Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Eksistensi Danjyo Kankei sebagai Konsep Hubungan Sosial Pria & Wanita di Jepang
26 Oktober 2023 12:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aisyah Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Danjyo Kankei berasal dari kata 男 (dan) berarti pria/laki-laki, lalu 女(jyo) memiliki arti wanita/perempuan, serta 関 係 (kankei) berarti hubungan. Dengan demikian Danjyo Kankei memiliki arti hubungan antara laki-laki dan perempuan. Seiring berkembangnya masa, hubungan antara laki-laki dan perempuan di Jepang pun mengalami perubahan.
ADVERTISEMENT
Secara historis, hubungan antara pria dan wanita di Jepang telah berubah sesuai dengan sistem sosial yang dominan pada masa itu dan posisi perempuan-perempuan di dalamnya. Di masa lalu, Jepang adalah masyarakat matrilineal di mana perempuan memiliki hak untuk mewarisi harta benda keluarga, dan ada banyak pemimpin perempuan.
Pria dan wanita tampaknya memiliki hubungan yang setara secara sosial politik, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan setelah pria mulai mengambil alih dominasi pada periode Nara dan Heian, rakyat biasa masih mempertahankan hubungan yang relatif setara, sementara di kalangan aristokrasi, laki-laki pada umumnya memiliki kekuasaan yang besar atas perempuan.
Pada akhir zaman Heian, hak suksesi perempuan telah melemah, dan hal ini tampaknya telah mempercepat subordinasi mereka terhadap laki-laki secara ekonomi. Karakteristik paling penting dari abad pertengahan, yang dikenal di Jepang sebagai periode Kamakura dan Muromachi, adalah pengembangan sistem ie, di mana prioritas sosial dan politik diberikan kepada laki-laki.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, ie berarti "rumah", dan sistem ie melibatkan sistem keluarga dengan keanggotaan yang luas, termasuk tidak hanya anggota keluarga tetapi juga pelayan, pekerja rumah tangga, dan sebagainya.
Eksistensi Danjyo Kankei membuktikan adanya kesenjangan antar gender yang tinggi di negara Jepang dan hal ini menyebabkan negara Jepang berada pada peringkat 125 dari 146 negara di dunia menurut Laporan Kesenjangan Gender Global Forum Ekonomi Dunia tahun 2023.
Adanya konsep Danjyo Kankei ini diperkuat dengan kemunculan sistem ie berarti "rumah" dalam periode Kamakura dan Muromachi, dan sistem ie melibatkan sistem keluarga dengan keanggotaan yang luas, termasuk tidak hanya anggota keluarga tetapi juga pelayan, pekerja rumah tangga, dan sebagainya.
Dalam sistem ini, kepala keluarga laki-laki (yaitu ayah atau kakek) memiliki kekuasaan yang besar, dan anggota lainnya harus mematuhi keputusannya. Umumnya, perempuan yang menikah dengan kepala keluarga seperti itu diharapkan memiliki anak laki-laki, karena anak laki-laki pertama dalam sistem ie memiliki hak waris dan peran penting dalam mempertahankan garis keluarga.
ADVERTISEMENT
Pemusatan kekuasaan dalam keluarga ini efektif dalam melindungi seluruh anggota keluarga, dan hal ini tercermin dalam struktur yang sama dalam pemerintahan. Pada masa ini, Jepang mengembangkan sistem kelas berlapis-lapis, dan di antara para samurai, wanita memainkan peran penting dalam sistem ie, yang mengikat keluarga melalui pernikahan untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Mereka diharapkan tidak hanya mematuhi suami mereka, tetapi juga menjadi kuat, sebagai istri prajurit, dalam mendukung suami mereka dan dalam menjalankan keluarga selama perang. Hubungan pria-wanita mulai berubah sepenuhnya pada zaman Edo karena Konfusianisme, yang merupakan filosofi resmi Keshogunan Tokugawa, memiliki pengaruh yang besar terhadap cara berpikir masyarakat.
Karena banyak aspek paternalisme dalam Konfusianisme, gagasan "pria di luar dan wanita di dalam" menjadi meluas, dan sikap ini masih lazim dalam masyarakat Jepang hari ini. Gagasan ini memiliki maksud bahwa sebagai pria diwajibkan untuk berada di luar rumah dengan bekerja dan membangun relasi yang berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan wanita diwajibkan untuk berada di rumah dan melayani keluarga dengan membesarkan anak serta melakukan pekerjaan rumah.
Tahap berikutnya dalam perubahan hubungan antara jenis kelamin dimulai pada era modern dengan dimulainya sistem pendidikan formal untuk pria dan wanita di era Meiji, ketika Jepang dengan cepat mencoba menyerap ide-ide dari Barat.
ADVERTISEMENT
Namun, pendidikan masih jauh dari setara untuk pria dan wanita, sebagian karena sekolah untuk wanita memiliki tujuan untuk menciptakan ryōsaikenbo, yang secara harfiah berarti "istri yang baik dan ibu yang bijaksana." Meskipun wanita dididik pada zaman Meiji, pelatihan mereka sebagian besar diarahkan untuk rumah tangga karena mereka diharapkan untuk mendukung suami mereka dan bertanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka.
Baru setelah Perang Dunia II, semua orang memiliki hak yang sama yang dijamin oleh konstitusi baru, tanpa memandang jenis kelamin. Selain itu, Undang-Undang Kesetaraan Kesempatan Kerja (Equal Employment Opportunity Law) diberlakukan pada tahun 1986 dengan tujuan untuk menghapuskan diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan. Posisi perempuan dalam masyarakat secara bertahap membaik, tetapi juga benar bahwa diskriminasi masih meluas meskipun ada perubahan hukum.
Hubungan antara pria dan wanita di Jepang berubah dengan cepat saat ini. Lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah daripada sebelumnya, dan ada perubahan terkait kesadaran terhadap sebuah pernikahan. Perubahan-perubahan ini dapat dilihat dari perspektif yang berbeda. Pasca Perang Dunia II pemerintahan Jepang sudah mengambil sikap untuk meminimalisir kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, sikap anak muda terhadap permasalahan seksual telah berubah. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, orang-orang secara sosial lebih bebas berteman dengan lawan jenis di usia muda dan bahkan menjalin hubungan pranikah sudah tidak terlalu dikritik di masyarakat saat ini.
Saat ini juga lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah daripada sebelumnya, dan ada perubahan besar dalam pemahaman baru saat menjalin suatu hubungan dengan serius. Masyarakat menjadi lebih hati-hati saat mempertimbangkan untuk menikah karena merasa terbebani tetapi juga sulitnya untuk kembali berkarier ketika sudah menikah. Masalah ini kiat berlanjut karena menjadi dasar anak-anak muda di Jepang menunda untuk menikah sehingga mempengaruhi demografi penduduk Jepang.