Konten dari Pengguna

Agama, Spiritualitas, dan Humanitas

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
11 Mei 2022 5:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi salat Id atau Salat Idul Fitri di masjid atau lapangan. Foto: Irham Ghani Rizki/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi salat Id atau Salat Idul Fitri di masjid atau lapangan. Foto: Irham Ghani Rizki/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Imam Shamsi Ali*
Senin malam, 9 Mei 2022, saya mendapat kehormatan menyampaikan ceramah kunci (keynote speech) pada acara pertemuan interfaith tahunan dan pemberian penghargaan kepada beberapa tokoh agama di Florida US. Acara ini diadakan dengan kolaborasi antara Interfaith Center Northeast Florida dan University of North Florida.
ADVERTISEMENT
Tema yang diusung adalah “Our Common Humanity: together we build a better world”. Intinya kira-kira menenkankan bahwa basis koneksi antara manusia itu ada pada kemanusiaan itu. Dan atas dasar kemanusiaan itu dengan segala perbedaannya manusia bisa bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik.
Salah satu poin penting dari presentasi saya adalah menekankan kembali urgensi memahami makna “insaniat” atau kemanusiaan manusia. Rujukan saya dalam mengelaborasi poin ini adalah surah Al-Hujurat ayat 13.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kalian dari seorang pria (Adam) dan seorang wanita (Hawa) dan menjadikan kalian berbagai bangsa dan suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari makna terpenting dari sekian banyak makna (pelajaran) yang saya sampaikan dari ayat ini adalah makna “kemanusiaan” (insaniat). Seruan Allah “wahai manusia” pada ayat ini sejatinya mengingatkan kita akan sebuah hakikat terpenting tentang hidup dan esensi relasi antar manusia.
Seruan kemanusiaan ini merupakan penekanan akan realita manusia sesungguhnya. Bahwa manusia itu bukan pada fisiknya dan afiliasinya. Bukan bentuk tubuhnya atau warna kulitnya. Tapi esensi manusia ada pada apa yang disebut “insaniat” (kemanusiaan).
Kemanusiaan ini pulalah sejatinya yang menjadi dasar koneksi atau relasi antar sesama manusia. Sebab “insaniat” inilah yang menjadi “common ground” (pijakan bersama) yang tidak diperselisihkan. Manusia secara warna kulit, bahasa, ras dan etnis, bahkan keyakinan (faith) boleh berbeda. Perbedaan itu bahkan menjadi bagian dari sunnatullah. Tapi “insaniat” tidak akan pernah berubah. Sehingga ikatan terkuat antar manusia itu ada pada kemanusiaannya.
ADVERTISEMENT
Jika kemanusiaan (insaniat) ini dipahami secara agama maka sesungguhnya itulah nilai “spiritulitas” (ruhiyah). Sehingga pernah saya sampaikan bahwa manusia itu terdefinisikan sebagai “wujud spiritualitas yang bertengger pada eksistensi fisikalnya” (spiritual being in a physical body).
Berdasarkan pemahaman yang demikian sejatinya interfaith itu dapat terbangun. Dengan kata lain, agama-agama yang bersifat pertikular (masing-masing dengan keunikannya) itu memang plural (berbeda-beda). Tapi semua agama-agama itu memilki ikatan universal tadi (spiritualitas).
Dengan demikian apapun keyakinan atau agama seseorang, terlepas dari pemahaman partikular keagamaannya, memiliki ikatan dengan spiritulitas yang bersifat universal tadi. Sehingga perbedaan agama-agama tidak seharusnya menjadikan manusia saling terpecah, apalagi saling memusuhi dan berperang.
Masalah kebenaran pada masing-masing agama yang bersifat partikular (unik/khas) itu menjadi hak masing-masing pemeluk agama. Dalam bahasa agama Islam: “lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
ADVERTISEMENT
Pada tataran ini masing-masing pemeluk agama meyakini agamanya sebagai kebenaran. Tapi keyakinan ini tidak menafikan adanya aspek universal (spiritulitas) tadi. Sehingga keyakinan kebenaran pada masing-masing agama tidak harus menjadi alasan untuk saling berpecah, apalagi bermusuhan dan berperang.
Di sinilah keunikan Islam. Di satu sisi mengajarkan kebenaran mutlak itu (Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam). Tapi pada saat yang sama merangkul keragaman (tidak menafikan adanya yang lain). Bahwa secara partikular (khusus) Islam adalah kebenaran. Tapi merujuk kepada “common ground” tadi (insaniat atau spiritulitas) manusia bisa bersama-sama membangun dunia ini menjadi kediaman yang indah untuk semua manusia.
Itulah salah satu poin yang saya sampaikan pada pertemuan tahunan interfaith kemarin malam di Florida yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama, akademisi, dan beberapa pejabat pemerintahan setempat.
ADVERTISEMENT
Tak lupa di awal presentasi saya menyampaikan candaan bahwa saya adalah “a proud New Yorker”. Kebanggaan saya sebagai orang New York karena kenyataan bahwa New York adalah “a bridges city” (kota jembatan). Ketika ada yang berusaha membangun dinding (walls) warga New York justru membangun jembatan. Dan mereka yang membangun dinding tidak akan betah tinggal di kota New York.
Candaan ini sebenarnya sindiran saya kepada Donald Trump yang tidak saja memang membangun dinding di perbatasan US-Meksiko. Tapi sikapnya yang menjadikan warga Amerika terpolarisasikan. Perpecahan warga berdasarkan ras dan warna kulit, hingga ke pemeluk agama-agama sangat terasa.
Awalnya saya khawatir jika masyarakat Florida banyak pendukung Trump. Ternyata yang hadir nampak menikmati sindiran itu. Mereka pun tertawa, paham dengan maksud saya….
ADVERTISEMENT
Udara Jacksonville-NYC, 10 Mei 2022
* Presiden Nusantara Foundation