news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Konsumerisme: Manipulasi Psikologis karena Ketergantungan pada Kebutuhan Tersier

Shabira 'Ulya Noval
Mahasiswa Psikologi di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Saya suka hal berbau research dan melakukan riset pribadi.
2 Maret 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabira 'Ulya Noval tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Mengapa Orang di Zaman Sekarang Mudah Gengsi dan Konsumtif?

Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Kata boros atau hedon di telinga Anda mungkin identik dengan membuang-buang uang atau berbelanja berlebihan. Secara formal, dapat dikatakan sebagai pengeluaran uang berlebihan untuk membeli sesuatu secara berlebihan pula. Dari teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, dikembangkan tiga kebutuhan manusia berdasarkan intensitas, yaitu kebutuhan primer (utama), sekunder (kedua), dan tersier (ketiga). Primer adalah kebutuhan yang paling mendasari keberlangsungan hidup manusia karena ia merupakan kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Selain itu, sekunder adalah pasangan kebutuhan primer karena merupakan perluasan dari kebutuhan primer, seperti media hiburan (televisi, internet, rekreasi, atau liburan), jaminan kesehatan, pendidikan, memiliki kendaraan, smartphone flagship, dan lain sebagainya. Namun, bagaimana dengan kebutuhan tersier? Kebutuhan ini bermakna "mewah" atau memiliki sesuatu untuk kepuasan pribadi. Kebutuhan ini mencerminkan sebuah status sosial atau gaya hidup dan erat kaitannya dengan perilaku konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Apa itu konsumerisme?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Konsumerisme awalnya merupakan ideologi yang berfungsi melindungi konsumen, di mana konsumen memiliki kebebasan dalam menjalankan kegiatan konsumsi. Namun, seiring berkembangnya paham materialisme—yang menganggap bahwa kebahagiaan diukur dari materi atau kepemilikan—konsumerisme menjadi sebuah ancaman, tidak hanya dalam aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam aspek psikologis serta lingkungan.
Menurut Sumarwan dalam Rustini et al. (2025), pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis, di mana mereka ingin memiliki barang yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai simbol status. Hal ini mendorong keinginan untuk membeli barang-barang tersier dan melupakan kebutuhan primer. Faktor psikologis ini diperkuat oleh pernyataan Chouliaraki bahwa masyarakat modern menganut budaya konsumerisme yang mendorong pembelian barang yang tidak diperlukan sebagai bentuk pelarian emosional atau upaya untuk mengatasi kekosongan dalam diri (Ibid., 3046).
ADVERTISEMENT
Sekarang Anda mungkin merasa familiar dengan gaya hidup seperti ini. Kaum muda-mudi merupakan individu yang paling rentan dikendalikan oleh berbagai istilah produk era digital, seperti iklan, tren, influencer, paid promotion, dan aplikasi belanja online. Kerentanan ini dipicu oleh sebuah konsep pemikiran yang dicetuskan oleh psikolog Amerika, Julian B. Rotter, yang disebut locus of control. Konsep ini merujuk pada keyakinan individu mengenai apakah faktor internal (diri sendiri) atau eksternal (seperti iklan, pertemanan, dan media sosial) yang mengendalikan hidupnya.
Penelitian oleh Amirullah et al. (2024) menunjukkan bahwa “anak muda yang memiliki locus of control (LoC) internal cenderung lebih bijaksana dalam mengelola keuangan mereka. Mereka cenderung memiliki kebiasaan menabung untuk masa depan, berinvestasi, dan membuat keputusan pembelian yang lebih rasional.”
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, anak muda dengan LoC eksternal cenderung lebih impulsif. Mereka percaya bahwa orang lain dan faktor di luar diri mereka yang menentukan kehidupan mereka. Akibatnya, mereka lebih fokus pada kepuasan sesaat daripada membuat perencanaan keuangan jangka panjang karena merasa kurang termotivasi dan menganggap bahwa keberuntunganlah yang menentukan kondisi finansial mereka.
