Jawa Barat.
Berawal dari tahun 1904-lah menjadi titik awal berdirinya sekolah untuk para wanita di hampir tersebar pada sebagian wilayah Hindia Belanda. Berangkat dari sini lah kemudian banyak bermunculan gerakan-gerakan atau perkumpulan wanita yang membahas mengenai pendidikan dan peningkatan derajat kaum wanita hingga berfungsi dalam bentuk organisasi. Tercatat organisasi perempuan pertama berdiri sejak 1912, yakni Putri Mardika di Batavia. Nama-nama seperti R.A. Theresia Saburudin, R.A. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranoto adalah penggagas berdirinya Putri Mardika.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula perkumpulan wanita dengan dasar keislaman yang juga merupakan cikal bakal “Aisyah”, yakni “Sopo Tresno” yang berdiri pada tahun 1914. Sementara di Gedang, Sumatera Barat dikenal perkumpulan “Kerajinan Amai Setia (KAS)” pada tahun 1914 dengan pemimpinnya Rohana Kudus. Bergeser ke Manado, Sulawesi Utara berdiri organisasi “Percintaan Ibu Kepada Anak-Anak (PIKAT)” pada tahun 1917 dengan Maria Walanda Maramis sebagai penggagasnya. Dan setelahnya berkembang pesat organisasi serupa hingga menjelang Kongres Perempuan yang juga bertepatan dengan Kongres Pemuda II.
Satu dekade kemudian, gagasan-gagasan pengangkatan harkat dan martabat wanita terealisasi dalam suatu bentuk Kongres Perempuan Pertama Indonesia di Yogyakarta, tepatnya tahun 1928. Dalam Kongres Perempuan Indonesia terdapat beberapa tokoh perempuan yang menjadi pembicara dari perwakilan dalam daerahnya diantaranya terdapat Ny. Sukonto, yang mewakili Wanita Utomo, bersama Nyi Hadjar Dewantara mewakili Taman Siswa dan ada R.A. Suyatin yang mewakili Puteri Indonesia Mataram. Terdapat sekitar 30 organisasi yang memiliki fokus tujuan bersama dalam menjalin pertalian antar perkumpulan wanita serta berbicara mengenai kewajiban-kewajiban wanita, keperluan, dan kemajuannya.
ADVERTISEMENT
Berdasar atas tujuan Kongres Perempuan Indonesia maka dibentuklah suatu federasi yang disebut Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Tercatat PPII melaksanakan kongres pada tahun 1930 dan 1933 di Solo dan Jakarta. Dalam kedua kongresnya federasi ini memfokuskan diri pada isu-isu perempuan dan anak guna kesejahteraan dan perlindungan keduanya. Antara lain dalam pernikahan dan hukumnya, perlindungan wanita dan anak dalam pernikahan, pencegahan pernikahan dini, hingga pendidikan perempuan.
Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945, perkumpulan perempuan dalam membahas isu-isu perempuan kembali menghangat melalui Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hingga kiprah Kowani terhenti di tahun 1965 dan memunculkan Kesatuan Aksi Wanita (Kawi) sebagai organisasi bernafas perempuan baru atas perbenturan Kowani. Sementara di tahun 1950, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) didirikan sebagai salah satu organisasi perempuan yang berhaluan komunis dan berfokus pada persoalan hak-hak buruh agar mendapat jatah upah yang setara. Tidak hanya berbentuk organisasi, perjuangan kaum perempuan Masa Orde Lama juga telah masuk dalam dunia panggung politik yang menandakan status perempuan diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Orde Lama, Orde Baru memandang organisasi perempuan harus diawasi demi kepentingan nasional. Oleh karenanya, organisasi perempuan desentralisasi di bidang “keperempuanan” atas peranannya sebagai istri pendamping serta pendidik anak dan generasi muda. Berdirilah “Dharma Wanita” pada 1974 yang lebih dikenal sebagai perkumpulan istri PNS hingga dikenalnya Program PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Terdapat pula “Persit” atau Perkumpulan Istri Tentara.
Reformasi mengharuskan adanya kebebasan dalam berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Organisasi yang berfokus bahasan atas isu perempuan pun diberikan ruang kebebasan lebih. Bahkan perempuan diberikan ruang terbuka dalam berpolitik serta dilindungi hak dan martabatnya oleh negara melalui “Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan” atau Komnas Perempuan.