Konten dari Pengguna

The Annoying Neighbor (Horror Fiction)

24 Februari 2018 8:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shafira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The Annoying Neighbor (Horror Fiction)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Masuk perguruan tinggi negeri favorit merupakan suatu pencapaian yang membanggakan untukku. Terlebih, diterima di jurusan yang telah kuidam-idamkan sejak aku baru mengenal angka dan huruf. Ya, meskipun jarak dari Universitas ke rumahku terbilang sangat jauh. Oleh karena itu, mau tak mau aku terpaksa nge-kost. ​
ADVERTISEMENT
Mencari tempat kost yang nyaman dan murah ternyata sangat sulit. Namun untungnya, salah satu kerabatku memberiku informasi bahwa beliau memiliki sebuah rumah susun yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Beliau pun menyarankan agar aku tinggal disana untuk sementara. ​
Rumah susun itu memiliki lima lantai sementara tiga lantai pertamanya sudah full, sehingga aku mendapat ruangan di lantai empat. Ruangan tempatku tinggal memiliki satu kamar, satu dapur sederhana, dan ruang tamu. Memang secara keseluruhan tidak begitu besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung diriku selama enam semester.
​Meskipun sederhana, ternyata ruangan yang aku tempati ini sangat nyaman. Tidak ada hawa lain atau firasat aneh yang sekalipun muncul dalam benakku. Lantai empat ini sepi sekali, tapi aku tidak peduli. Toh dengan suasana sepi begini, aku bisa lebih fokus mengerjakan tugasku.
ADVERTISEMENT
​Tiga bulan pertama kuliahku berjalan lancar tanpa gangguan. Selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampus, sehingga biasanya begitu sampai di tempat kost aku sudah keburu capek dan langsung tidur. Hingga suatu malam, tugas makalah dari dosen memaksaku untuk begadang semalaman.
ADVERTISEMENT
Bugh.. bug.. bugh..
​Sebuah suara membuyarkan konsetrasiku yang sedang asyik berkutat dengan laptop di hadapanku. Aku bergidik. Sepertinya suara itu terdengar dari atas. Aku pun terdiam dan menajamkan pendengaranku.
Bugh.. bugh.. bugh..
Suara itu lagi. Kedengarannya seperti seseorang yang sedang loncat-loncatan di lantai kamar yang posisinya tepat berada diatas kamarku. Ah, mungkin ini ulah anaknya tetangga yang bandel, pikirku. Aku berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada tugasku. Namun sejam kemudian, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Aku tetap berusaha mengabaikannya dan beranjak tidur.
ADVERTISEMENT
Pada hari-hari berikutnya, suara itu masih tetap muncul. Sudah berhari-hari pula aku berusaha mengabaikannya, namun lama-lama aku merasa terganggu. Belakangan ini, suara berisik itu bahkan disertai isak tangis perempuan yang membuatku merinding. Terkadang isak tangis itu berubah menjadi raungan. Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya pada tetangga sebelah.
​Jarum jam telah menunjukkan pukul 21.30. Aku mengetuk pintu rumah tetanggaku dengan perlahan dan hati-hati. Tak lama, seorang wanita paruh baya membukanya.        
Wajahnya yang dipenuhi keriput dengan rambut awut-awutan, tampak menyeramkan dan membuatku sedikit terperanjat. Namun rasa takut itu buyar saat beliau tersenyum sembari menyapaku dengan hangat. Kemudian beliau menyuruhku masuk, lalu kami mengobrol di ruang tamu. Ternyata beliau sangat ramah, ia bahkan memberiku minuman dan berbagai kue kering buatannya. Setelah berbasa-basi selama setengah jam, aku pun teringat akan tujuan utamaku. Tak segan aku langsung bertanya mengenai tetangga di lantai atas. ​
ADVERTISEMENT
Mendengar pertanyaanku, wajahnya mendadak pucat pasi. Beliau terdiam. Ekskpresi wajahnya membuat jantungku berdetak tidak keruan.
​“Sebenarnya, lantai lima itu kosong. Suara yang kau dengar itu.. itu pasti Elena..”
​Keningku berkerut. Baru membuka mulut, beliau menambahkan.
