Kau, Aku dan Gunung Itu

Konten dari Pengguna
24 Februari 2018 8:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shafira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
2012..
Bukan rumor tentang Kiamat yang saat itu membuatku takut. Melainkan tentang kenyataan bahwa kau tidak akan pernah berada di sisiku lagi.. selamanya.                                 
ADVERTISEMENT
----
​Pagi yang gerimis itu, masih melekat dengan baik dalam ingatanku. Pagi itu aku duduk di kamarmu, memperhatikanmu menyiapkan berbagai perlengkapan untuk “Perjalanan Mencari Jati Diri” yang kau banggakan itu. Dengan enggan, aku mencoba memintamu untuk membatalkan perjalanan itu. Akan tetapi, kau malah balik menatapku dan berkata, “Aku akan pulang tiga hari lagi. Kemudian, aku akan membantu kamu menyelesaikan film dokumenter itu. Jangan khawatir.” 
ADVERTISEMENT
Aku benci sekali pada dirimu saat itu. Dirimu yang begitu egois membuatku terlalu marah untuk bicara denganmu lagi, bahan untuk sekadar mengucapkan salam perpisahan yang terakhir.
Andai saja, aku tahu bahwa saat itu adalah saat terakhir aku melihatmu. Ingin sekali aku memutar waktu, kembali ke pagi gerimis itu. Lalu berusaha sekuat tenaga membujukmu untuk membatalkan perjalanan itu. Sayangnya, aku bukan cenayang yang bisa memperkirakan apa yang akan terjadi saat ini.​
Sehari sebelum kepergianmu ke gunung, aku ingat bahwa saat itu aku butuh bantuanmu untuk nembuat proyek film dokumenter pendek mengenai hutan Mangrove. Akan tetapi, entah kenapa sesuatu terbesit dalam benakmu. Kau bilang, kau perlu melakukan sesuatu yang jauh lebih penting.. yaitu mendaki gunung! Entah apa yang kau pikirkan saat itu. ​
ADVERTISEMENT
Hari ini, sudah 10 bulan tepatnya sejak hari kepulanganmu ke rumah, bila semuanya berjalan sesuai rencana. Bukan hanya aku dan keluargamu yang bersusah payah mencarimu ke segala penjuru, kawan. Bahkan Tim Penyelamat telah kami kerahkan untuk menemukanmu di gunung liar itu. Siang dan malam mereka berusaha keras. Bahkan, dibawah hujan deras sekalipun. 
Dimana kamu? Kenapa kamu harus pergi? Apa yang terjadi diluar sana? Mungkinkah suatu saat kamu kembali?
Begitu banyak pertanyaan yang ingin sekali kulontarkan padamu, kawan. Tapi percuma saja, tidak ada secuil pun tanda-tanda akan keberadaanmu. 
Orang-orang pun mulai berkata,“tampaknya kita harus menghentikan pencarian ini.” 
Mendengar hal itu, rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Seandainya aku bisa, mungkin aku akan mencarimu seorang diri. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang mengizinkanku untuk melakukan hal itu. Tolong beri tahu aku, kawan, apa yang sebaiknya aku lakukan?​
ADVERTISEMENT
Aku mulai tak yakin dengan apa yang mereka sebut kata hati. Mestinya, aku punya firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi padamu. Mestinya, aku membujukmu sekuat tenaga untuk membatalkan keinginanmu pergi mendaki gunung saat itu. Entahlah, aku masih merasa kesal dengan diriku kalau memikirkan hal itu.
Pasti sekarang hujan dan dingin sekali di gunung itu. Sejak awal kita berkenalan, tak pernah kuragukan keahlianmu dalam menaklukan alam. Aku yakin, kau pasti telah menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk bertahan hidup di gunung. Karena aku tahu, kau adalah ahlinya.
Namun seiring dengan bergantinya hari, minggu dan bulan, keyakinanku mulai luntur. Membayangkan kondisi suhu yang kian memarah, memikirkan bahwa suatu saat dirimu akan kehabisan persediaan makanan di suatu tempat yang tersembunyi di gunung itu, entah di lembah, atau di padang rumput.. sendirian. Hatiku hancur tiap kali aku berpikir bahwa kemungkinan besar, kau tidak akan selamat.
ADVERTISEMENT
Aku ingat semua diskusi kita. Tentang arti kehidupan, tentang beragam upaya untuk membuat hidup menjadi lebih bermakna, tentang berbagai hal  yang patut kita perjuangkan dalam hidup, dan beragam topik lain. Dari yang sangat sepele, hingga benar-benar penting. 
Seringkali, kita berbeda pendapat. Diskusi kita tentang populasi tingkat tinggi, contohnya, memicu kita dalam perdebatan cukup serius sekitar tiga tahun lalu. 
