Hidup Ternyata "Bukan Pasar Malam", Ulasan Novel karya Pramoedya Ananta Toer.

Shabrina Faarisah
Mahasiswa UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2022 6:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabrina Faarisah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Judul novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Foto: Canva Shabrina Faarisah
zoom-in-whitePerbesar
Judul novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Foto: Canva Shabrina Faarisah
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang sastrawan produktif sepanjangan kesusatraan Indonesia. Pramoedya sendiri sebenarnya telah menulis sejak zaman Jepang dan kemudian di golongkan kedalam sastrawan ‘Angkatan 45’ yang tetap menulis di luar angkatannya, yaitu sampai pada periode sastra ‘Generasi Horison’. Dengan demikian, tentulah banyak novel dan cerita pendeknya yang abadi sebagai karya sastra walaupun ditulis saat Pram berada di dalam penjara. Karenanya, banyak karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang revolusi Indonesia, salah satunya yaitu Novelnya yang berjudul ‘Bukan Pasar Malam’.
ADVERTISEMENT
Novel ini mengisahkan tentang tokoh aku yang memiliki ayah seorang mantan pemimpin pemerintahan gerilya yang telah banyak berperan memperjuangkan republik, namun kini harus tergeletak tak berdaya di rumah sakit karena penyakit TBC yang dideritanya. Karenanya, sang ayah meminta tokoh aku yang tinggal di Jakarta bersama istrinya untuk datang menjenguknya ke kampung halamannya di Blora.
Setelah tokoh aku dan istrinya kembali ke Blora untuk menjenguk sang ayah dan berharap kesembuhan atasnya, sesuatu yang tak terduga justru menghampiri mereka. Sang ayah yang selama ini diurus oleh adik-adiknya dan baru sempat mereka jumpai justru malah pergi untuk selamanya. Hal ini tentu membuat kesedihan yang mendalam bagi tokoh aku, keluarganya, serta orang-orang yang dahulu pernah berjuang bersama sang ayah.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan demi pertanyaan pun terlintas dalam benak mereka, “mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah mencintai seorang manusia, mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut? Mengapa kita tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam”. (Halaman 97)
Setelah membaca kilasan singkat novel Bukan Pasar Malam di atas, penulis ingin mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai sang pengarang sangat pintar dalam menggambarkan latar suasana zaman itu dan suasana kehidupan zaman Belanda serta Jepang melalui bayang-bayang dalam pikiran tokoh aku. Pelukisan rentetan peristiwa mulai dari keindahan desanya, kesusahan di zamannya, serta peperangan yang sempat melanda negeri membuat imajinasi pembaca semakin nyata. Konflik yang dipilihnya pun pasti juga membuat para pembaca terenyuh dan mudah dalam mengambil hikmah dari dalamnya karena pesan moral novel ini banyak dituliskan di dalam dialog.
ADVERTISEMENT
Maka sebagai penutup, penulis akan menyimpulkan pesan dalam novel Bukan Pasar Malam tersebut menurut pandangan penulis pribadi. Hidup memang bukan seperti pasar malam, di mana para manusia dapat datang dan pergi bersama-sama untuk sebatas bersenang-senang disana. Kita sebagai manusia tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidup kita, karena akan tiba masanya di mana kita akan terbaring tak berdaya untuk menemui Tuhan seorang diri sebagaimana kita juga dilahirkan seorang diri.