Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Delik Pers dalam KUHP dan UU ITE: Senjata Politik Bermata Dua
16 September 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Shabila Eka Wisra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Shabila Eka Wisra (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP UNAND)
Kebebasan pers merupakan pilar penting dalam negara demokrasi. Namun, kebebasan ini kerap terancam oleh pasal-pasal karet dalam delik pers, baik yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Alih-alih melindungi dari penyalahgunaan, pasal-pasal tersebut justru rentan dijadikan alat politik untuk membungkam kritik dan menyempitkan ruang gerak pers.
Salah satu contoh yang mencolok adalah penggunaan pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Ketidakjelasan definisi dalam pasal-pasal tersebut membuka celah bagi interpretasi subjektif dan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat publik, misalnya, dapat dengan mudah dibungkam dengan tuduhan pencemaran nama baik. Padahal, kritik merupakan elemen penting dalam kontrol sosial dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang demokratis.
Fenomena "menggugat balik" atau SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) juga marak terjadi dengan memanfaatkan pasal-pasal karet dalam delik pers. Individu atau kelompok dengan sumber daya besar, termasuk politisi, dapat menggunakan gugatan hukum untuk mengintimidasi dan membungkam jurnalis, aktivis, atau masyarakat yang menyuarakan kritik terhadap mereka. Proses hukum yang panjang dan memakan biaya seringkali sudah cukup untuk melumpuhkan gerak mereka, bahkan sebelum kasus diputuskan di pengadilan.
Padahal, pers memiliki peran vital dalam mengungkap kebenaran dan melawan korupsi. Pemberitaan yang kritis dan independen menjadi tameng bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya. Namun, ancaman jeratan hukum dapat membuat pers menjadi ompong, enggan untuk menyentuh isu-isu sensitif, dan pada akhirnya gagal dalam memenuhi fungsinya sebagai pilar demokrasi.
Sudah saatnya delik pers di Indonesia direformasi secara komprehensif. Pasal-pasal karet harus dihapus atau direvisi agar memiliki definisi yang jelas dan terukur, serta menghilangkan potensi penyalahgunaan untuk kepentingan politik. Kebebasan pers yang sejati hanya dapat terwujud jika ada jaminan perlindungan hukum yang kuat bagi insan pers dalam menjalankan tugas mulia mereka untuk keadilan dan kebenaran.