Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Susahnya Jadi Perempuan, Capek-Capek Kerja Sampai Tengah Malam di Kira Jual Diri
15 Oktober 2024 17:25 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Shafira Arinayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berkembangnya pola pikir manusia dari masa ke masa tentunya sudah jauh lebih berkembang. Adanya kesetaraan antara laki – laki dan perempuan tentunya membuat perempuan jaman sekarang dapat bekerja dan mencari penghasilannya sendiri tanpa perlu terdiskriminasi dan mengandalkan penghasilan dari laki – laki yang dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Namun, hal tersebut tidak dapat menghapus stigma masyarakat sepenuhnya mengenai pandangan buruk tentang batasan – batasan seorang perempuan dalam bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Stigma tidak muncul begitu saja melainkan karena adanya kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk karena perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah. Misalnya, perempuan tidak boleh pulang malam – malam, selain itu stigma tersebut beranggapan bahwa perempuan yang pulang larut malam akan dianggap sebagai "perempuan panggilan" atau pelacur. Pandangan buruk terhadap perempuan tersebut akan didukung jika hidup di lingkungan bertetangga.
Pernahkah kamu mengalami kejadian tidak mengenakan di lingkungan rumahmu?. Tentunya kamu akan mengalami berbagai macam kejadian dalam hidup bertetangga, tidak hanya kejadian yang berkesan melain hal tidak menengakkan pun dapat terjadi. Membicarakan orang lain merupakan bagian dari kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat Indonesia, tidak hanya pembicaraan baik yang disampaikan, melainkan beberapa hal buruk orang lain juga ikut terlontarkan, termasuk anggapan mengenai perempuan yang pulang larut malam. Tidak peduli seberapa berat hari yang ia jalani, selelah apa melewati hari itu, dan seberapa susahnya hanya untuk menghidupi dirinya dan keluarga, yang pasti tetap akan dibicarakan.
ADVERTISEMENT
Akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga jika kita sebagai perempuan terus mengklarifikasi statement tersebut mengenai bagaimana kehidupannya sebenarnya karena sebagai manusia yang hanya memiliki dua tangan tentunya tidak mampu menutup mulut orang lain, melainkan yang hanya bisa dilakukan adalah menutup telinga sendiri dan berprinsip bahwa selagi tidak merugikan orang lain dan tidak menyalahi norma yang ada bukanlah menjadi suatu masalah.
Perkembangan pola pikir manusia yang sejalan dengan perkembangan teknologi tidak menutup kemungkinan akan minimnya pengetahuan dan diskriminasi dalam bermasyarakat. Adanya stigma patriaki tersebut tidak hanya berdampak pada terbatasnya ruang gerak dan kemajuan perempuan dalam memberikan banyak kontribusi baik bagi keluarga atau lingkungan sekitarnya, melainkan dapat menciptaka ketidaksetaraan, ketegangan, dan keharmonisan dalam hubungan sosial. Perlu ada perlawanan pada stigma tersebut agar tercipta hidup yang lebih adil dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa membeda – bedakan jenis kelamin.
ADVERTISEMENT