Kesigapan Pemerintah Jepang dalam Melakukan Rekonstruksi Bencana

Aisyah Putri
Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2022 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesigapan Pemerintah Jepang dalam Melakukan Rekonstruksi Bencana
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan negara yang terletak di wilayah Asia Timur dan memiliki 6.852 pulau yang menjadikan Jepang sebagai negara kepulauan. Negara Jepang memiliki banyak gunung berapi yang aktif karena posisi geografi negara Jepang menempati wilayah “Ring of Fire” yang artinya daerah yang dilalui oleh cincin api pasifik, dimana di wilayah tersebut terdapat intensitas yang tinggi pada aktivitas vulkanik dan seismik. Hal inilah yang menyebabkan negara Jepang banyak mengalami bencana alam, terutama gempa dan gunung meletus. Selain gempa dan gunung meletus, Jepang juga rawan akan bencana lain, contohnya adalah badai, banjir, dan tanah longsor. Gempa bumi berkekuatan rendah dan letusan gunung berapi sesekali terjadi mengingat Jepang terletak pada wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik. Pada gempa-gempa dengan skala besar yang terjadi di Jepang seringkali menjadi pemicu terjadinya tsunami dan tanah longsor di Jepang. Jepang juga memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga perlu diperhatikan bagaimana masyarakat setempat memilih lokasi untuk dijadikan tempat tinggal. Daerah yang curam sangat berbahaya dan rawan untuk dihuni karena memiliki resiko terjadi tanah longsor akibat gempa bumi. Oleh karena itu, pemukiman penduduk Jepang terpusat di daerah pesisir.
ADVERTISEMENT
Karena negara Jepang rentan terhadap terjadinya bencana, ada beberapa bencana besar yang telah terjadi dan memiliki dampak yang cukup besar bagi negara. Beberapa bencana besar yang pernah terjadi di negara Jepang yaitu Gempa Kanto (1927), Gempa Kobe (1995), dan Gempa Tohoku (2011). Pada bencana-bencana terdahulu dampak yang diberikan sangat besar, baik secara materi dan non materi. Sejak terjadinya bencana-bencana besar, negara Jepang selalu belajar untuk memperbaiki sistem dalam penanggulangan bencana yang berguna untuk meminimalisir kerusakan dan dampak yang ada. Contohnya pada bencana Gempa Tohoku yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, yaitu sebanyak US$ 309 miliar (setara dengan 2 triliun yen).
Pada Gempa Tohoku yang terjadi pada 11 Maret 2011 silam memiliki kekuatan besar, yaitu sebesar 9,0 SR sehingga mampu menyebabkan tsunami dengan gelombang setinggi 23 meter. Tsunami ini juga memicu adanya ledakan pada salah satu pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang juga memberi dampak yang semakin besar, terutama pada kawasan sekitar PLTN. Diberitahukan pada saat itu sekitar 18.000 orang tewas dan setengah juta warga mengungsi. Setelah terjadinya bencana tersebut, pemerintahan Jepang berusaha untuk melakukan rekonstruksi bangunan didampingi dengan upaya pemulihan jiwa para korban. Karena besarnya kerusakan yang ada, pemerintah Jepang menyatakan bahwa upaya rekonstruksi berjalan dengan lancar. Untuk mempermudah proses rekonstruksi, pemerintah Jepang membuat Badan Rekonstruksi guna mengawasi pembangunan kembali kawasan terdampak bencana hingga tahun 2031. Meskipun demikian, pemerintah Jepang mengakui bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam pemulihan jiwa para korban bencana yang tidak mencapai kemajuan seperti yang diharapkan. Namun pemerintah Jepang tetap mengingatkan warganya untuk terus saling membantu dan menguatkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Negara Jepang setidaknya mengalami gempa sebanyak 5.000 kali setiap tahunnya. Lebih dari setengahnya memiliki kekuatan yang tidak begitu besar, yaitu sekitar 3,0 hingga 3,9 SR yang membuat mayoritas gempa tersebut seringkali tidak dirasakan oleh masyarakat Jepang. Akan tetapi, ada juga gempa dengan kekuatan 5 SR atau lebih yang mengguncang kepulauan Jepang setiap tahunnya. Dengan adanya bencana-bencana ini membuat pemerintahan Jepang lebih memperhatikan bagaimana cara untuk menanggulangi dan meminimalisir dampak dari bencana yang terjadi. Salah satunya dengan cara membuat dan merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa. Selain itu, pemerintah Jepang juga memperhatikan pemeliharaan lingkungan hidup secara konsisten seperti perlindungan hutan mangrove di pesisir samudra, dan perlindungan awal tsunami dengan cara menempatkan batu-batu pemecah ombak di tepian pantai guna mengurangi gelombang untuk mengurangi gelombang tsunami.
