Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Abel dan Matius (Horror Fiction)
17 Februari 2018 0:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Shafira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Abel dan Matius (Horror Fiction)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1519125363/abel_matius_vktklg.jpg)
ADVERTISEMENT
Abel dan Matius tinggal berseberangan di sebuah desa terpencil. Mereka telah bersahabat sejak kecil. Dan ya, persahabatan yang terjalin selama belasan tahun itu tumbuh menjadi perasaan saling menyayangi satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Memang, Abel dan Matius berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi kontras. Ayah Abel juragan tanah, sedangkan ayah Matius hanya buruh tani dengan penghasilan tak pasti. Namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi hubungan mereka. Setidaknya, sampai ayah Abel menyadari hubungan mereka bukan lagi sebatas teman bermain.
Selepas lulus SMA, Abel dikirim ayahnya ke Kota untuk berkuliah disana. Abel yang tidak biasa membantah perintah orangtuanya, mau tak mau menuruti kemauan ayahnya tersebut. Sementara Matius tetap tinggal di desa untuk membantu ayahnya bekerja sebagai buruh. Sehari sebelum keberangkatannya ke Kota, Matius mengajak Abel jalan-jalan keliling desa untuk yang terakhir kali, menaiki motor bebek second butut milik ayahnya. Hari itu juga, Matius menyatakan cintanya pada Abel.
ADVERTISEMENT
----
Dua bulan kemudian, beredar kabar bahwa ayah Abel memiliki rencana untuk menjodohkan putri semata wayangnya dengan putra dari kawan sesama juragannya di Kota. Hal itu telah menyebar dari mulut ke mulut, hingga sampai ke telinga Matius. Digerogoti rasa penasaran dan cemas, sore itu Matius pun memberanikan diri untuk memastikan kebenaran hal itu pada ayah Abel.
ADVERTISEMENT
“Oh, mengenai kabar itu? memang benar. Sudah sepantasnya putriku menjalani hidup dengan pria mapan yang memiliki masa depan terjamin. Matius, mulai sekarang saya minta kamu tidak menghubungi Abel lagi,” ujar ayah Abel acuh.
Matius pulang ke rumahnya dengan hati remuk redam. Menurutnya, ditolak Abel seribu kali jauh lebih baik ketimbang mendengar ucapan ayah Abel barusan. Begitu singkat, padat, namun menyakitkan.
----
Beberapa hari kemudian, Matius jatuh sakit. Kedua orangtuanya telah berupaya membawanya ke berbagai dokter, tabib, hingga dukun, mengeruk tabungan mereka selama setahun. Tapi apa daya, usaha mereka tak membuahkan hasil. Penyakit Matius kian bertambah parah. Hingga akhirnya, ia meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Jenazah Matius disemayamkan dalam peti kayu sederhana, lalu dimakamkan di halaman rumah kedua orangtuanya yang sempit. Warga desa beranggapan bahwa Matius meninggal karena patah hati. Kematian Matius membuat ayah Abel merasa cemas dan bersalah. Untuk sementara waktu, ia pun memutuskan untuk tidak memberitahu Abel mengenai kabar kematian Matius yang mendadak.
----
ADVERTISEMENT
Sementara itu di kamar kost-nya, Abel sedang berkutat menghadapi tugas dari dosen. Sesekali ia berhenti, lalu tersenyum sendiri seperti orang gila. Ia membayangkan wajah cinta pertama sekaligus kekasihnya, Matius, juga kehidupan yang mungkin nanti akan mereka jalani berdua sepulangnya ke desa tercinta. Abel bertekad untuk belajar serajin mungkin agar bisa menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, pulang ke desa, lalu menemui Matius dan menjalani hidup bahagia bersamanya. Ironisnya, ia sama sekali tidak tahu soal rencana ayahnya.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Mbak Abel, anu.. di bawah ada yang mau ketemu sama mbak,” ujar Mpok Inah, asisten rumah tangga di tempat kost Abel.
Abel langsung bergegas turun dan membuka pintu rumah kost-nya. Ia terkejut melihat seorang cowok tinggi mancung berkulit cokelat, dengan senyum khasnya dan lesung pipi yang familiar.
“MATIUS??!” Abel menubruk cowok itu, memeluknya erat-erat. “Kemana aja kamu? dua minggu nggak ada kabar?? Main kesini nggak ngabarin dulu lagi..”
