Pandemi dan Titik Balik

Shahra Putri
Mahasiswi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta yang menyukai menulis, fotografi, dan desain.
Konten dari Pengguna
10 Juli 2021 21:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shahra Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Royan, lelaki keturunan Arab yang tinggal di Bogor. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Royan, lelaki keturunan Arab yang tinggal di Bogor. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Kalimat itu menggambarkan kehidupan Royan, lelaki kelahiran tahun 2001 yang menjalani keseharian di rumah. Ya, pandemi memaksa semua orang untuk tetap tinggal dan melakukan segala aktivitas di dalam ruangan, tak terkecuali Royan.
ADVERTISEMENT
Termasuk peristiwa tidak mengenakkan di masa-masa sekolahnya dahulu. Semua bagai kaset usang yang berputar kembali di benaknya. “Saya mulai mengenal diri sendiri sejak pandemi, karena sebagian besar waktu di rumah, jadi banyak hal juga yang saya pikirkan, termasuk menyelesaikan luka lama,” ucap lelaki keturunan Arab itu.
Royan menatap layar persegi di depannya, dengan mantap mulai menceritakan alur kaset yang usang. “Saya ... pernah di-bully”. Sebelum melanjutkan, ia memutar matanya, mencoba mengingat.
Semua berawal sejak sekolah dasar. Royan, walaupun memiliki wajah yang kearab-araban, merupakan orang asli Bogor, tempat tinggalnya dari lahir, hingga kini. Namun, hal itu tidak membuat Royan ‘sama’ di mata orang-orang, khususnya teman sekolahnya. Royan menerima banyak cemoohan, perilaku kasar, hingga dijauhi orang hanya karena fisik, suara, dan cara jalan yang berbeda. Terlebih lagi, Royan memiliki sifat feminin yang membuat ia dijauhi teman sebayanya.
ADVERTISEMENT
“Di kampung saya, kebanyakan stereotip lelaki harus bisa bermain bola, bergabung dengan cowok-cowok, sedangkan saya tidak seperti itu, jadi mereka memusuhi,” sambung Royan. Bentuk perundungan yang diterima Royan, bukan hanya verbal, tapi juga nonverbal. Royan mengaku pernah dipukuli ketika sedang bercanda. Perilaku itu sudah didapatnya dari sekolah dasar. Royan yang masih polos, hanya bisa menangis.
Tentu saja, Royan bukan satu-satunya yang pernah mengalami perundungan semacam itu. Laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2018, terdapat 41 persen dari anak 15 tahun di Indonesia yang mengalami perundungan di sekolah beberapa kali dalam sebulan. Angka yang tinggi untuk kasus bullying anak di bawah umur. Peran orang dewasa dan guru dibutuhkan di sekolah untuk mencegah kasus itu.
ADVERTISEMENT
Saat mengalami perundungan, tidak ada yang menolong Royan, teman-temannya ikut menjauhi, bahkan guru. Kejadian tersebut berulang hingga ia di bangku sekolah menengah pertama. Royan yang sudah terbiasa bungkam, mulai menunjukkan perlawanan. Tapi semua sia-sia, Royan tetap berada di posisi lemah.
Suatu ketika saat pelajaran olahraga di bangku sekolah menengah pertama, Royan sedang berbincang dengan teman-teman perempuannya. Merasa aneh, teman-teman lekaki Royan datang menghampiri dan langsung mengatainya dengan perkataan tidak mengenakkan. Royan hanya terdiam, sambil melihat guru olahraga yang berada tidak jauh dengannya. “Saya menatap guru olahraga, berharap dia menolong saya, tapi ternyata dia tidak acuh.”
Rasa tertekan pada dirinya, tumbuh menjadi bentuk pelampiasan. Royan mulai merundung orang lain yang lebih lemah dibanding dirinya. Royan tahu itu salah, dan menyesali perbuatannya. Namun, apa boleh buat, hanya dengan cara itu ia bisa melampiaskan rasa kesal, tertekan, dan frustrasi. “Saya pernah baca, ada seorang psikolog— entah saya lupa namanya. Dia berkata, orang yang sering mengalami perundungan, cenderung melakukan perundungan juga ke orang lain karena tidak bisa melampiaskan kekesalannya,” jelas Royan meneruskan ceritanya.