ADVERTISEMENT
Disisi lain pemerintah Jepang sejak lama sudah membekali para warganya untuk bersiap terhadap kemungkinan terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami. Persiapan dan pelatihan tersebut bahkan sudah diberikan pada anak-anak sejak sekolah dasar. Pelatihan-pelatihan yang diberikan yaitu berupa simulasi gempa bumi di sekolah, dimana anak-anak saat berada di dalam kelas diminta untuk berlindung di bawah meja dan berpegangan pada kaki meja hingga guncangan selesai. Setelah itu, guru akan membimbing mereka untuk keluar dari gedung sekolah satu persatu melalui jalur evakuasi dan memastikan hingga semua aman dan selamat. Sementara itu, jika gempa terjadi saat murid ada di lapangan, para murid dihimbau untuk berkumpul di tengah lapangan dan menjauhi bangunan sekolah. Selain pembekalan pada anak-anak usia sekolah dasar, pemerintah Jepang juga memberitahukan peringatan dini gempa pada ponsel yang tersambung dengan internet di Jepang. Jadi sesaat sebelum terjadinya bencana, masyarakat dapat mempersiapkan diri dari bencana yang akan terjadi dan berlindung di tempat yang lebih aman. Terlebih lagi untuk gugus tugas siaga bencana supaya bisa merespon dengan cepat dan sigap guna meminimalisir korban dan dampak yang terjadi nantinya.
ADVERTISEMENT
Faktor yang paling penting dalam penanganan bencana adalah bagaimana pemerintah Jepang memiliki manajemen tanggap bencana yang sangat efektif sehingga selalu cepat dalam penanganan korban. Pemerintah Jepang kompak bersama seluruh elemen masyarakat sangat cepat dalam menangani situasi pasca bencana, pemulihan atas wilayah terdampak bencana, serta mengatasi masalah kesehatan dan kehidupan para korban yang selamat (Tanaka, 2005). Hal ini membuktikan bahwa selain pemerintah yang sigap, kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, pada saat bencana terjadi, media Jepang jarang memberikan sorotan pada dampak-dampak negatif yang ditimbulkan bencana. Media Jepang justru memperbanyak menampilkan progres-progres penanganan dan rekonstruksi pasca bencana. Ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat terdampak agar tidak berfokus pada hal-hal negatif.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, negara Indonesia sudah memiliki aplikasi yang dapat memberikan peringatan dini terjadinya gempa dan potensi-potensi yang ditimbulkan. Namun dibandingkan dengan negara Jepang, penanganan bencana di Indonesia cenderung kurang efektif dan kondusif. Terlebih lagi masih ada masyarakat yang minim edukasi bagaimana mengontrol diri agar tidak panik saat bencana dan fokus pada prosedur penyelamatan diri. Faktor lainnya yaitu Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dari negara Jepang, sehingga butuh waktu dan tenaga yang besar juga untuk menangani bencana yang terjadi. Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk serta menyesuaikan manajemen penanganan bencana yang baik, sebaiknya pemerintah Indonesia mulai belajar dari Jepang mengenai sistem penanggulangan bencana dengan cara memberikan edukasi dan pembekalan secara menyeluruh pada masyarakat, terutama yang ada di wilayah yang rawan terjadi bencana. Sehingga nantinya penanganan korban juga rekonstruksi bencana dapat lebih efektif dan masyarakat dapat lebih waspada, mengerti, dan juga sigap jika kalau bencana itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Prihatin, R. B. (2018). Masyarakat sadar bencana: pembelajaran dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 9(2), 221-239.