Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cerita Sedih di Sore Hari
17 Mei 2023 8:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hillside Avenue di Jamaica Queens adalah sebuah jalan utama yang cukup masyhur, khususnya di kalangan masyarakat Asia Selatan yang juga dikenal dengan Komunitas IPB (Indian, Pakistani, Bangladesh).
ADVERTISEMENT
Di jalan inilah tumbuh subur dan berkembang bisnis-bisnis yang dimiliki oleh Komunitas Muslim. Dari toko-toko pakaian Muslimah, restoran hingga ke mini market bahan-bahan makanan halal (halal meat, dan lain-lain).
Sekitar 1.5 blok dari jalan ini terletak Masjid Al-Mamoor atau yang lebih dikenal dengan Jamaica Muslim Center (JMC). JMC adalah salah satu masjid dengan Komunitas terbesar di kota New York.
Salat Jumat misalnya yang dilakukan dua kali, penuh dengan jemaah yang tidak kurang dari 2000 sekali putaran. Lebaran terbesar menurut estimasi sebagian orang adalah lebaran yang diorganisir oleh Jamaica Muslim Center.
Sebagai Imam (Community leader) di Komunitas ini, saya sekali-sekali berkeliling menyapa anggota komunitas atau jemaah Jamaica Muslim Center. Biasanya saya lakukan itu pada sore hari menjelang Salat Maghrib. Seringkali sambil menikmati segelas “chay” (Indian masala) dan samoza.
ADVERTISEMENT
Di sebuah sore hari itulah, saya sedang duduk di sebuah “sweet cafe” (kedai kue-kue manis) sambil menikmati pesanan chay dan samboza. Tiba-tiba tanpa permisi seorang pria tua, dengan janggut putih yang agak kusut, wajah dan dahi yang nampak berkeriput, bahkan matanya seperti sedang terdampak alergi musim semi (merah) duduk di kursi depan saya.
“Kiya munasye?” sapanya dalam bahasa Bangladesh, sambil mengulurkan tangannya ke arah saya untuk jabat tangan.
Sambil menjabat tangannya saya jawab: “baluasyi”.
Beliau rupanya menyangka jika saya orang Bangladesh. Sudah sedemikian lama menjadi makmum, sering mendengarkan khotbah dan ceramah-ceramah saya. Tapi baru kali ini beliau berkesempatan menyapa langsung. Sehingga setelah sapaan di atas, beliau langsung berbicara dalam bahasa Bangladesh ke saya. Saya langsung respons: “i am sorry but i am not a Bengali” (Maaf saya bukan orang Bangladesh).
ADVERTISEMENT
Saya memang telah lama menjadi Direktur sekaligus Imam di Komunitas ini.
Lebih 70 persen jemaahnya memang berlatar belakang Bangladesh. Sayang saya tidak terlalu terdorong untuk mempelajari bahasa mereka. Maka walaupun sejak tahun 2005 saya telah bersama mereka saya hanya mengerti beberapa kata, seperti “kiya munasyi” (apa kabar) dan “baluasyi” (saya baik).
Beliau pun dengan bahasa Inggris yang sangat terbatas mengenalkan diri sebagai Muhammad Rehman. Dan menurutnya ingin menyampaikan sesuatu kepada saya, sekaligus minta didoakan. Satu hal yang menjadi ciri khas warga Bangladesh adalah cukup percaya (trust) dan hormat (respek) kepada ulamanya.
Beliau menyampaikan bahwa dia telah tinggal di negara ini (Amerika) sekitar 15 tahun. Sekarang umurnya Sudah 73 tahun. Sebelum tinggal di Amerika beliau pernah tinggal dan kerja di Riyadh, Saudi Arabia. Di Saudi Arabia beliau bekerja sebagai penjaga rumah keluarga Saudi, yang menurutnya sangat kaya tapi baik.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mengenalkan diri bahwa saya juga pernah tinggal di Saudi, beliau mengubah bahasanya dari Inggris ke bahasa Arab yang juga sangat tertatih-tatih. Dengan mata yang nampak merah, entah karena alergi atau karena kurang tidur, beliau menyampaikan pengalaman pahit yang sedang dialaminya.