“Maaf Bel, aku sengaja nggak ngabarin.. mau surprise visit biar kamu makin kangen,” Matius mengacak rambut Abel sembari mengecupnya ringan.
“Najong pede abis,” kilah Abel sembari melepas pelukannya.
“HAHA tapi bener kan? pasti kamu nggak sabar pengen cepet-cepet lulus, dapet kerjaan.. terus pulang ke kampung, abis itu nikah sama aku?” Matius menarik lengan Abel. Dingin.
ADVERTISEMENT
“Nih cowok makan apa ya? sotoy banget hari ini!” refleks, Abel melepaskan tangannya dari genggaman Matius.
“Bel, sebenarnya.. aku kesini karena ada yang mau aku omongin,” ujar Matius sembari melepas kait helm lalu meletakannya di atas jok motor butut miliknya. “Aku tau ini mendadak banget, tapi ayahmu minta aku kesini buat jemput kamu..”
Abel menaikkan alisnya.
“Hah?? Ngapain?”
“Katanya, ada hal penting yang mau dia bicarain sama kamu. Aku rasa ada sangkut pautnya sama hubungan kita, Bel.” Matius menatap mata Abel dengan serius.
Abel menelan ludah.
“Pokoknya, dia bilang kamu harus pulang malem ini,” ujar Matius sambil menyerahkan sepucuk surat.
ADVERTISEMENT
Abel membuka amplop surat itu. Benar juga rupanya, surat itu tulisan ayahnya. Semenjak tinggal di kota, Abel dan ayahnya memang rutin berkirim surat.
“Tunggu, tunggu. Aku harus izin dulu sama ibu kost, dan karena ini mendadak.. aku nggak jamin kita bisa berangkat malam ini,okay?” jawab Abel, lalu ia melangkah masuk ke rumah kostnya.
“Tunggu di dalem aja kali, Yus..” Matius mengangkat tangannya, lalu menggeleng. “Slow. Gerak cepat, Bel!”
Abel bergegas menuju kamar ibu kost, yang kebetulan tinggal di rumah itu juga. Ia langsung mengutarakan alasannya, lalu menunjukkan secarik surat yang diberikan Matius. Dan akhirnya, setelah melalui perdebatan selama beberapa menit, ibu kost memberinya izin untuk pulang. Abel balik ke kamarnya untuk berkemas, memakai baju lengan panjang, hoodie dan celana jeans, kemudian langsung beranjak menghampiri Matius yang sedang menantinya diluar. “Luar biasa. Mungkin Flash dan Quicksilver kalah cepet sama kamu,” Matius mengenakkan helmnya lagi. Abel tertawa kecil.
ADVERTISEMENT
----
Motor butut Matius bergerak melawan arah angin malam yang berhembus kencang. Angin itu menerpa wajah Abel, membuat gadis itu meringkuk kedinginan. Suara berisik dari mesin motor butut Matius mengurangi suasana mencekam jalanan yang sangat sepi malam itu.
ADVERTISEMENT
Abel melingkarkan kedua tangannya di pinggang Matius, lalu membenamkan wajah di punggungnya. Ia terperanjat. Tubuh Matius terasa dingin.
“Yus, istirahat dulu yuk disitu,” Abel mengetuk helm Matius, setengah berteriak. Ia menunjuk sebuah warteg di sisi kiri jalan. Matius mengangguk, lalu memarkir motornya di depan warteg tua itu.
Mereka berdua masuk ke warteg. Abel memesan nasi putih, mendoan, dan air mineral. Sementara Matius tidak memesan apapun. Kenyang, katanya.
“Yus..” Abel menyentuh pundak Matius sambil melahap mendoannya.
“Hmm?” Matius menoleh.
“Kamu kenapa? sakit?”
Matius menggeleng. Wajah dan bibirnya tampak sedikit pucat.
Abel meletakkan punggung tangannya di dahi Matius. Lagi-lagi dingin. “Seriusan, Yus. Daritadi badanmu dingin banget tau. Kayak es lilin,” ujar Abel. Ia melepas hoodie-nya, lalu melingkupkannya di punggung Matius.
ADVERTISEMENT
“Nggak kok, beneran. Lanjut yuk, udah malem banget. Nanti ayahmu cemas, aku yang kena marah.” Matius menarik resleting hoodie milik Abel yang oversized sembari melangkah menuju motor bututnya diikuti Abel.