Aku ingat, dulu kau pernah menulis artikel tentang “Hak Memiliki Keturunan yang Tidak Ditoleransi” dalam catatan facebook-mu. Aku mencoba untuk memahami sesuatu yang ingin kau sampaikan dalam artikel itu. Kita pun berdiskusi panjang mengenai hal itu. 
Hingga akhirnya aku berkata padamu,“Untuk mengatasi kepadatan populasi dunia yang semakin tinggi, nampaknya aku lebih memilih untuk mengadopsi anak daripada memiliki anak sendiri.” 
ADVERTISEMENT
Kau pun langsung menimpali pendapatku,“Boleh saja mengadopsi anak, tapi kau tetap harus punya anak sendiri.” 
Tak pernah kuanggap serius perdebatan kita saat itu, kawan. Yang jelas hingga saat ini, tiap kali bayangan dirimu terlintas dalam pikiranku, susah sekali untuk menjaga kelopak mata ini agar tetap kering. ​
Aku masih berharap bahwa suatu saat nanti, kau akan ditemukan. Bahwa pada akhirnya, kau akan pulang. Tetapi, bahkan orang paling optimis di bumi ini pasti akan menyerah. Karena segala usaha yang telah kami kerahkan untuk menemukanmu, berakhir sia-sia. 
Sedikit demi sedikit, aku mencoba untuk menjadi seseorang yang berpikir logis. Dan itu tidak mudah, kawan. Hidup terasa begitu dingin dan kosong. Lebih dingin daripada angin yang menerpa wajahku di pegunungan Chamonix. Kosong, hampa. Nyaris membuatku kehilangan akal. Atau mungkin.. kau sengaja menghilang?
ADVERTISEMENT
Tidak ada jawaban. Pertanyaanku hanya kembali digemakan oleh tebing-tebing dingin yang berdiri dengan kokoh itu.
​Film dokumenterku tentang Mangrove itu hampir selesai. Dulu, kau telah berjanji untuk pulang dan membantuku menyelesaikan film itu. Saat itu aku masih punya keyakinan, bahwa kau benar-benar akan pulang. Tapi fakta adalah fakta, sayang. 
Aku akan mendedikasikan film itu untukmu. Aku akan menjaga medali yang kau berikan padaku, aku akan merawat mangrove yang kita tanam, aku akan menjaga tanaman yang kita cangkok agar tetap bertahan hidup, aku akan terus berusaha mewujudkan impian kita, aku akan menjagamu agar tetap hidup di dalam hatiku. ​
Sekarang aku duduk di kamarmu, seperti saat terakhir kali aku melihatmu sebelum kau pergi mendaki gunung. Bahkan sampai detik ini, kau belum juga kembali. Teman-temanku bilang, menangis itu sia-sia. Menangis tidak akan bisa membawamu kembali kesini. Nyatanya, aku telah menangis berhari-hari dan nampaknya itu cukup membantu. 
ADVERTISEMENT
Aku melihat-lihat koleksi bukumu, perlengkapan mendakimu, medali-medalimu, foto-fotomu, semuanya. Aku melihat sebuah buku karangan Leo Tolstoy yang berjudul Pengakuan. Aku telah membaca setengah dari buku karangan penulis Russia yang hebat itu. Buku itu berisi tentang pendapatnya mengenai proses kehidupan manusia yang kian menua, renta, hingga akhirnya meninggal.. tanpa pengharapan. Buku itu membuatku sadar, bahwa aku tidak selamanya bisa berada disampingmu di dunia. Menjadi abadi adalah sesuatu yang jelas tidak masuk akal bagi seluruh makhluk hidup. Tapi, aku tetap rindu padamu.
​Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membawamu kembali kesini. Yang bisa kulakukan hanya menyimpan semua kenangan yang kita lalui dalam hatiku, dan bersyukur pada Tuhan karena telah memberiku kesempatan untuk mengenalmu. Meskipun nampaknya, kau tak lagi berada dalam dimensi yang sama denganku saat ini. 
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, aku masih belum yakin. Apakah kau benar-benar telah berada di sisi Tuhan, atau masih berjuang untuk menemukan jati diri di gunung yang indah itu? Entahlah. Aku tidak mengerti, apa yang telah terjadi antara kau dan gunung itu. Yang aku yakin, kau telah menjadi sahabat terbaik yang akan selalu aku cintai.​
Gunung itu, terlihat sangat cerah dan damai hari ini. Aku mulai belajar untuk tersenyum tiap kali mengingatmu. Semoga kau telah menemukan apa yang selama ini kau cari. Semoga gunung itu menjadi tempat terindah untuk peristirahatan akhirmu. 
Selamat jalan, kawanku tersayang.