Konten dari Pengguna

Esensi Puasa Itu Menahan (2)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
7 Mei 2019 16:55 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi makanan saat puasa. Foto: Dok. Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makanan saat puasa. Foto: Dok. Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya definisi puasa secara fikih sangat sederhana. Dalam buku-buku fikih, kita menemukan definisi itu sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
“Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri, serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari karena Allah Swt”.
Dari definisi itu, dipahami bahwa substansi dasar puasa adalah “menahan”. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut “al-imsaak” inilah yang menjadi essendo dari puasa.
Dalam Alquran misalnya, menahan diri dari berbicara juga diistilahkan “shoum”. Seperti yang disebutkan dalam Alquran pada kisah Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan Isa alaihissalam.
Inni nadzartu lirRahmani shouma" yang artinya "sesungguhnya Aku telah berjanji atau bernazar kepada Allah untuk menahan diri (shaoum)”. Makna menahan diri di sini adalah menahan diri dari berbicara.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menasehatkan agar di saat seseorang diajak bertengkar atau berkelahi hendaknya berkata: saya berpuasa (inni shoo-im). Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, jelaslah bahwa intisari dari puasa adalah al-imsak atau menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa objek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada “pengendalian hawa nafsu”.
Hawa berarti keinginan (desire), sedangkan nafsu berarti diri (ego). Dengan demikian, puasa dalam arti menahan berarti menahan diri dari dorongan hawa nafsu (ego).
Di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi (kerusakan) yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Dalam Islam, hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Hawa nafsu itu esensial (mendasar) dalam menjaga kesinambungan hidup dunia. Sebab, dunia memang identik dengan hawa nafsu. Dan tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (non-exist).
ADVERTISEMENT
Karenanya, sekali lagi, Islam sebagai agama yang secara alami sejalan dengan hidup manusia tidak mematikan dorongan atau keinginan (nafsu). Ambillah sebagai contoh hawa nafsu manusia kepada lawan jenis. Islam tidak mematikan, tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Islam hanya mengarahkan dan mengaturnya.
Untuk tujuan itu, Allah mengatur hubungan manusia dalam lawan jenis itu dengan sebuah institusi sakral yang disebut pernikahan. Dengannya, hawa nafsu manusia tersalurkan, bahkan menjadi pintu keberkahan.
Ingar bingar pembangunan kota-kota dunia, gedung-gedung pencakar langit di Kota New York, bukan untuk disalahkan. Itu bagian dari eksistensi nafsu yang memang secara alami dijadikan bagian dari hidup manusia.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini, juga merupakan konsekuensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan, kemajuan peradaban materi itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia.
ADVERTISEMENT
Pembangunan dan kemajuan dalam kehidupan dunia itu dalam pandangan Islam justru menjadi bagian dari kebaikan (hasanah) kehidupan itu sendiri.
Celakanya, memang ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu kemudian lepas kendali. Nafsu menjadi penentu hidup bahkan menjadi tujuan tertinggi (ultimate goal) kehidupan. Manusia hidup seolah tidak ada lagi yang penting dalam hidupnya selain memenuhi hawa nafsu dunianya.
Jika ini terjadi, maka dunia tidak lagi sebagai sumber hasanah (kebaikan) bagi manusia. Sebaliknya, menjadi sumber kesengsaraan dan kehancurannya.
Dunia tidak lagi menjadi objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi “tuhan kecil” dalam hidup.
Seperti yang diingatkan oleh Alquran: “Tidakkah anda melihat siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai Tuhan?”
ADVERTISEMENT
Dalam dunia modern saat ini, kecenderungan hawa nafsu menjadi tuan (master) merupakaan penyakit kronis dunia yang sangat berbahaya. Penyembahan materi atau yang lebih dikenal dengan “materialisme” telah membawa berbagai malapetaka kehidupan. Ketamakan manusia menjadikannya buta nurani untuk melihat nilai-nilai kebajikan dan kasih sayang.
Ambillah contoh kekerasan dan peperangan-peperangan yang terjadi sepanjang masa. Ribuan bahkan jutaan manusia telah menjadi korban karena kecenderungan nafsu manusia yang diperbudak oleh dunia.
Dari sekian banyak marabahaya materialisme, mungkin penyakit “al-khauf wal-hazn” (ketakutan dan kesedihan) adalah bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia.
Saat ini, manusia bukan lebih miskin dari masa-masa lalu. Bukan pula karena uang itu lebih sedikit dari masa lalu. Atau karena fasilitas dunia lebih sedikit dari masa lalu.
ADVERTISEMENT
Yang ada adalah di tengah kemajuan dan kekayaan itu manusia justru tidak pernah merasa cukup. Inilah yang menumbuhkan rasa takut dan sedih yang menjadikannya akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak pernah bisa terpuaskan.
Ketidakmampuan untuk merasakan kepuasan atau “al-ghina” (perasaan cukup) ini boleh jadi telah menjadi bagian dari “thoommah shugra” (kehancuran kecil) dalam hidup manusia. Hilangnya kepuasan manusia telah menjadi jahannam kehidupan yang nyata.
Semakin kaya, semakin merasa miskin. Semakin kuat, semakin ketakutan. Semakin maju alat kecantikan, perceraian semakin menjadi-jadi. Semakin populer, semakin kesepian. Dan semakin terdidik semakin bodoh.
Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan oleh hilangnya kendali hawa nafsu.
Maka dari itu, puasa adalah karunia dan berkah besar dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Dengannya, manusia mampu membangun kendali hawa nafsu, melatih hati-hati nurani untuk mengambil alih kendali kehidupan.
ADVERTISEMENT
Dengan puasa kita belajar menjadi “tuan” bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi “hamba sahaya” bagi hawa nafsu. Semoga!
New York, 6 Mei 2019