Konten dari Pengguna

Ageisme, Pelecehan terhadap Usia

Shabrina Ghea
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran
25 Desember 2021 12:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabrina Ghea tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
“Memangnya kamu membuat trobosan baru ini, berkat karya kamu atau hanya dari gagasan orang tua?”
ADVERTISEMENT
“Di usia kamu yang masih muda gini, yakin dapat memimpin? Sudahlah biarkan saja kami (orang dewasa) yang memimpin.”
Sekilas, mungkin akan terdengar seperti perkataan atau percakapan yang biasa, antara orang yang lebih tua dengan anak yang masih muda atau tergolong generasi milenial. Namun, perbincangan atau kalimat yang dilontarkan seperti di atas merujuk pada kesenjangan atau prasangka atas dasar usia seseorang. Generasi milenial di suatu tempat cenderung dianggap kurang berpengalaman, dinilai gegabah dalam mengambil keputusan, dan bergantung kepada orang tua.
Generasi milenial sering dianggap sebagai pemuda-pemuda yang akan memajukan negara, generasi yang akan meneruskan bangsa dan akan merubah dunia. Namun, sayangnya generasi ini tidak disertakan dalam pembicaraannya.
Persoalan ini dinamakan dengan Ageisme. Bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok dijuluki dengan sebutan Ageisme. Secara garis besar, ageisme merupakan cara pandang dari kualitas seseorang melalui jumlah usia mereka. Hal ini kerap kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Mirisnya, ageisme kadang dianggap hal yang biasa dan dianggap benar.
ADVERTISEMENT
Pandangan soal ageisme di Indonesia kurang jelas terlihat keburukannya. Diskriminasi perihal usia masih dianggap lumrah dan menjadi topik percakapan yang selalu mengisi kegiatan kita sehari-hari. Persoalan ini sering kita jumpai di perkantoran, seperti antara pegawai yang sudah lama di kantor dengan pegawai muda fresh graduate yang baru masuk. Pegawai lama yang sudah berpuluh-puluh tahun cenderung akan berpikir, ide yang dikeluarkan oleh pegawai fresh graduate ialah ide kreatif belaka, yang tidak mungkin akan tercapai di kantor tempatnya bekerja. Namun, jika ide kreatif tersebut berhasil, maka mereka akan berpikir bahwa ide kreatif itu juga termasuk campur tangan mereka.
Bentuk dari streotip ini diyakini bahwa mereka para individu yang “belum cukup umur” tidak pantas untuk didengar argumennya, termasuk dari isi keyakinannya. Mengapa? Karena sedemikian orang menganggap generasi muda dengan pandangan yang negatif, seperti memandang anak muda memiliki tidak mampu atas tanggung jawab dan tidak terpercaya.
ADVERTISEMENT
Penyampaian argumen dari para kaum generasi muda terkadang dilihat sebagai argumen yang belum matang dan delusi belaka, karena dinilai kosong wawasan. Padahal, jika mayoritas masyarakat tidak menilai seperti itu, maka akan banyak sekali gagasan baru yang lebih segar dan jernih di kehidupan sekarang. Apa yang akan terjadi jika ageisme dapat diselesaikan? Mungkin akan banyak politisi atau ilmuwan yang berasal dari generasi milenial.
“Memberikan perhatian dan menyayangi yang lebih muda,” Kalimat ini seringkali kita dengar dan diucapkan oleh orang tua agar mereka para kaum muda, diberikan bimbingan dan diberikan perhatian lebih. Kondisi seperti ini yang membentuk kebiasaan kita untuk ngemong atau memandang generasi muda naif, kurang ilmu dan perlu dibimbing. Sebenarnya, pandangan ini memang punya manfaat pada pendidikan anak tetapi juga memiliki bias produktivitas.
ADVERTISEMENT
Kondisi seperti di atas justru hal yang keliru, karena justru pandangan generasi muda tidak terganggu oleh “uang” dan “kepentingan pribadi” karena mereka memiliki pemahaman atas apa yang menurut mereka benar dan apa yang menurut mereka salah. Kejernihan pemikirannya tidak terganggu oleh kondisi yang bersifat material dan bermanfaat untuk jangka pendek.