Muhammad Rehman adalah seorang suami dan ayah dari 6 orang anak. Ketika bekerja di Saudi anak istrinya ditinggal di Bangladesh. Hingga sekitar 16 tahun lalu dia mendapatkan green card melalui sistem lottery. Maka keluarga sepakat untuk pindah ke US untuk mengadu nasib di kepulauan impian (land of dream) ini.
Awalnya biasa-biasa saja. Dengan sisa-sisa modal yang ada MR (Muhammad Rehman) menyewa apartemen dua kamar di Brooklyn. Dengan 6 anak tentu yang sudah dewasa, apartemen itu cukup padat. Anak-anaknya yang pria memilih tidur di kamar tamu (living room).
ADVERTISEMENT
Hari-hari pun berlalu dan anak-anak masih taat beragama. Mereka rajin seolah di sekolah umum. Mereka masih ngaji dan salat. Hingga semua selesai SMA. Bahkan dua di antara anak-anaknya selesai college. Saat itulah terjadi perubahan yang drastis. Seorang anaknya jadi polisi. Satu lagi kerja dengan imigrasi di bandara. Dua orang bahkan menjadi farmasis. Dua lainnya tidak disebutkan apa kerjaannya.
Sejak anak-anak pada bekerja, sang ayah (MR) menjadi gelisah. Anak-anak yang tadinya masih salat, kini tidak mau lagi jika diingatkan untuk salat. Bahkan dengan terang-terangan menyampaikan kepada ayahnya: “jangan bersikap kampungan. Kita Sudah tinggal di New York”.
Yang paling menyedihkan lagi, beberapa waktu kemudian istrinya ternyata ikut terpengaruh. Bahkan setiap kali MR berbicara kepada istrinya tentang kegelisahannya, sang isteri menjawab hal yang sama: “kita Sekarang bukan lagi di Bangladesh. Tidak usah terlalu peduli dengan hal-hal itu (salat dan agama).”.
ADVERTISEMENT
Berbulan-bulan, bahkan bertahun, MR hanya bisa berdoa dan menangis. Hingga tahun lalu beliau kehilangan sabarnya dan meninggalkan rumahnya. Empat dari anak-anaknya telah duluan keluar dari apartemen itu. Sementara MR hanya bekerja sebagai penjaga grocery (toko kecil) milik warga Bangladesh dengan gaji minimum.
Yang paling menyedihkan adalah ketika meninggalkan apartemen itu sang isteri justru meminta cerai. Maka di penghujung usianya itu ayah dan Ibu dari 6 anak itu juga resmi bercerai. Isteri tinggal bersama salah seorang anaknya. Sementara sang ayah saat ini menyewa sebuah kamar di rumah seorang warga Bangladesh di Jamaica Queens.
Sore itu saya menelusuri Hillside Avenue untuk menyapa sekaligus mengekspresikan dukungan kami kepada jemaah (komunitas). Tapi dengan cerita ini kami bagaikan disambar petir. Seolah ada beban berat yang yang terjatuh dari langit dan menimpa kami. Ada beban dan tanggung jawab moral untuk mencari solusi dari realita yang cukup mengiris hati itu.
ADVERTISEMENT
Sambil menjabat tangannya saya permisi meninggalkan menuju mesjid. Hanya satu pesan: “jangan berhenti doakan anak-anaknya. Semoga Allah memberikan hidayahNya sehingga kembali menjadi anak-anak yang baik dan saleh”. Beliau mengangguk seraya minta: “doakan saya. Semoga saya dikuatkan”.
America, for many is the land of dreams. Walau mimpi itu tidak selamanya manis dan indah. Justru bisa berubah menjadi “nightmare” (mimpi buruk) bagi sebagian imigran.
Semoga Allah menjaga kita semua!