Perjalanan menuju kampung halaman mereka pun berlanjut, diiringi malam yang semakin larut.
----
ADVERTISEMENT
Dua jam kemudian, mereka tiba di depan halaman rumah Abel. Matius memarkir motornya di depan pagar. Abel pun turun dan langsung memasuki halaman rumahnya dengan langkah riang. Ia tak mengira bisa pulang ke kampung halamannya secepat ini.
Sebelum mengetuk pintu rumahnya, Abel menoleh ke arah Matius yang tengah berdiri mematung di depan pagar rumahnya. Ia ingin berlari menghampiri Matius, namun tiba-tiba pintu rumahnya terbuka. Wajah ayahnya menyembul dari balik pintu.
Abel membalikkan badan, sedikit tersentak. “Ayah!! Aku kangen banget,” jeritnya sambil mendekap ayahnya erat.
Ayah Abel mengerjapkan kelopak matanya, terdiam sejenak. Ia menatap putrinya dari ujung kepala sampai kaki, lalu membelalakkan matanya. “ABEL?! Kok mendadak banget pulang malem-malem? Tumben..” ia balas memeluk putrinya. “Siapa yang nganterin?”
ADVERTISEMENT
Abel mengangkat kedua alisnya. “HAHA mulai deh, Ayah kumat pikunnya. Semalam kan Ayah sendiri yang nulis surat minta Abel buat pulang,” Abel tertawa kecil.
Kening ayahnya berkerut. “Surat?“
“Iya, surat. Bercanda aja nih, Ayah..” Abel menurunkan ransel dari punggungnya.
Tangan kirinya merogoh seisi ransel, panik. Ia berusaha menemukan gulungan surat dari ayahnya yang diberikan Matius semalam. Tapi nihil. Surat itu hilang.
“Ah, barangkali ketinggalan di warteg. Tapi.. semalam Ayah sendiri kan yang nulis surat itu? aku hafal banget kok. Itu tulisan Ayah. Lengkap dengan tanda tangan, pula. Dan Ayah menitipkan surat itu ke Matius, lalu memintanya untuk menjemputku??” Abel makin panik.
Ayah tetap diam tak bergeming. “Matius?” ujar Ayah pelan. “Ta, tadi.. nak Matius yang mengantarmu kesini?”
ADVERTISEMENT
Abel mengangguk. Ia mengacungkan jempolnya ke arah pagar, “Tuh orangnya di belaka-” Ia terhenyak. Halaman rumahnya gelap dan kosong. Padahal lima menit lalu, Matius masih menungguinya di depan pagar. Motornya pun menghilang. Aneh sekali, pikirnya.
Wajah Ayah Abel memucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Beliau pun langsung menarik tangan putri semata wayangnya masuk ke rumah.
----
ADVERTISEMENT
Abel menatap nisan kayu berbentuk salib yang teronggok di depan matanya.
Matius Gregory Santoso.
ADVERTISEMENT
Deretan huruf yang terukir di atas nisan itu membuat bulu kuduknya meremang. Semalam, Ayah Abel telah menceritakan segalanya. Perihal rencana perjodohan, kedatangan terakhir Matius di sore hari, juga perihal kematian mendadak Matius yang membuatnya merasa bersalah. Namun Abel tak sanggup mendengar keseluruhan cerita ayahnya. Hatinya terlanjur hancur berkeping-keping.
----
ADVERTISEMENT
Pagi itu, kedua orangtua Matius berencana melakukan otopsi mendadak terhadap jasad putranya. Mengetahui hal itu, Abel minta izin pada orangtua Matius untuk menyaksikan pembongkaran makam putra mereka secara langsung. Entah kenapa, sesuatu masih terasa mengganjal di pikirannya.
----
ADVERTISEMENT
Peti kayu itu muncul ke permukaan tanah secara perlahan. Orang-orang mulai berkerubung mengelilinginya. Begitu pula Abel. Namun sesaat setelah peti itu dibuka, suasana mendadak heboh.
----
ADVERTISEMENT
Tidak, tidak ada perbedaan yang mencolok dari jasad itu. Ia masih tampak seperti Matius yang dikenalnya selama belasan tahun.
Hanya saja, jasad itu mengenakan hoodie milik Abel.