ADVERTISEMENT
Buka hanya perasaan tertekan, Royan mulai membenci dirinya dan merasa jijik. Pernah, di bangku sekolah menengah pertama, ada teman lelakinya yang menurut Royan juga menunjukkan sisi feminin, ikut mengalami perundungan. Royan merasa melihat bayangan diri dari temannya, sehingga ia merasa jijik. Bedanya, Royan sama sekali tidak memiliki support system, sedangkan temannya punya, sehingga ia berani melawan … dan Royan tetap diam.
Meski sudah terjadi bertahun-tahun ke belakang, perasaan trauma tetap ada. Ibarat menggulung bola salju, perasaan Royan yang dipendam, semakin hari semakin besar diikuti perasaan negatif lain. Royan menutup diri, merasa takut berada di keramaian, menjadi antisosial, depresi, dan frustrasi yang tak kunjung usai. Terlebih lagi, Royan susah berteman dengan lelaki, ia merasa sulit menjalin komunikasi, merasa canggung memulai topik pembicaraan. Berbeda dengan berteman dengan perempuan, yang ia rasa, lebih mudah.
ADVERTISEMENT
“Di pandemi ini banyak yang saya rasakan. Sampai di titik di mana setiap saya berdiri, semuanya teringat. Saya pikir, hal ini tidak bisa dibiarkan lama-lama.” Royan memutuskan untuk konsultasi masalah yang ia hadapi ke psikolog. Royan rasa itu salah satu langkah awal mengurangi ‘beban’ di pundaknya.
Selain berkonsultasi ke psikolog, Royan juga mulai bercerita ke sahabat—yang baru ia temui di sekolah menengah atas. Setelah sekian lama, akhirnya ada yang mendengarkan kisahnya. Kini, semua mulai membaik, perasaan menerima, memaafkan, dan tampil sebagai orang baru, Royan rasakan. Hanya saja, satu hal, Royan belum cerita masalah yang ia hadapi, ke keluarganya. Royan butuh waktu lebih banyak merangkai kata-kata dan menyiapkan mental, untuk terbuka dengan keluarga, khususnya Ibunya.
Buku #88 Love Live karangan Diana Rikasari merupakan buku kesukaan Royan. Foto: Favim.com
Masa lalu, jelas hanya masa lalu, sudah berlalu, dan tak perlu diungkit melulu. Royan banyak berubah, buku tentang psikologi yang ia baca, berjudul #88 Love Live karya penulis Diana Rikasari, membantunya untuk menerima kehidupan. Buku yang berisi kata-kata mutiara dan motivasi dalam percintaan dan kehidupan itu, sering membuatnya termenung dan menangis. Salah satu kata-kata yang sering Royan ingat adalah “Be brave enough to ask for help” yang berarti, beranikan diri untuk meminta pertolongan.
ADVERTISEMENT
Jika pun, diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, Royan tidak mau. “Ini sudah menjadi bagian dari cerita saya, jadi diterima saja,” ucap Royan. Kebanyakan, masyarakat kita koar-koar untuk "stop bullying", namun kenyataannya mereka sama sekali tidak peduli.
Kelak, Royan berharap bisa membuat sebuah grup untuk membahas soal bullying. Bagaimana berjuang bersama dan mengatasi hal itu. Mereka yang hanya bisa diam, perlu diberi ‘tangan’ untuk terus maju.
Royan juga menginginkan sistem pendidikan di Indonesia bisa dibenahi. Tenaga pendidik harus mengayomi dan mengajari anak didiknya arti perbedaan dalam masyarakat, bukan berarti minoritas bisa ditindas. Terlebih lagi, data dari Indonesia.go.id menunjukkan Indonesia memiliki 1.340 suku.
“Kuncinya ada di pendidikan karakter,” sambung Royan. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pun, telah menetapkan lima kebijakan untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia, prioritas utama ada di pendidikan karakter dan pengamalan pancasila. Sekiranya itu menjadi gerbang awal untuk membenahi sistem pendidikan.
ADVERTISEMENT
(Shahra Putri Handayani/Politeknik Negeri Jakarta)