Di awal telah disebutkan tentang “memiliki smartphone flagship” dalam penjelasan mengenai kebutuhan sekunder. Mungkin tidak ada yang salah dengan memiliki smartphone berkualitas, tetapi hal ini menjadi sesuatu yang unik dalam tatanan sosial masyarakat.
Menurut Rani dalam Sirajuddin dan Nurmiati (2021), masyarakat cenderung melakukan pilihan pembelian dengan melihat apa yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Misalnya, pembelian produk Apple iPhone yang pada awalnya dilakukan oleh kalangan pebisnis atau masyarakat kelas atas yang membeli karena mengutamakan fungsi dan kualitas untuk mendukung aktivitas mereka. Namun, di sisi lain, produk tersebut juga menampilkan kesuksesan sosial dan identitas pribadi.
ADVERTISEMENT
Secara langsung maupun tidak langsung, iPhone pun menjadi sangat diminati setelah masyarakat mengesampingkan fungsinya dan lebih melihat pemakaian mereknya sebagai ajang status. Meskipun pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena berbagai alasan, seperti fungsi kamera yang memang mendukung tingkat permintaan konsumen, tetap saja produk ini menjadi permasalahan dalam asumsi sosial.
Konsumerisme akibat Apple iPhone didukung oleh fakta mengenai kesetiaan para penggemarnya. Setiap kali Apple Inc. merilis iPhone terbaru, pasti akan ada orang yang rela mengantre lama untuk menjadi yang pertama membelinya. Seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia pada perilisan iPhone 11 pada tahun 2019 lalu, penggemar Apple di Singapura, Jepang, Tiongkok, terutama di Amerika Serikat, telah membuat barisan antrean sehari sebelum unitnya resmi dijual. Hal ini juga terjadi pada perilisan iPhone-iPhone sebelumnya. Di Singapura, pembelian tidak hanya melibatkan masyarakat setempat, tetapi juga turis dari Indonesia, India, dan Vietnam.
ADVERTISEMENT
Thomas dan Wilson (Albertus, 2020) mengatakan bahwa kesetiaan para penggemar ini merupakan permainan psikologis, yaitu membuat pelanggan menilai suatu barang telah usang meskipun belum habis masa pakainya, sehingga mereka cenderung membeli produk baru terus menerus.
Dunia Konsumsi “Tipu-Tipu”
Sesuai dengan judul, dunia konsumsi adalah dunia tipu-tipu. Jika Anda pernah terburu-buru melakukan checkout pada suatu produk viral yang muncul di beranda Anda karena toko sedang menawarkan diskon besar dan gratis ongkir, padahal sebelumnya Anda tidak peduli dengan produk tersebut, maka kemungkinan besar Anda terjebak dalam trik pemasaran.
Menurut Dalal (Sirajuddin & Nurmiati, 2021), pasar sengaja menciptakan ketidakpuasan dan rasa takut tertinggal di benak calon pembeli. Mereka membuat seolah-olah tidak ada kesempatan lain bagi pembeli untuk mendapatkan produk tersebut. Contohnya, saat masyarakat panik selama masa Covid-19 pada tahun 2020 lalu, banyak dari mereka yang berbelanja melebihi kebutuhan, termasuk berbelanja online untuk mencari kesenangan di tengah masa sulit.
ADVERTISEMENT
Contoh trik lainnya adalah Anda pasti sering melihat price tag pada pakaian di mal, di mana harga “asli” dicoret dan di bawahnya dicantumkan harga “diskon”. Kenyataannya, harga di bawah itulah yang sebenarnya merupakan harga asli. Harga yang dicoret hanyalah trik untuk menarik pembeli agar membandingkan harga “sebelumnya” dengan harga yang kini ditawarkan. Teknik ini disebut anchoring.
Cara ini lebih efektif daripada sekadar mencantumkan harga asli karena membentuk pemikiran bahwa “penjual rela menurunkan harga.” Dalam kasus iPhone, Anda tentu tahu bahwa Apple Inc. membuat iPhone mereka mengalami software update ke versi terbaru, yang secara otomatis membuat iPhone lama tidak lagi kompatibel. Akibatnya, pengguna terpaksa membeli yang baru.
