Konten dari Pengguna

Dicap Indie Karena Menggunakan Kata-Kata Puitis

Shabrina Jauza Riduansyah
Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Jaya
13 Desember 2022 16:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabrina Jauza Riduansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lebih Baik Dibilang Sok Cantik Daripada Sok Indie.
Ilustrasi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penulis
Warga Indonesia memang tidak ada habis-habisnya kalau soal mengomentari hal yang orang lain lakukan. Bahkan saat ini sedang trending di kalangan remaja kalimat cuitan “Sok Indie”. Kalimat tersebut mengandung sindiran untuk orang-orang yang menyukai lagu dengan lirik diksi yang puitis. Padahal orang yang mengerti kata-kata puitis memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi loh dibandingkan dengan orang tidak mengerti. Puitis merupakan suatu kalimat yang kata-katanya disusun dengan cermat, memiliki irama, mantra, dan rima sehingga terdengar indah dan manis, contohnya Bertaut yang menurut KBBI memiliki arti bergandengan. Sebenarnya kalimat puitis adalah kata-kata yang umum. Namun, memang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena menurut beberapa masyarakat Indonesia, menggunakan kalimat seperti itu adalah orang yang sangat baku dan serius. Tidak heran jika presentasi literasi di Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah dalam hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu.
ADVERTISEMENT

Apa Itu Indie?

Kata "Indie" sebenarnya adalah singkatan dari kata "Independent" dalam bahasa Inggris yang artinya sendiri atau mandiri. Sementara itu, kata indie juga digunakan dalam dunia musik, disebut dengan “Do it Yourself Approch” yang artinya dalam melakukan rekaman atau publishing para musisi indie mendirikan atau memproduksi label mereka sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Musik indie ini tidak seperti lagu-lagu pasaran lainnya. Pada musik ini rangkaian kata pada liriknya terdengar asing dan biasanya menggunakan kata-kata puitis yang baku dan jarang sekali kita dengar.
Namun, sekarang ini di kalangan remaja Indonesia, kata indie seolah mengalami pelebaran makna. Kata ini diidentikkan dengan seseorang yang suka mendengarkan musik-musik karya musisi indie sekaligus menyukai segala aktivitas yang berhubungan dengan alam dan langit. Seperti mendaki gunung, menikmati senja di sore hari, dan melihat hujan turun. Ada pun sebutannya bagi orang-orang yang berjiwa bebas seperti itu yaitu anak indie.
ADVERTISEMENT
Anak- anak indie pada umumnya tergolong kaum melankolis mereka terlalu mudah hanyut dalam suatu perasaan tertentu. Bahkan mereka bisa betah duduk lama-lama hanya untuk memandangi langit yang sedang turun hujan ataupun senja sambil berdiam diri. Mereka sangat menikmati momen tersebut, karena bagi mereka suasana semacam itu bisa membuat mereka merasa tenang dan meningkatkan imajinasinya. Mereka mampu mencurahkan isi kepalanya ke dalam kertas yang akan menghasilkan rangkaian kata indah.

Jadi Kurang Percaya Diri, kok bisa?