​“Elena itu putriku. Ia berbeda dengan gadis pada umumnya.. ia spesial. Terlalu banyak bergerak. Agak berisik dan suka memberontak. Banyak tetangga yang merasa terganggu akibat ulahnya. Dia menderita keterbelakangan mental, tapi dia tetaplah putriku yang paling kusayang.. satu-satunya. Hingga suatu malam, seseorang membawanya ke tempat itu.. ia lalu mengikat Elena ke kursi dan menutup mulutnya dengan lakban untuk mencegahnya berteriak. Lalu ia meninggalkan Elena disana, berhari-hari. Sampai ia mati kelaparan..” ​
“Suara yang kau dengar itu berasal dari Elena. Sebelum wafat, ia sempat berusaha mencari pertolongan. Tubuhnya tidak berdaya karena diikat, jadi ia hanya menghentak-hentakkan kursinya ke lantai. Mungkin, ia berpikir bahwa hal itu dapat menarik perhatian para tetangga untuk menolongnya. Namun pada akhirnya, semua usaha itu sia-sia..”
ADVERTISEMENT
​Lagi-lagi, wanita itu terdiam. Tatapannya kosong. Seketika itu pula lututku lemas. Lidahku kelu, masih tidak percaya dengan pengakuannya barusan.        
“Maaf nek..” aku beranjak dari tempat dudukku, lalu pamit untuk pulang. Namun ia masih terdiam di tempat duduknya, sama sekali tak menggubrisku.      
Mengingat usianya yang sangat lanjut, aku masih berharap bahwa pengakuan wanita tadi merupakan imajinasinya. Akan tetapi, tetap saja..      
Bugh.. bugh.. bugh..      
Suara itu lagi. Tak luput dari tangis sesengukan dan raungan seorang perempuan. Malam itu, aku tak bisa tidur.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, pulang kuliah aku berniat untuk menemui wanita itu lagi. Aku masih penasaran dengan penjelasannya semalam. Aku mengetuk pintu kamarnya dengan pelan, sembari menenteng sekantung plastik makanan dan buah-buahan untuknya. Belum ada jawaban. Mungkin sedang tidur, pikirku. Aku pun mengurungkan niatku, lalu membalikkan badan. Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundakku.
“Mbak, ngapain malem-malem disini?” seorang cleaning service menatapku dengan raut wajah bingung. Tangannya memegang sebuah gagang pel beserta embernya.
​“Ehm, anu.. mau main sama tetangga mbak, tapi sepertinya dia udah tidur..” jawabku.
​“Tetangga? Kayaknya dari tiga bulan yang lalu mbak tinggal sendirian deh di lantai empat ini,” timpal cleaning service itu lagi.
​Aku melotot. “Hah? maksudnya?! Mbak jangan asal ngomong deh!”
ADVERTISEMENT
​“Saya serius! lantai empat dan lantai lima ini kosong sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak peristiwa perampokan itu..” sontak cleaning service itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Eh maaf mbak!! keceplosan deh.”
​Keningku berkerut. Cleaning service itu sempat beberapa kali menolak saat aku memintanya untuk menceritakan peristiwa itu. Tapi akhirnya, setelah beberapa kali memaksa, dia menyerah juga.
​“Sepuluh tahun yang lalu, sekawanan perampok menyelinap masuk ke kamar milik seorang wanita tua beserta putrinya, Elena, yang terletak di lantai lima ini. Namun kegaduhan mereka membuat Elena terbangun. Ia lalu berteriak membangunkan ibunya, tapi sebelum ibunya terbangun, salah satu perampok meringkus Elena dan menariknya keluar. Ia lalu diperkosa disana.. Elena yang menderita keterbelakangan mental jelas tidak bisa mengelak. Namun Elena tetap berusaha memberontak dan meracau tak keruan, hingga akhirnya para perampok itu mengikat tubuh Elena ke sebuah kursi lalu meletakkannya di sudut ruangan. Elena panik dan terus meronta. Tiba-tiba ia melihat ibunya berlari menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Tangan ibunya berusaha menggapai tubuh Elena untuk menyelamatkannya, tapi kemudian sebuah peluru menembus kepala ibunya.. beliau pun wafat seketika. Ternyata para perampok itu telah menghabisi nyawa ibunya. Setelah para perampok itu selesai menjalankan aksinya mereka meninggalkan Elena disana dengan mayat ibunya, sendirian. Berhari-hari, hingga akhirnya ia mati kelaparan..”
ADVERTISEMENT
​Lagi-lagi lututku lemas.
​“Oh ya, para perampok sialan itu juga membunuh banyak karyawan dan penduduk rumah susun,” ujar cleaning service itu sembari membalikkan badannya. “Contohnya ini.”​       
Sebilah pisau menancap di belakang lehernya yang berlumuran darah.