Inilah trik pemasaran. Masuk akal, bukan?
ADVERTISEMENT
Berkurangnya Kesadaran akan Lingkungan
Dampak buruk konsumerisme terhadap lingkungan sangat besar. Salah satu contohnya, Anda dapat menemukan sendiri video tentang limbah pakaian yang menumpuk di laut melalui media sosial. Itu adalah salah satu dampak nyata dari konsumerisme. Dalam Jurnal Hubungan Internasional (2020), berbagai permasalahan lingkungan yang timbul akibat konsumerisme dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Semakin meningkatnya konsumsi, kebutuhan akan material dan energi pun semakin meningkat.
2. Akibatnya, aktivitas eksploitasi dan ekstraksi sumber daya menjadi lebih masif, padahal sumber daya di bumi kita bersifat terbatas.
3. Obsesi manusia dalam membeli barang dan jasa menimbulkan banyak sampah dan limbah serta meningkatkan suhu bumi.
4. Pabrik-pabrik semakin banyak menghasilkan polusi, terutama di negara maju, sehingga negara-negara tersebut melakukan environmental dumping, yaitu pemindahan industri-industri pencemar lingkungan ke negara-negara berkembang.
ADVERTISEMENT
5. Akibatnya, polusi di negara maju menurun, sedangkan secara global justru meningkat.
6. Pada kasus iPhone maupun smartphone lainnya, unit tersebut membutuhkan baterai yang berasal dari mineral grafit, nikel, kobalt, dan litium. Penambangannya yang masif mencemari udara serta air di sekitarnya.
7. Salah satu kasus kekurangan air akibat tumpahan racun di Amerika Latin disebabkan oleh penambangan litium.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kurangnya Kesadaran akan Lingkungan dalam Konteks Konsumerisme
1. Masyarakat jarang memiliki kebiasaan dan tujuan sendiri untuk menjaga lingkungan (kurangnya perilaku prolingkungan).
2. Kurangnya kecerdasan spiritual yang membuat masyarakat tidak dapat berpikir secara rasional, memahami dunia, dan menggunakan kecerdasannya dalam menyikapi pola konsumsi mereka. Kecerdasan spiritual ini menjadi landasan dalam penggunaan IQ (intelligence quotient) dan EQ (emotional quotient).
ADVERTISEMENT
3. Kurangnya kesadaran dan keterikatan diri yang membentuk sikap peduli terhadap lingkungan.
4. Penguasaan lingkungan, yaitu keadaan di mana masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan yang buruk, baik secara sosial maupun ekologis, meskipun berdampak negatif terhadap fisik dan psikologis mereka.
5. Kurangnya peran pemimpin, misalnya dalam penerapan kegiatan peduli lingkungan yang dapat membentuk perilaku prolingkungan.
Referensi:
Rustini, T., Sari, D. N. I., Zahidah, D. N., & Fadhilah, S. D. H. (2025). Kondisi ketika kebutuhan sekunder dan tersier lebih diutamakan dibanding kebutuhan primer. Jurnal Pendidikan Tambusai, 9(1), 3045-3052. https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/24757
Amirulloh, M. D., Kholidi, A. A., Bahar, A., & Wahidah, S. N. (2024). Pengaruh Locus of Control dan Gaya Hidup Konsumerisme terhadap Intention to Buy pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unusida. Journal of Management and Creative Business (JMCBUS), 2(3), 187-206. https://doi.org/10.30640/jmcbus.v2i3.2777$
ADVERTISEMENT
Sirajuddin, & Nurmiati. (2021). Konsumerisme dan rasionalitas terhadap pengaruh budaya. Lamaisyir, 8(2), 17-38 . https://doi.org/http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/lamaisyir$
Albertus, Y. (2020). Konsumerisme terhadap Gawai dan Dampaknya bagi Lingkungan: Studi Kasus pada Apple Inc. Jurnal Hubungan Internasional, 4(1), 65-84. https://ejournal.unair.ac.id/AMNT/article/download/28059/14806$
Arman. (2020). Menurunnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Jurnal Geografi, 16(1), 44-55. https://osf.io/pey9r/download