Dalam ekonomi politik, demografi penduduk dibagi berdasarkan usia. Usia 15-60 tahun termasuk usia produktif. Penduduk produktif utama berkisar 25-55 tahun dan diluar itu dilihat sebagai kurang produktif (Katadata.co.id). Artinya, penduduk anak dan lansia sering dianggap sebagai angka tidak produktif dan bergantung pada anggota keluarga atau negara.
Pembagian demografi ini memang penting dalam pembangunan makro. Penduduk muda perlu disiapkan agar menjadi produktif, dan penduduk lansia sudah diperbolehkan untuk istirahat. Namun, produktivitas ekonomi bukan satu-satunya hal yang penting untuk manusia. Mengapa? Karena sebenarnya kehidupan manusia sudah berlangsung sebelum usia produktif dan akan terus berjalan setelah pensiun.
ADVERTISEMENT
Penduduk generasi muda juga memiliki kebutuhan dalam mengembangkan dan merealisasikan diri yang berbeda dari penduduk produktif. Namun, bias produktivitas mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan ini, dan memandang rendah eksistensi dari generasi muda. Pada akhirnya, cara pandang ini berujung pada tindakan diskriminatif dan tidak adil.
Agesime tentu menjadi sebuah kondisi permasalahan yang perlu diselesaikan, terutama di Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia masih mengedepankan tradisi serta adat bahwa anak muda wajib mendengar perkataan orang tua, entah perkataan itu benar atau salah. Kondisi yang demikian, berakibat anak muda lebih baik memendam atau menutupi argumen mereka sendiri. Mungkin, akan keluar di benaknya seperti “ya lebih baik dipendam, daripada nanti dimarahi”. Sehingga, ketika datang kesempatan mereka untuk menyampaikan pendapat, mereka cenderung diam dan takut untuk melontarkan argumen serta gagasan baru mereka.
ADVERTISEMENT
Ketidakpercayaan diri, tidak adanya kesempatan untuk maju dan berkembang merupakan dampak-dampak negatif yang dapat dirasakan oleh kaum generasi muda. Dengan secara terus menerus mendengar lontaran kata merendahkan atau ketidakpercayaan, dapat membuat generasi muda hanya sembunyi dibalik punggung orang tua. Oleh karena itu, generasi muda akan terus di cap sebagai generasi manja dan hanya bergantung kepada orang tua. Padahal, stigma tersebut didukung juga akibat dari ageisme itu sendiri.
Lantas, bagaimana cara menghilangkan ageisme?
Peraturan terkait anti-ageisme dalam lingkungan kerja sudah diberlakukan di negara Inggris, Amerika dan Australia. Peraturan tersebut berisi mengenai perusahaan tidak dapat memecat pekerjanya atas dasar faktor usianya dan menghapus batas usia sebagai syarat penerimaan karyawan. Undang-undang ini dapat izin untuk dilanggar apabila perusahaan memiliki argumen yang kuat. Kondisi ini tentu menjadi langkah dalam memberantas agesime, meskipun hanya berlaku dalam lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dalam dukungan peraturan dari pemerintah, langkah dalam memerangi ageisme juga dapat dilakukan dengan kampanye. Seperti memberikan pandangan yang seimbang mengenai diskriminasi umur dan dampak-dampak buruk yang diberikan oleh ageisme.
Langkah yang sederhana lainnya adalah, sebagai generasi muda harus terus membuktikan bahwa kita tidak seperti orang-orang pikirkan. Ide serta gagasan kita memang murni dari otak kreatif kita, tidak ada sangkut paut dengan orang lain. Untuk para generasi diatas milenial, coba berikan kesempatan kepada generasi muda dalam memberikan masukan untuk dapat memahami nilai, prioritas serta motivasi bagaimana kaum muda ingin diperlakukan dan bagaimana mengoptimalkan bakat para kajum untuk menjadi penerus masa depan. Karena jika kaum muda dan tua dapat saling berkomunikasi dan berkolaborasi bersama maka dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Antara kaum muda, tua dan bahkan lansia tidak akan dibentengi oleh usia.
ADVERTISEMENT