Ternyata kalimat sindiran “Sok Indie” itu berdampak negatif loh bagi beberapa orang, mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya bagaimana bisa kalimat sesingkat itu bisa membawa dampak negatif bagi orang lain. Wah! Jangan salah, justru kalimat yang seperti itu yang lebih tajam dari pisau. Pasalnya mereka yang gemar menulis puisi malah menjadi kurang percaya diri untuk mengekspresikan ide-ide yang ada didalam kepalanya. Tidak hanya yang gemar menulis puisi saja, namun yang memiliki cita-cita penjadi ahli bahasa, penyair sampai penyanyi musik indie pun bisa menjadi kurang percaya diri karena merasa takut kalau suatu saat akan dicap sok indie.
ADVERTISEMENT
Nadin Amizah musisi indie kelahiran tahun 2000, salah satu yang merasakan dampak negatif dari kalimat sindiran tersebut. Ia mendapat komentar dalam unggahan akun Twitternya pada 2021 silam yang berbunyi “Nadin Sok Indie banget anaknya”, karena Ia kerap menampilkan aksi panggungnya yang unik sebelum mulai bernyanyi seperti membaca puisi. Tidak sedikit netizen yang nyinyir dan menganggap kalau Nadin ini sok indie. Bahkan aksi baca puisinya di setiap panggung dianggap seperti sedang berceramah. Duhh! Memang sudah jadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia tidak punya karya tapi cerewet di media sosial orang yang sedang berkarya.
Tanggapan Nadin terhadap komentar tersebut awalnya tentu saja merasa sedih. Bahkan Ia sempat berhenti berpuisi di atas panggung dan membatasi diri dari akun media sosialnya untuk beberapa waktu sampai Ia merasa kondisinya sudah jauh lebih baik. “Kalau pake bahasa baku sedikit dibilang sok indie, kasian anak seumuran saya yang memang cita-citanya jadi panyair dan ahli bahasa, pada takut kena semprot tukang nyinyir. Nanti giliran generasinya ga ada seniman hebat, malu juga kalian,” cuit Nadin pada 2 Januari 2021.
ADVERTISEMENT

Rendahnya Tingkat Literasi Di Indonesia

Seperti yang sudah disampaikan di awal, orang yang memahami kalimat puitis memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi. Pasalnya mereka sudah tidak asing lagi bertemu dengan kosa kata baru, karena kebiasaan mereka suka membaca buku mereka mampu menelaah arti dari suatu kata. Lalu, apasih literasi itu? Menurut Elizabeth Sulzby “1986”, literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi seperti membaca,berbicara,menyimak dan menulis dengan cara yang beragam. Fakta pertama, menurut data UNESCO minat baca masyarakat Indonesia ini sangat memprihatinkan, yakni 0,001%, yang artinya dari 1,000 orang cuma 1 orang yang rajin membaca. Kepala Perpusnas M Syarif Bando mengatakan persoalan Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi. “Karena diklaim sebagai bangsa yang rendah budaya bacanya, maka rendah pula indeks literasinya,” ujarnya. Stigma tersebut yang mengakibatkan Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks pembangunan SDM-nya, dan rendah pula inovasinya.
ADVERTISEMENT
Fakta kedua, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, yang artinya Indonesia mendapat urutan ke-5 di dunia yang masyarakatnya memakai gadget. Bahkan lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke- 5 di dunia. Juara deh! Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
ADVERTISEMENT

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

Maka dari itu mulailah ubah kebiasaan buruk tersebut. Biasakan berkaca diri sebelum mengomentari orang lain. Jangan menjadi generasi bangsa yang kurang berkualitas terutama kalangan remaja, yang bisanya hanya mengomentari karya orang padahal dirinya sendiri tidak punya karya apa-apa. Coba saja bayangkan, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Apa kalian tidak malu dicap seperti itu oleh negara lain? Jadi, mari ubahlah dari kebiasan kecil terlebih dahulu. Seperti berhenti berkomentar negatif di media sosial apalagi mengomentari orang yang sedang berusaha menciptakan karya, lebih baik waktunya kalian pakai untuk meningkatkan kualitas diri kalian agar bisa menciptakan karya juga atau jika kalian memang tidak suka dengan karya mereka ya sudah kalian diam saja. Masih baik mereka menciptakan karya yang nantinya dapat membangun image Indonesia menjadi lebih baik, toh kalian sebagai masyarakat Indonesia juga pasti akan turut bangga kok. Sudah paham kan sampai sini? Ya kalau kalian masih melakukan kebiasaan buruk seperti itu, ya sudah… berarti kalian menunjukan sendiri kalau kualitas diri kalian memang kurang, memangnya mau?
ADVERTISEMENT